Enid Blyton EMPAT SERANGKAI: RAHASIA PEGUNUNGAN KILLIMOOIN Scanned book (ebook) ini hanya untuk pelestarian buku dan kemusnahan DILARANG MENGEMOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan BBSC Edit & Convert: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1986 DAFTAR ISI 1. Sebuah Kejutan 2. Bertolak ke Baronia 3. Istana di Baronia 4. Perjalanan yang Mendebarkan 5. Udara Panas 6. Istana Killimooin 7. Beowald Buta, si Penggembala Kambing 8. Sehari di Alam Pegunungan 9. Kawanan Perampok 10. Patung Ajaib 11. Mulanya Petualangan 12. Sungai di dalam Gunung 13. Di Hutan Rahasia 14. Kembali ke Sarang Perampok 15. Ada Jalan untuk Meloloskan Diri? 16. Hujan Badai 17. Perjalanan Mendaki di dalam Gunung 18. Di dalam Gua Air Terjun 19. Beowald Penyelamat 20. Akhir suatu Petualangan 1. SEBUAH KEJUTAN TIGA anak laki-laki berdiri dengan hati berdebar-debar di peron stasiun. Mereka sedang menunggu kereta api datang. “Keretanya terlambat,” ucap Mike, tak sabar. “Sudah lewat lima menit.” “Aku akan menceritakan kabar gembira kita kepada cewek-cewek itu,” kata Jack. “Aku dong!” sahut Pangeran Paul, matanya yang hitam kelihatan bercahaya. “Kabar gembira itu kan berasal dariku.” “Baiklah, baiklah,” ujar Mike. “Kau boleh menceritakannya kepada Nora dan Peggy, kalau begitu. Tapi ingat, jangan terlalu lama menyimpan berita itu. Aku takkan sabar menunggu. Bisa-bisa, jadi aku yang menceritakannya lebih dulu." Ketiga anak laki-laki tadi sedang menanti kedatangan Nora dan Peggy yang hendak pulang berlibur dari asrama sekolah mereka. Mike, Jack, dan Pangeran Paul bersekolah di sekolah yang sama. Mereka pun sama-sama tinggal di asrama sekolah itu. Sekolah anak laki-laki sudah libur sejak sehari sebelumnya. Mike adalah saudara kembar Nora, dan Peggy adalah kakak mereka. Usianya setahun lebih tua daripada Mike dan Nora. Jack adalah kakak angkat mereka. Dia sudah tidak berayah-ibu, hingga Kapten Arnold dan istrinya memungutnya dan memelihara serta memperlakukannya seperti anak sendiri. Jack bersekolah bersama Mike. Dia merasa bahagia mempunyai orang tua dan saudara angkat yang baik dan menyayanginya. Pangeran Paul bersekolah di sekolah tempat Mike dan Jack belajar. Dia bersahabat dengan mereka, karena mereka pernah menyelamatkannya ketika dia diculik beberapa tahun yang lalu. Ayahnya raja Baronia. Pangeran cilik itu dikirim belajar ke Inggris. ltulah sebabnya dia tinggal di asrama. Bila liburan tiba, barulah dia pulang ke negerinya sendiri yang terletak jauh dari Inggris. Di antara sahabat-sahabatnya, dialah yang paling muda. “Itu dia keretanya!” sorak Mike, ketika tampak olehnya kepulan asap putih di kejauhan. “Hore!” “Nora dan Peggy pasti mencari-cari kita dari jendela,” Jack berkata. Kereta bergerak semakin mendekati stasiun. Bunyi gemuruh mesinnya terdengar makin keras. Akhirnya, kereta itu meluncur di depan peron. Kecepatannya berkurang sedikit demi sedikit, dan kemudian berhenti. Pintu gerbong-gerbongnya pun segera terbuka. Pangeran Paul berseru, “Itu mereka! Lihat! Di gerbong tengah!” Benar. Peggy dan Nora melongokkan kepala mereka ke luar jendela sambil tertawa. Begitu pintu gerbong tempat mereka duduk dibuka, keduanya langsung melompat turun. Nora berkulit agak coklat dan rambutnya keriting seperti Mike. Rambut Peggy yang keemasan berkilau-kilauan ditimpa sinar matahari. Tubuhnya semakin tinggi, tetapi perangainya tetap saja seperti dulu. “Peggy! Nora! Selamat datang!” seru Mike. Dipeluknya saudara kembarnya, kemudian Peggy juga. Betapa girangnya hati kelima anak itu bisa berkumpul kembali. Bersama-sama, mereka pernah mengalami suka-duka dan menghadapi bahaya dalam berbagai petualangan. Senang rasanya berkumpul sekali lagi dan saling bertanya, “Ingat waktu kita begini, ingatkah kau peristiwa dulu itu?” Pangeran Paul selalu merasa agak malu bila bersua dengan Peggy dan Nora. Dengan sopan dijabatnya tangan mereka, tetapi Peggy memekik tidak setuju dan langsung saja gadis itu memeluk Paul. “Paul! Jangan bersikap kaku begitu! Peluklah aku!” “Eh, Paul punya berita gembira,” ujar Mike, tiba-tiba teringat akan berita yang hendak mereka sampaikan kepada kedua gadis itu. “Ayo, Paul - cepat ceritakan kepada mereka!” "Berita apa?” tanya Nora. "Aku punya undangan buat kalian semua," ujar pangeran cilik itu. “Maukah kalian berlibur di Baronia bersamaku selama libur musim panas ini?” Peggy dan Nora memekik kegirangan. “PAUL! Ke Baronia bersamamu! Oh, sungguhkah?" “Bukan main! Ini baru benar-benar kejutan!” Wajah Paul berseri-seri. “Benar. Ini memang kejutan,” ucapnya. “Kupikir kalian pasti senang. Mike dan Jack pun sangat gembira ketika rencana ini kukatakan kepada mereka.” “Aku yakin kepergian kita ke Baronia akan merupakan petualangan tersendiri,” ucap Mike. “Baronia - negeri di tengah pegunungan dengan kota-kota yang indah, desa-desa tersembunyi, hutan belantara - oh, pasti sangat mengesankan.” “Alangkah baik ayahmu, Paul — mengundang kami semua!” Nora berkata sambil merangkul tubuh si pangeran kecil. “Berapa lama perjalanan ke sana?” “Kita naik pesawat pribadiku,” sahut Paul. “Ranni dan Pilescu akan datang menjemput kita besok.” “Rasanya seperti mimpi saja!” kata Nora, menari-nari kegirangan. Tak sengaja, tertumbuk olehnya seorang kuli yang sedang mendorong kereta barang. “Oh, maaf. Bapak tak terlihat olehku tadi. Oh, Mike - bagaimana kalau kita ambil dulu barang-barang bawaan kami? Tolong carikan kuli yang kereta barangnya masih kosong dong!” Karena semua kuli masih sibuk mengangkuti barang, maka mereka terpaksa menunggu. Mereka tetap bergembira, lebih-lebih bila mereka ingat bahwa besok mereka akan berangkat ke Baronia. “Tadinya, kami membayangkan hendak tamasya ke pantai bersama Ayah dan Ibu,” Nora berkata. “Kami pun berpikir begitu,” sahut Jack. “Tetapi, kemarin datang telegram dari ayah Paul. Isinya Paul akan dijemput dengan kapal terbang, dan kita semua diundang berlibur ke Baronia - bila diizinkan oleh Ayah dan Ibu.” “Kau tahu sendiri, kan - Ayah dan lbu senang sekali bila kita bisa bepergian melihat-lihat keadaan di tempat lain!” kata Mike. “Pokoknya, Ayah dan Ibu sama girangnya dengan kita semua. Tentu saja beliau agak sedih - tak bisa menghabiskan liburan bersama anak-anaknya.” “Katanya, kita tidak perlu bawa pakaian terlalu banyak,” sela Jack. “Paul bilang, kita akan diberi pakaian tradisional Baronia di sana nanti! Pakaian Baronia lebih menarik daripada pakalan sehari-hari kita! Pasti rasanya seperti memakai baju karnaval!" Peggy dan Nora menarik napas, gembira. Mereka membayangkan rupa mereka bila mengenakan gaun lebar berpinggiran warna-warni - hmm, indahnya! Seperti orang Baronia asli! “Hai, sudah waktunya kita cari kuli. Jangan ngobrol terus seperti ini,” ujar Nora. “Lihatlah, peron sudah hampir kosong. Pak! Sini, Pak!” panggilnya, ketika di depan mereka lewat seorang kuli. Kuli tadi mendekati mereka sambil mendorong kereta barangnya yang sudah kosong. Diangkatnya kopor dan barang-barang bawaan Peggy dan Nora. Kemudian, diletakkannya ke dalam kereta dorongnya. Sesampainya di luar stasiun, kuli tadi memanggil taksi buat anak-anak. Dalam sekejap, mereka telah memenuhi taksi itu. Mereka menuju rumah Kapten Arnold. *** Semua kelihatan riang gembira ketika berkumpul mengelilingi meja makan sore itu. Kapten Arnold dan istrinya tersenyum sambil mengedarkan pandangan mereka kepada kelima anak berwajah ceria di hadapan mereka. Pulang berlibur sudah merupakan sesuatu yang menggembirakan - apalagi pulang dan diberitahu bahwa mereka diundang ke Baronia keesokan harinya. Kegembiraan anak-anak itu tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Biasanya mereka ribut menceritakan segala yang telah mereka lakukan dalam semester yang baru lalu - kehebatan mereka di lapangan tenis, kegembiraan mereka bila bermain cricket, bagusnya kolam renang baru, sukarnya soal-soal ujian, dan sebagainya. Tetapi, kali ini, tak sepatah kata pun mereka ucapkan mengenai pengalaman mereka di sekolah. Yang mereka bicarakan Baronia, Baronia, Baronia! Paul senang melihat kegembiraan sahabat-sahabatnya. Dia sangat bangga akan keindahan negerinya. “Negeriku memang tidak terlalu luas,” katanya, “tetapi keindahannya sangat mempesona dan masih asli sekali. Gunung-gunungnya menjulang tinggi, hutannya lebat, dan desa-desa di sana sangat menawan hati! Penduduk laki-lakinya kuat perkasa, kaum wanitanya murah senyum, dan makanan di sana - hmm, sedapnya!” “Bicaramu seperti seniman saja, Paul,” komentar Peggy. “Ayo, teruskan!” “Tidak,” kata Paul, wajahnya bersemu merah. “Nanti kalian menertawakan aku. Orang Inggris memang aneh. katanya cinta negerinya, tetapi belum pernah kudengar ada orang lnggris memuji negerinya. Lain denganku. Satu jam mungkin kurang buat menceritakan keindahan tanah airku. Bukan cuma keindahan yang bisa kuceritakan. Kawanan perampok...” “Oh,” ucap Peggy, tertarik. “Dan bermacam-macam binatang buas yang terdapat di pegunungan,” tambah Paul. “Kita berburu, yuk - di sana nanti!” sela Mike. “Belum lagi, tentang jalan-jalan yang tersembunyi di bukit-bukit, hutan rimba yang belum pernah terinjak kaki manusia, dan...” “Oh, kenapa tidak sekarang saja kita berangkat!” ujar Nora. “Aku tak sabar lagi menunggu! Siapa tahu kita mendapat pengalaman baru di sana - pengalaman yang mendebarkan, seperti pengalaman kita di waktu-waktu yang lalu.” Pangeran Paul menggelengkan kepala. “Tidak,” ucapnya. “Di Baronia kita takkan bisa bertualang seperti biasanya. Di sana kita tinggal dalam istana ayahku. Bila hendak bepergian, pasti kita dikawal. Sejak aku diculik dulu, aku tak pernah diizinkan bepergian seorang diri di Baronia.” Sahabat-sahabatnya nampak kecewa. “Yah, kedengarannya memang hebat selalu dikawal, tapi, terus terang, itu membuat gerak kita terbatas,” kata Mike. ‘Bolehkah kita memanjat pohon dan sebagainya?" “Di negeriku sendiri, aku tidak diperbolehkan melakukan hal-hal seperti itu,” sahut Paul. “Tetapi, itu karena di sana aku seorang pangeran. Aku harus selalu bersikap dan bertingkah laku sebagaimana layaknya orang-orang terhormat. Walaupun begitu, di sini sikap dan tingkah lakuku berbeda, bukan?" “Kelihatannya begitu!” komentar Mike sambil memandang Paul. “Di sini kau tak -segan-segan menceburkan diri ke empang buat mengejar bola, dan keluar dengan tubuh hitam berlumur lumpur.” “Bukan cuma itu. Kau juga tak malu waktu celanamu sobek terkait pagar berkawat duri, menghindari sapi mengamuk,” tambah Jack. "Aku tidak menyangkal," Paul berkata. "Tapi, di sini aku kan seperti kalian. Jadi, aku belajar bersikap lain. Kalau kalian pergi ke Baronia, kalian pun harus belajar bersikap lain. Kalian harus mencium punggung tangan ibuku, misalnya.” Mike dan Jack memandang Paul, kaget. “Oh! Aku tak biasa melakukan hal-hal seperti itu, Paul!” seru Jack “Kalian harus belajar juga membungkuk hormat - begini,” lanjut si pangeran cilik, senang. Ia membungkuk dengan sopan - pinggangnya seolah dilipat ke depan, menegakkan dirinya kembali, dan merapatkan kedua tumitnya dengan gerakan tegas dan mantap. Peggy dan Nora tertawa mengikik. “Hi, pasti kita geli melihat Mike dan Jack melakukan hal-hal seperti itu,” ucap Nora. “Kalau tak mau malu, sebaiknya sekarang kalian cepat-cepat berlatih, Mike. Ayo, beri hormat kepadaku. Dan kau, Jack, coba cium tanganku!” Mike dan Jack menyumpah-nyumpah. “Sialan,” gerutu Mike. “Seandainya memang harus melakukannya, aku pasti mau melakukannya. Tapi, yang jelas, bukan kepada kau atau Peggy!” “Ah, Ibu kira takkan sesukar yang dibayangkan Paul,” Nyonya Arnold berkata, tersenyum. “Dia cuma menggoda kalian. Lihat saja - dia meringis begitu!” “Kalian bebas bersikap semau kalian,” tutur Paul, geli. “Tapi, jangan kaget melihat sikap orang Baronia. Sikap mereka jauh lebih baik daripada sikap kalian!” “Sudah selesai semua?" tanya Kapten Arnold. “Kupikir, kalian takkan bisa makan lebih banyak lagi. Tapi, siapa tahu pikiranku salah.” “Oh, tunggu - aku masih ingin sepotong kue lagi,” ucap Mike. “Di asrama, kami tak pernah diberi kue coklat selezat ini!” “Hai, kau sudah makan empat potong, Mike,” ujar ibunya. “Untung saja Ibu tak perlu menyiapkan makanan buat kalian setiap hari! Nih, ambil olehmu sepotong lagi!” *** Malam harinya mereka bersiap-siap. Tetapi, tidak banyak yang harus mereka siapkan. Mereka hanya memasukkan pakaian tidur, sikat gigi, mantel, dan sejenisnya ke dalam kopor masing-masing. Mereka sudah tak sabar menanti saatnya mengenakan pakalan Baronia yang berwarna-warni. Mereka pernah melihat potret orang Baronia. Itulab sebabnya mereka merasa yakin akan menyenangi pakaian Baronia, lebih-lebih pakaian anak-anaknya! Kegembiraan hati yang meluap-luap menyebabkan anak-anak itu tak bisa diam dan mengerjajan sesuatu dengan serius. Mereka mengobrol dengan Kapten Arnold dan istrinya, bermain-main sebentar, lalu pergi tidur. Tetapi, tak seorang pun bisa memicingkan mata. Mereka berbaring di kamar masing-masing, tetapi terus mengobrol dengan berteriak-teriak satu sama lain. Akhirnya Nyonya Arnold datang menghampiri mereka. Dengan tegas, beliau berkata, “Sekali lagi Ibu dengar kalian berteriak-teriak, kalian takkan boleh pergi ke Baronia!” Setelah itu, barulah suasana menjadi tenang. Kelima anak tadi berbaring diam di tempat tidur masing-masing, pikirannya sibuk membayangkan betapa senangnya mereka besok. 2. BERTOLAK KE BARONIA RASA gembira menjalar di hati ketika terbangun keesokan harinya dan teringat akan segala sesuatunya. Jack cepat-cepat bangkit dan berteriak membangunkan yang lain. Tak lama kemudian semuanya sudah berpakaian rapi dan turun ke ruang makan. Mereka hendak berangkat ke lapangan udara, menemui Ranni dan Pilescu yang menurut rencana akan menjemput mereka pukul sepuluh. Ranni dan Pilescu adalah punggawa istana Baronia yang bertugas khusus mengawal Pangeran Paul. Karena bawaan mereka sedikit, akhirnya bawaan mereka dijadikan satu dalam sebuah tas. “Bu, sayang ya kita tak bisa banyak bersama-sama liburan ini,” ucap Peggy. “Yab, tapi Ayah dan lbu akan terbang ke Baronia menjemput kalian,” sahut ibunya. “Kami akan ke sana seminggu atau dua minggu sebelum kalian harus kembali ke sekolah. Jadi, masih ada waktu tersisa untuk kita nikmati bersama!” “Oh, senangnya!” ujar Nora dan Peggy bersamaan. Mike dan Jack tertawa lebar, wajahnya berseri-seri - penuh kegembiraan. “Ayah dan Ibu mau ke sana naik si Seriti Putih?” Seriti Putih adalah nama kapal terbang Kapten Arnold yang terkenal. Bersama istrinya, beliau telah menempuh jarak beribu-ribu mil. Nyonya Arnold pun seorang pilot yang kehebatannya tidak kalah dengan kehebatan suaminya. Mereka berdua telah mengalami berbagai petualangan. Itu merupakan salah satu sebab, mengapa mereka suka bila anak-anak mereka berkesempatan bepergian sendiri dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. “Tak baik mengekang dan terlalu melindungi anak-anak,” ujar Kapten Arnold berulang kali kepada istrinya. “Kita tak ingin anak-anak kita seperti itu, bukan? Yang kita inginkan adalah anak-anak yang penuh semangat dan keberanian, anak-anak yang berdikari serta tak takut pada apa pun yang mungkin mereka hadapi. Kita ingin mereka berkembang menjadi anak-anak yang suka bertualang dan kuat. Anak-anak macam begitulah yang bisa menjadi orang berguna di dunia mi! Jadi, hendaknya kita jangan melarang mereka pergi supaya mereka bisa berdikari dan bersikap berani!” “Jika kami bisa menjadi dewasa seperti Ayah dan lbu, tentu kami selamat!” ujar Peggy. “Ayah dan thu sudah mencoba mengarungi angkasa menuju Australia sebelum yang lain mencoba - di samping itu Ayah dan Ibu telah mencatat jarak terbang begitu banyak. Kami pasti bisa jadi anak-anak yang pemberani juga!” “Tentu saja,” sahut ibunya, tertawa. “kalian sudah mengalami beberapa petualangan yang mendebarkan dalam usia muda kalian - Ibu yakin pengalaman kalian jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan anak-anak lainnya.” Ketika mobil yang hendak membawa mereka ke lapangan terbang sampai di depan pintu, anak-anak segera melompat ke luar. “Untung mobilnya besar!” kata Mike. “Tujuh orang bukan sedikit!” Semuanya masuk dan mengambil tempat di dalam mobil. Dengan kecepatan cukup tinggi mobil itu meluncur ke lapangan terbang. Sebentar saja mereka telah sampai di lapangan terbang, dan masuk ke dalamnya melalul pintu gerbang. Mike, yang melihat ke luar dan jendela, berseru, “Itu dia kapal terbangmu, Paul! Kelihatan dari sini. Oh, yang paling besar, lho!” “Ya. Dan yang paling bagus juga,” tambah Nora, memandang kagum pada pesawat udara yang sedang mereka tuju. Warnanya biru terang dengan garis keperakan di pinggirnya. Pesawat itu berkilau-kilauan tertimpa sinar matahani. Tidak jauh dan tempat pesawat itu diparkir, mobil dihentikan. Semuanya keluar. Paul memekik, “Itu dia Pilescu! Dan Ranni! Lihat, mereka di belakang pesawat!” Kedua lelaki Baronia bertubuh tinggi kekar itu mendengar bunyi mobil. Mereka langsung keluar, melihat kalau-kalau yang datang itu Pangeran Paul bersama kawan-kawannya. Dengan suaranya yang dalam Pilescu berseru, “Paul! Pangeranku!” Paul berlari-lari menyeberangi hamparan rumput, menghampiri Pilescu. Lelaki bertubuh kekar dan berjenggot merah itu membungkuk hormat, lalu mengangkat Paul tinggi-tinggi. “Pilescu! Apa kabar? Betapa senang hatiku bertemu denganmu lagi", ucap Paul dalam bahasa Baronia. Bahasa itu kedengaran aneh di telinga sahabat-sahabat Paul. Pilescu sangat sayang kepada pangerannya. Sejak Paul masih berusia beberapa menit, dia telah menggendong anak itu. Dia bersumpah hendak mengabdikan dirinya kepada Pangeran Paul sampai akhir hayatnya. Tangan Pilescu yang besar dan kuat itu merekan tubuh kecil Paul, sampai-sampai Paul hampir tak bisa bernapas. “Pilescu! Aku tak bisa bernapas! Turunkan aku,” perintahnya. Pilescu meringis, lalu meletakkan kembali si pangeran ke tanah. Paul mengalihkan perhatiannya kepada Ranni. Lelaki itu membungkuk dalam, lalu memeluknya kuat-kuat seperti Pilescu. “Ranni! Kau membawakan coklat kesukaanku?” tanya Paul. Ranni merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus besar coklat. Warna kertas pembungkusnya sangat menarik. Di situ terbaca nama Baronia. Paul sangat menyukai cokiat merek ini. Walaupun begitu, bila kiriman datang dan Baronia, dia selalu menikmati coklat yang diterimanya bersama Mike dan Jack. Ranni dan Pilescu menyambut sahabat-sahabat Paul. Mereka tersenyum senang memandang anak-anak itu serta Kapten Arnold dan istrinya. Mereka pernah mengalami bersama suatu petualangan yang aneh di Afrika, ketika mereka ‘terkurung’ di Gunung Rahasia. Senang rasanya bersama mereka lagi. “Tolong jaga anak-anak ini, Pilescu,” ujar Nyonya Arnold ketika mengucapkan selamat jalan kepada anak-anak yang semuanya berwajah gembira. “Tahu sendiri kau, betapa nakalnya anak-anak seusia mereka, kadang-kadang!” “Mereka aman bersama kami, Nyonya,” ujar Pilescu, jenggotnya yang lebat dan kemerahan seolah-olah menyala ditimpa sinar matahari. Dia membungkuk dalam-dalam di hadapan Nyonya Arnold. Kemudian, diraihnya tangan Nyonya Arnold dan diciumnya dengan penuh hormat. Mike merasa yakin dia takkan pernah bisa mencium tangan siapa pun seperti itu. “Sudah siapkah pesawatnya?” tanya Kapten Arnold sambil masuk ke cockpit, melihat-lihat. “Bukan main, hebat benar! Bangsa Baronia rupanya mempunyai ahli pencipta bentuk kapal terbang yang kawakan! Meskipun Inggris bisa dikatakan hebat dalam hal merancang model pesawat, kuakui masih lebih hebat Baronia.” Anak-anak sibuk mengunyah coklat sambil mengobrol dengan Ranni. Lelaki bertubuh besar seperti beruang itu senang bertemu lagi dengan mereka. Nora dan Peggy bergayut pada lengannya yang kekar sambil mengingat kembali hari-hari yang mendebarkan dan berbahaya ketika mereka bersama-sama berada di Gunung Rahasia, di Afrika. Seorang montir datang, memeriksa sekali lagi mesin pesawat raksasa itu. Satu-dua menit kemudian baling-balingnya mulai berputar. Suaranya menderu-deru. “Senang, ya?” ucap Mike. “kita benar-benar pergi!” “Ayo, masuk semua,” Pilescu berkata. “Sekali lagi peluk orang tua kalian, lalu kita pergi.” Anak-anak memeluk ayah-ibu mereka. Paul mengangguk dan mencium tangan Nyonya Arnold. Nyonya Arnold tertawa sambil menepuk-nepuk pangeran cilik, sahabat anak-anaknya. "Selamat jalan, Paul! Jangan ajak keempat anakku mencari perkara, ya! Jack, jaga Paul dan adik-adikmu. Mike, jaga saudara-saudara perempuanmu. Nora dan Peggy, jangan biarkan anak-anak laki-laki itu berbuat nakal!” “Selamat tinggal, Bu! Selamat tinggal, Ayah! Jangan lupa tulis surat, dan jemput kami bila liburan sudah hampir habis!” “Permisi, Kapten Arnold! Permisi, Nyonya Arnold!” Deru pesawat udara mengalahkan bunyi-bunyian lain di sekitarnya. Pilescu bertindak sebagai pilot, dan Ranni duduk di sampingnya. Anak-anak duduk di belakang, pada kursi bersandar yang empuk. Mesin pesawat menderu semakin keras. “R r-r-r-r-r-r-r! R-r-r-r-r- r... ! Pesawat raksasa itu mulai meluncur di landasan. Mula-mula perlahan-lahan, makin lama makin cepat - cepat - lalu, seperti seekor burung, Ia lepas landas, meninggi melalui pagar-pagar, kawat telepon, dan tak lama kemudian Ia sudah berada tinggi di atas awan. “Bertolak ke Baronia!” ujar Mike, bergairah. “Bertualang lagi,” tambah Jack “Senang, bukan?’ “Dari sini, lapangan terbangnya kelihatan cuma seinci panjangnya!” kata Nora, melihat ke luar jendela. “Setengah jam lagi kita sampai di atas laut” ucap Paul. “Kita lihat ke luar, yuk!” Gaya rasanya berada dalam pesawat raksasa lagi. Anak-anak itu sudah biasa terbang. Mereka sangat suka mersakan berada tinggi di langit. Kadang-kadang, awan bergulung-gulung di bawah mereka. Kelihatannya seperti padang saiju yang sangat luas. Matahari menyinari padang putih itu. Akibatnya, awan putih di bawah mereka terlalu menyilaukan bila dilihat. Pada suatu saat hamparan awan putih di bawah mereka terputus. Paul memekik “Laut! Lihatlah dari sela-sela awan. Hai, Ranni, Ranni, kita sudah sampai di atas lautkah?” Ranni menoleh dan mengangguk “Pesawat kita berjalan dengan kecepatan tinggi,” serunya. “Supaya bisa sampai di Baronia sebelum waktu makan siang.” “Alangkah senangnya hatiku,” Nora berkata, matanya berbinar-binar. “Sudah lama aku ingin berkunjung ke Baronia, Paul. Dan sekarang, kita benar-benar sedang menuju ke sana.” “Aku pun merasa sangat senang,” sahut Paul. “Aku menyukai negeri kalian, dan senang bersahabat dengan kalian. Meskipun begitu, aku lebih menyukai Baronia. Siapa tahu, kalian pun akan lebih menyukainya.” “Tak mungkin!” sahut Mike. “Mana ada negeri lain yang lebih indah dari negeri sendiri!” “Lihat saja nanti,” Pangeran Paul menimpali. “Mau coklat lagi?” Anak-anak mengambil sendiri coklatnya. “Yah, yang jelas, kuakui coklat buatan negerimu lebih enak daripada coklat lnggris,” ujar Mike, mengunyah isi mulutnya. “Lihat, laut kelihatan lagi. Hmm - nampaknya rata tidak berombak” Ada perasaan senang tersendiri melihat laut yang sesekali kelihatan dari celah-celah awan yang menghalangi pemandangan bebas ke bawah. Tak lama kemudian, pesawat melaju di atas daratan lagi. Awan menghilang, dan anak-anak dengan bebas bisa melihat daratan yang mereka lalui - terhampar luas jauh di bawah sana, bagaikan peta berwarna raksasa. Mereka terbang melalui kota-kota besar. Udara di sekitarnya kelihatan kotor oleh asap. Mereka melewati juga hamparan padang rumput di pedesaan. Di sana-sini kelihatan rumah peternakan seperti kotak mainan. Sungai nampak berliku-liku, seperti ular panjang berwarna biru keperakan. Lalu, gunung-gunung yang tinggi mereka lalul pula. Di puncaknya, kadang-kadang terlihat lapisan salju. “Aneh rasanya melihat salju pada musim panas seperti ini,” ujar Mike. “Jam berapa sekarang? Sudah jam dua belas? Cepat amat! kalau begitu, dalam waktu kurang dari satu jam kita sudah akan sampai di Baronia.” Pesawat raksasa yang mereka tumpangi menderu terus mengarungi angkasa luas. Ranni menggantikan Pilescu due jam setelah mereka tinggal landas. Sementara itu Pilescu duduk-duduk bersama anak-anak di belakang sambil mengobrol sebentar. Matanya memancarkan kasih sayang dan rasa pengabdiannya yang dalam terhadap pangeran kecil di hadapannya. Seperti anjing sedang memuja tuannya, pikir Mike. Beruntung benar Paul mempunyai teman seperti Ranni dan Pilescu. “Sebentar lagi istananya kelihatan,” ujarnya, memandang ke bawah. “Kita sedang melintasi perbatasan Baronia, Paul! Lihat, itu Sungai Jollu! Dan itu kota Kikibora.” Paul kegirangan. Sudah tiga bulan dia tak pulang. Dia rindu pada ayah dan ibunya. Juga pada adik-adiknya. Mike dan Jack terdiam. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apakah ibu Paul akan menjemput mereka di lapangan terbang? Apakah mereka harus mencium tangan beliau? “Aku pasti kelihatan seperti orang tolol sekali,” pikir Mike, merasa tak enak. “Itu dia istananya!” seru Paul tiba-tiba. Terlihat oleh mereka sebuah istana berdiri pada sisi bukit- sebuah istana yang tak ubahnya dengan istana di Negeri Dongeng! Indah, dengan menara-menaranya yang berkilauan, dan danau biru bening yang membentang tepat di bawahnya serta memantulkan bayangan istana itu. “Oh! Cantik sekali!” ucap Nora. “Paul, aku merasa hebat! Bayangkan, tinggal di istana! Buatmu mungkin biasa-biasa saja, tetapi untukku - ini sungguh-sungguh merupakan pengalaman yang mengesankan!” Pesawat terbang memutar sambil merendah. Di samping istana terdapat landasan yang cukup luas, tempat mendaratnya pesawat kerajaan. Pesawat yang dikemudikan Ranni menukik turun seperti seekor burung, kemudian rodanya menyentuh landasan. Kecepatannya makin berkurang, dan akhirnya berhenti tak jauh dari tempat sekelompok orang berdiri. “Selamat datang di Baronia!” ujar Paul, matanya bersinar penuh kegembiraan. “Selamat datang di Baronia!” 3. ISTANA DI BARONIA RANNI dan Pilescu membantu kelima penumpang ciliknya turun dari pesawat. Paul langsung berlari-lari menemui seorang wanita cantik yang berdiri di dekat situ sambil tersenyum. Dia mengangguk dalam, mencium tangannya, lalu berpelukan dengannya sambil berkata-kata dalam bahasa Baronia. Wanita cantik itu adalah ibunya, sang permaisuri. Beliau menangis sambil tertawa. Dialusnya rambut pangeran kecil itu, dan diciuminya pipinya. Ayah Paul pun ada di sana. Beliau gagah dan tampan, berdiri tegak mengenakan pakaian kebesarannya. Paul memberi hormat, lalu berlari ke dalam pelukannya. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya kepada empat anak kecil yang berdiri di dekatnya. Mereka adalah adik-adik Paul. Paul mencium tangan adik-adik perempuannya, serta memberi hormat kepada adik-adik lelakinya. Setelah itu, barulah mereka berciuman dan berebut bicara. Tak lama kemudian, tibalah saatnya sahabat-sahabat Paul memperkenalkan diri. Mereka sudah pernah bertemu dengan ayah Paul. Lelaki itu mereka sukai dengan segera. Tetapi, dengan Permaisuri, ibu Paul, mereka belum pernah bertemu sama sekali. Seperti putri dari kayangan, pikir Nora dan Peggy. Beliau nampak cantik sekali mengenakan pakaian Baronia. Gaun lebarnya yang berwarna merah dan biru kelihatan semakin anggun bila beliau berjalan. Ibu Paul mencium Nora dan Peggy. Beliau berbahasa Inggris dengan mereka. “Selamat datang, Anak-anak manis." sapanya. “Aku senang sekali bisa bertemu dengan kalian semua. Kudengar, kalian sangat baik kepada Paul selama Paul belajar di lnggris. Mudah-mudahan liburan kalian di sini menggembirakan.” Kemudian tibalah giliran Mike dan Jack yang disambut Permaisuri. Keduanya merasa malu dan segan mencium tangan beliau, tetapi, setelah dilakukan, ternyata tidak sesukar yang mereka bayangkan! Mula-mula Mike yang maju. Permaisuri mengulurkan tangan kepadanya, dan Mike membungkuk serta menciumnya tanpa menemui kesukaran! Setelah itu, Jack Akhirnya, keduanya memberi hormat kepada ayah Paul. “Ayo, kita ke istana sekarang,” ujar Permaisuri. “Kalian pasti sudah kelaparan. Penjalanan kalian barusan cukup jauh. Berbagai masakan kesukaan Paul telah tersedia. Mudah-mudahan kalian pun menyukainya.” Lega benar rasa hati anak-anak itu, karena ibu Paul bisa berbahasa lnggris. Mereka sudah berusaha belajar bahasa Baronia, tetapi Paul kurang pandai mengajar bahasa itu. Dia selalu tertawa terpingkal-pingkal bila teman-temannya belajar mengucapkan kata-kata yang sukar pengucapannya. Anak-anak memandang istana dengan takjub. Selain dalam buku cerita, mereka belum pernah melihat tempat yang seindah itu. Walaupun ukurannya tidak terlalu besar, istana itu sangat bagus. Dengan gunung menjulang tinggi pada latar belakangnya, serta danau yang berkilau-kilauan di bawahnya, istana itu bagaikan istana dalam mimpi. Mereka lewat taman yang ditumbuhi aneka bunga harum semerbak, lalu sampai di tangga. Mereka naik, dan masuk ke dalam istana melalui sebuah pintu lebar. Dekat pintu itu berdiri enam orang penjaga berseragam warna biru dan perak. Adik-adik Paul bersama pengasuhnya masing-masing berjalan di belakang. Manis benar anak-anak itu, pikir Mora dan Peggy. Mirip sekali dengan Paul, bermata hitam bulat. “Tak perlu terlalu diperhatikan anak-anak kecil itu,” Paul berkata dengan suara pangerannya. “Mereka ingin ikut menyambut kedatanganku. Tetapi, sehari-harinya mereka tinggal di bagian anak-anak. Kita punya kamar sendiri-sendiri. Pilescu akan menemani kita.” Lega juga mendengar hal ini. Meskipun sahabat-sahabat Paul senang pada ayah dan ibu Paul, tetapi agak segan rasanya bila mereka harus tinggal dan makan bersama dengan raja dan permaisurinya setiap hari. Lebih senang buat mereka bila punya tempat yang terpisah. Paul mengantar mereka ke kamar masing-masing. Nora dan Peggy mendapat sebuah kamar yang indah sekali dengan pemandangan ke arah danau. Segala yang ada di dalamnya mempunyai paduan warna biru dan perak. Langit-langitnya bercat biru, dihiasi dengan bintang-bintang perak yang berkilau-kilauan. Betapa indah kamar itu, pikir Nora dan Peggy. Seprai tempat tidurnya juga biru. Seprai itu bersulamkan bintang-bintang perak. “Mana tega aku meniduri tempat tidur seindah itu,” Peggy berkata dengan suara penuh kekaguman. “Dan, besarnya...! Hm, enam orang juga muat! Tapi, ini cuma diperuntukkan bagi kita berdua, Nora! Bukan main!” Dua kamar tidur disediakan untuk anak laki-laki. Sebuah kamar besar untuk Mike dan Jack, kamar ini mempunyai dua buah tempat tidur. “Jarak masing-masing tempat tidurnya hampir setengah mil!” Jack berkata sambil tertawa, melihat kamar berukuran raksasa dengan dua buah tempat tidur pada masing-masing sisinya. Paul punya kamar sendiri — ukurannya lebih besar lagi! “Heran — kau bisa tahan hidup di asrama berdua belas sekamar, sedangkan di rumah kau punya kamar begini besar,” kata Mike kepada Paul. “Astaga — bagus benar pemandangannya!” Kamar Mike mempunyai dua jendela lebar. Sebuah menghadap ke danau, dan yang lain menghadap ke sisi bukit tempat istana berdiri. Baronia sungguh-sungguh sebuah negeri yang hebat. “Tanah liar, berbukit-bukit, kasar, tetapi sangat cantik,” ujar Paul. "Tidak seperti negerimu. Negeri lnggris jinak. Seperti kucing jinak sedang duduk dekat perapian. Negeriku seperti macan liar sedang menjelajahi bukit-bukit.” “Dia jadi puitis lagi!” komentar Mike, tertawa. Meskipun begitu, Mike tahu maksud Paul. Baronia memang kelihatan liar dan menarik. Tersenyum di bawah sinar matahari musim panas seperti itu, Ia cantik sekali — tetapi, yang ada di dalam belum tentu seindah yang kelihatan dari luar. Yang jelas, negeri itu tidak ‘jinak’ seperti negeri Inggris, tetapi masih liar — dan banyak bagiannya yang belum dikenal orang. Anak-anak mencuci tangan mereka di baskom yang seolah terbuat dari perak Setelah itu mereka mengeringkan tangan dengan handuk bersulam. Segalanya di situ begitu sempurna! Rasanya malu mengotori handuk dan air dalam baskom indah yang tersedia! Mereka ikut Paul bersantap siang. Kali ini mereka diharuskan makan bersama Raja dan Permaisuri, walaupun untuk selanjutnya mereka boleh makan di ruang bermain yang letaknya berdekatan dengan kamar mereka. Berbagai permainan yang ada di situ sempat membuat anak-anak itu takjub. Satu set kereta api-kereta apian listrik lengkap dengan rel, sinyal, dan stasiunnya menempati sebuah pojoknya. Di sudut lain terdapat satu set permainan meccano berukuran besar. Pendeknya, segala jenis permainan anak laki-laki terdapat di situ. Pasti sangat menyenangkan melihat-lihat seluruh isi ruangan bermain raksasa itu. Santap siangnya sangat lezat. Walaupun sahabat-sahabat Paul belum pernah mengenal makanan yang dihidangkan, semua terasa enak di lidah mereka. Kalau ini yang namanya makanan Baronia, bisa dijamin mereka semua jadi rakus selama di Baronia! Ibu Paul berbicara dalam bahasa Inggris dengan mereka, sedang ayah Paul beberapa kali melucu. Paul sibuk bercerita kepada kedua orang tuanya, kadang-kadang berbahasa Baronia dan kadang-kadang pula berbahasa Inggris. Dia mengisahkan segala pengalamannya di sekolah. Jack menyentuh Mike. “Mendengar cerita Paul, orang pasti mengira dia ketua kelas!” bisiknya. “Kita goda dia nanti, ya?!” Suasana teramat ceria selama mereka bersantap siang. Anak-anak merasa sangat lapar, tetapi sebelum acara santap siang itu usai, mereka sudah tak mampu lagi memasukkan makanan ke dalam mulut. Air liur Jack meleleh melihat semacam es krim merah muda berhiaskan buah cherry ungu. Tetapi, untuk memakannya sudah tak mungkin lagi. Perutnya sudah kepenuhan! Ranni dan Pilescu tidak ikut makan. Mereka berdiri diam, yang seorang di belakang kursi Raja dan yang seorang lagi di belakang kursi Paul. Beberapa orang prajurit berseragam biru dan perak berdiri membentuk barisan di ujung ruangan. Keempat anak Inggris sahabat Paul merasa jadi orang penting bisa duduk dan makan bersama Raja, Ratu, dan Pangeran dengan dijaga oleh prajurit kerajaan di latar belakang. Baronia sangat mengesankan! Setelah itu, Paul mengantar sahabat-sahabatnya berkeliling istana, melihat-lihat. Istana Baronia sungguh-sungguh megah, kuat konstruksinya, dan setiap ruangannya diterangi sinar matahari musim panas. Bagian anak-anak dipenuhi oleh adik-adik Paul. Dalam sebuah buaian berukir, berselimutkan beludu biru dan perak, berbaring seorang bayi mungil. Bayi itu membuka matanya yang hitam bulat ketika Nora dan Peggy lewat di dekatnya. Tempat ini sama besar dan bagusnya dengan ruangan bermain Paul. Anak-anak memandang takjub pada beribu permainan yang terdapat di sana. “Seperti toko mainan paling besar!” ucap Jack. “Padahal, kalau di sekolah, yang paling disukai Paul adalah perahu-perahuan usang yang kubuat sendiri dari potongan kayu!” Paul senang sekali teman-temannya menyukai rumahnya. Dia sama sekali tidak membanggakan atau memamerkan apa-apa. Buat Paul, hidup di istana dan memiliki apa saja yang diinginkannya merupakan hal yang biasa. Dia tetap hangat, ramah, dan suka bermain bersama teman-temannya. Sebelum bersekolah di lnggris, Paul tidak mempunyai teman. Tetapi, sekarang dia punya Mike, Jack, Peggy, dan Nora. Paul merasa bahagia mempunyai teman mereka. Mengajak teman-temannya berlibur di Baronia, buatnya merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan . “Kita bisa mandi-mandi di danau, berlayar ke seberang, dan melihat-lihat pemandangan di pegunungan,” ujar Paul. “Oh, liburan kali ini tentu sangat berkesan. Mudah-mudahan saja udara tidak terlalu panas. Kalau sampai hal itu terjadi, terpaksa kita harus ke gunung, mencari tempat yang agak sejuk” Sore harinya, semua kecapekan. Serasa telah bermil-mil jauhnya mereka berjalan mengelilingi istana, masuk-keluar ruangari yang tak terhitung jumlahnya, dan mendaki berpuluh menara. Beberapa taman indah yang luas telah pula mereka jelajahi. Di sana mereka bertemu dengan bapak-bapak pemelihara taman istana. Semua pegawai istana kelihatan senang mendapat tamu anak-anak itu. Anak-anak menikmati minuman teh dan kue-kue serta santap malam mereka di teras yang letaknya di luar ruang bermain. Beberapa buah payung lebar berwarna cerah meneduhi meja dari panasnya matahari. Di bawah, nampak danau biru kemilau. "Aku menyesal terlalu banyak makan siang tadi,” keluh Mike, ketika melihat sajian kue-kue dan biskuit yang menarik di hadapannya. “Aku jadi bingung. Kalau kue-kue ini kusikat, pasti sore nanti aku tak bisa makan lagi. Oh, bingung!” “Kalau memang kepingin, ambil saja apa yang kaumau,” komentar Paul. Sebelum makan malam, anak-anak berlayar di danau dengan perahu layar Paul pribadi. Ranni menyertai mereka. Sejuk benar udara di danau sore itu. Jack memandang wajah Nora dan Peggy yang kemerah-merahan. “Kita semua pasti gosong dalam satu atau dua hari,” katanya. “Sekarang saja kulit kita sudah kecoklatan — apalagi beberapa hari mendatang! Tanganku panas sekali rasanya. Tapi aku takkan merendamnya malam ini. Terlalu menyengat!” “Kalau begitu, kau terpaksa mengangkat kedua tanganmu ke atas kepala pada waktu mandi,” komentar Mike. “Alangkah lucunya!” Anak-anak hampir tak kuasa mencuci muka dan mengganti baju sebelum tidur karena kelelahan. Sambil menguap lebar, mereka rnelepas pakaian, menggosok gigi, dan mencuci muka. Masing-masing kamar tidur mempunyai bak mandi sendiri. Letaknya agak ke bawah, dan mempunyai tangga. Mula-mula hal itu terasa janggal bagi sahabat-sahabat Paul. Tetapi toh menyenangkan. Nora dan Peggy naik ke tempat tidur berukuran raksasa di kamar mereka dengan tertawa terkikik-kikik. Betapa luas tempat tidur itu dibandingkan dengan tempat tidur mereka di asrama. “Hati-hati hilang," ujar Nora kepada Peggy. Mike dan Jack pun melompat ke tempat tidur masing-masing. Paul sengaja membiarkan pintu penghubung kamarnya dengan kamar teman-temannya terbuka hingga mereka bisa saling berteriak. Tetapi, malam itu hampir tidak kedengaran teriakan mereka. Mata anak-anak itu sudah berat, dan tak bisa ditahan terbuka lebih lama lagi. Hari itu hampir terlalu menggembirakan buat mereka. “Kita berada di Baronia,” bisik Peggy kepada dirinya sendiri. “kita berada di Baronia, di...” Kemudian dia pun terlelap, sementara gelombang air danau di luar sana memukul lembut daratan di tepinya sepanjang malam. 4. PERJALANAN YANG MENDEBARKAN MINGGU pertama berlalu, penuh kegembiraan. Walaupun Nora sering mengeluh kepanasan, tak sehari pun anak-anak merasa bosan. Mereka sekarang berpakaian Baronia semua. Masing-masing merasa senang mengenakannya. Nora dan Peggy memakai korset ketat putih dan biru, berkancing perak besar. Rok bawahnya lebar, berwarna merah dan biru. Mereka tidak mengenakan stocking seperti biasanya, melainkan sejenis sepatu bot setengah tinggi bertali merah. Anak laki-laki bercelana sepanjang lutut bersulam meriah. Kemeja mereka berwarna cerah, terbuka di bagian dadanya. Ikat pinggang mereka lebar. Seperti Nora dan Peggy, mereka pun bersepatu bot setengah tinggi. Sepatu ini terasa nyaman dipakai. Mula-mula mereka merasa seperti berpakaian karnaval, tetapi sebentar saja sudah terasa biasa. “Segan memakai baju biasa lagi,” ucap Nora, memandang dirinya pada cermin panjang. “Aku senang melihat jatuh rok ini. Lihatlah, Mike betapa lebarnya. Pasti tak cukup bahan dua-tiga meter untuk membuatnya.” Mike sedang memasang ikat pinggangnya. Dia selipkan pisau pandunya pada ikat pinggang itu. Lalu, dipandangnya dirinya pada cermin. “Seperti bajak laut atau sebangsanya,” katanya. “Oh, coba teman-teman di sekolah bisa melihatku berpakaian begini. Pasti mereka iri!” “Bukan iri,” cetus Nora. “Mereka akan menertawakanmu, bila kau mengenakan pakaian seperti itu di Inggris. Alangkah senangnya kalau Permaisuri memperbolehkan baju ini kubawa pulang. Akan kupakai kalau ada pesta karnaval. Pasti aku dapat hadiah!” *** Minggu pertama sungguh-sungguh mengesankan. Anak-anak diperbolehkan melakukan apa saja yang mereka inginkan asalkan Ranni atau Pilescu menyertai mereka. Mereka berkuda menjelajahi bukit-bukit. Paling kurang lima kali sehari mereka menceburkan diri ke dalam air danau yang hangat. Setiap sore mereka berlayar. Mereka mengunjungi kota terbesar yang paling dekat dengan mobil. Di sana, mereka mencoba naik bis kota. Bisnya berbentuk aneh, gemuk pendek berwarna biru dan perak. Semua lain. Semua aneh. “Waktu pertama kali melihat lnggris, tentu kau merasa semuanya di sana aneh, Paul,” kata Mike, baru menyadari betapa sulit temannya menyesuaikan diri hidup di negeri asing. Paul mengangguk. Ia senang bisa mengajak sahabat-sahabatnya melihat segala sesuatu. Dengan begitu, kalau dia ingin membicarakan negerinya kelak bila mereka sudah kembali lagi ke Inggris, teman-temannya itu akan bisa membayangkan dan mengerti segala yang diucapkannya. *** Menjelang akhir minggu pertama, Pilescu mengajukan usul. “Mengapa kau tidak mengajak teman-temanmu terbang, melihat dari atas — seberapa besar negeri ini?” katanya kepada Paul. “Aku mau mengajak kalian semuanya.” “Oh, ya, Pilescu — ayo, kita pergi!” seru Mike. “Ayo, kita terbang melewati pegunungan dan hutan-hutan — melihat semuanya!” “Ya, akan kutunjukkan kepada kalian Hutan Rahasia,” Pangeran Paul berkata tanpa diduga-duga. Teman-temannya memandang heran. “Apa Hutan Rahasia itu?” tanya Jack “Apanya yang rahasia?” “Hutan itu aneh,” sahut Paul. “Belum pernah dikunjungi orang!” “Kalau begitu, bagaimana kau bisa tahu ada hutan itu?” tanya Mike. “Kami melihatnya dari pesawat terbang,” kta Paul. “Mengapa belum pernah ada orang yang ke sana?” tanya Peggy. “Pasti ada yang sudah pernah ke sana, Paul. Aku tak percaya kalau orang mengatakan di dunia ini ada tempat yang belum pernah diinjak manusia.” “Pokoknya, belum pernah ada orang yang ke Hutan Rahasia,” Paul berkata, keras kepala. “Tahukah kalian apa sebabnya? Lihat, ke sinikan peta itu, Mike.” Mike melemparkan gulungan peta kepada Paul. Paul membuka gulungannya dan membeberkannya di atas meja. Dicarinya tempat yang hendak diperlihatkan kepada teman-temannya, lalu ditunjuknya tempat itu. “Ini peta Baronia,” ucapnya. "Bisa kalian lihat pada peta ini betapa bergunung-gunung tanah Baronia. Nah, sekarang — lihatlah pegunungan ini." Teman-teman Paul membungkuk, memperhatikan tempat yang ditunjuk Paul. Pegunungan itu diwarnai coklat, namanya ganjil — Killimooin. Jari Paul menunjuk ke situ. “Bentuk pegunungan ini aneh sekali,” ujarnya. “Pegunungan Killimooin membentuk lingkaran sempurna — dan di tengah lingkaran itu, pada sebuah lembah yang luas, terletak Hutan Rahasia.” Paul menunjuk bagian yang diberi warna hijau di tengah lingkaran yang dibentuk oleh Pegunungan Killimooin, “Ini dia,” katanya. “Bagian berwarna hijau inilah Hutan Rahasia. Hutan ini luas sekali dan sangat lebat. Bayangkan saja, betapa banyak binatang buas di dalamnya.” “Tetapi, Paul, mengapa tak ada orang yang ke sana?” tanya Mike, tak sabar. “Kalau tidak ada jalan tembus masuk ke sana, mengapa tidak mendaki gunungnya, lalu turun di sebelah sananya? Dengan begitu, orang bisa sampai ke sana dan melihat apa saja isi hutan itu.” “Ada sebabnya mengapa orang tak pernah melakukan itu,” sahut Paul. “Tak ada jalan! Ya, tak ada jalan untuk menyeberangi Pegunungan Killimooin!” “Apa sebabnya? Maksudmu, jalannya terlalu curam?” tanya Nora, kaget. “Terlalu curam, dan terlalu berbahaya,” sahut Paul. “Apakah ada orang yang tinggal di lerengnya?” tanya Peggy. “Cuma penggembala kambing,” jawab Paul. “Tetapi, mereka tak pernah mendaki lebih tinggi. Gunung-gunung di sini padas. Terlalu licin dan curam untuk didaki. Mungkin kambing bisa mendaki sampai ke puncak — tetapi, penggembalanya tak pernah!” “Yah!” ucap Mike yang sangat tertarik akan hutan yang belum pernah didatangi orang itu. “Menarik sekali! Ayolah kita terbang ke atasnya, Paul. Aku ingin sekali melihat rupa hutan itu.” “Tak banyak yang bisa kaulihat dari atas,” kata Paul, menggulung kembali petanya. “Cuma kelihatan hijau. Tapi, tak ada salahnya kita pergi besok!” Sangat mendebarkan! Betapa asyiknya terbang sekali lagi, dan betapa menariknya tenbang mengarungi udara di atas pegunungan Killimooin dan Hutan Rahasia. Binatang apa sajakah yang hidup di sana? Pernahkah ada orang yang menapakkan kakinya di jalan setapaknya yang hijau berlumut? Beratus-ratus kali Mike dan Jack berharap mereka bisa menjelajahi hutan belantara yang tersembunyi itu! *** Keesokan harinya anak-anak bergegas menuju landasan di samping hanggar tempat pesawat udara Paul disimpan. Mereka memperhatikan montir menggelindingkan pesawat itu ke luar, ke rerumputan. Mereka menyapa Ranni dan Pilescu ketika melihat keduanya datang, mengenakan seragam penerbang. “Ranni! Tahukah kau jalur terbang ke Pegunungan Killimooin? Kami ingin ke sana!” “Dan sesampainya di sana, turunkan pesawat serendah mungkin supaya kita bisa melihat Hutan Rahasia dengan jelas,” pinta Nora. Ranni dan Pilescu tersenyum. Mereka masuk ke dalam pesawat. “Kita akan berkeliling Baronia,” ujar Pilescu, “Dan setelahnya kita baru terbang di atas Killimooin. Liar, sangat liar daerah itu. Tapi, istana yang dibangun ayahmu tahun lalu letaknya tak jauh dari situ — di lereng gunung, di tempat yang sejuk. Beberapa tahun terakhir ini, udara sangat panas pada musim panas — kurang menyehatkan untuk anak-anak. Jika kali ini pun udara menjadi panas sekali, tentu kalian juga akan diungsikan ke sana.” “Mudah-mudahan saja!” Paul berkata, matanya bercahaya “Aku belum pernah ke sana, Pilescu. Kurasa kami akan senang tinggal di sana.” “Yah, tapi tentu berbeda dengan tinggal di istana besar,” sahut Pilescu. “Daerah sekitar istana kecil itu masih liar. Jalan bagus yang menuju ke situ pun belum ada. Ke sana kalian tidak bisa naik mobil, atau naik kapal terbang. Satu-satunya yang bisa kita pakai ke sana adalah kuda pegunungan.” “Itu justru menyenangkan,” ujar Jack. Dia duduk dalam pesawat, memperhatikan para montir menggerakkan baling-balingnya. Pada waktu baling-baling mendesing berputar-putar, mereka terlompat. Mesin pesawat menderu kencang. Tak kedengaran bila orang berbicara di dekat tempat itu. Kemudian, pesewat raksasa itu pun dengan mulusnya tinggal landas setelah bergerak seperti mobil di landasan. Anak-anak hampir tak merasa bahwa pesawat yang mereka tumpangi telah tinggal landas dan tengah mengangkasa. Ketika mereka melihat ke luar jendela, istana kelihatan tak lebih besar daripada sebuah rumah boneka. “Kita sudah mengudara!” seru Jack, menarik napas. “Mana petanya? Kaubilang kau akan membawanya, Paul — supaya kita tahu di mana kita berada.” Sungguh mengasyikkan membentangkan peta sambil berusaha mencari dalam peta itu — sedang di mana mereka berada. “Kita ada di sini sekarang!” ujar Jack, menunjuk danau biru pada peta. “Betul, bukan — lihat nih, danaunya tepat berada di bawah kita. Dan, perhatikan — ada sungai yang mengalir ke situ. Peta pun menunjukkan begitu. Astaga, bukan main menariknya geografi kalau begini! Sayang pelejaran geografi di sekolah tidak seperti ini! Seandainya begini, mau aku mendapat pelajaran geografi setiap pagi!” Anak-anak membaca nama kota-kota yang mereka lalui. “Ortanu. Tarribon. Lookinon. Brutinliin — lucu-lucu benar namanya!” “Hai — ada tanda gunung di sini. Sebentar lagi pasti kita sampai di atasnya.” “Pesewat kita meninggi. Pasti kita sedang melaluinya, Ah, benar! Lihatlah ke bawah! Oh, bukan main besarnya gunung yang di sebelah sana itu!” “Hmm, lembahnya hijau. Dan lihatlah sungainya. Seperti ular keperakan,” “Apakah kita sudah dekat dengan Hutan Rahasia? Apakah sudah dekat Killimooin? Sialan, tempat itu tak kutemukan lagi dalam peta — padahal, semenit yang lalu masih kelihatan,” “Terang saja — habis tertutup tanganmu sendiri sih! Angkat tanganmu dari atas peta itu, Jack — ya, begitu! Nah, lihat — Killimooin. Kita sampai ke pegunungan itu!” Ranni berteriak kepada anak-anak di belakang. “Lihat ke bawah! Kita di atas Hutan Rahasia! Kita memasuki daerah Killimooin sekarang. Kau sudah tahu kan, Paul? Lihatlah ke luar — tunjukkan kepada teman-temanmu” Dengan berdebar-debar kelima anak itu menempelkan wajah mereka pada kaca jendela pesawat. Pesawat terbang meninggi, melewati puncak pegunungan. Kasar dan liarnya tanah pegunungan kelihatan cukup jelas dari pesawat. Tetapi, tak seorang manusia pun kelihatan di sana — tidak juga sebuah rumah. “Sekarang kalian tahu benar bahwa Pegunungan Killimooin membentuk lingkaran sempurna!” seru Paul. “Lihat saja — seperti cincin berukir, puncak gunung-gunungnya menjulang tinggi! Puncak bersambung dengan puncak — tak ada lembah di antaranya, tak ada sela-sela! itulah sebabnya tak ada orang yang bisa menyeberangi dan masuk ke hutan yang terlindung di tengah-tengahnya! ” Anak-anak dengan mudah bisa melihat bahwa pegunungan itu memang membentuk semacam lingkaran. Puncak-puncaknya saling berhubungan — tinggi, terjal, dan tak beraturan. Pesawat menderu melalui pinggiran Iingkaran pegunungan, dan anak-anak memandang ke bawah — ke lembah di bawah sana. “Itu yang namanya Hutan Rahasia!” seru Paul. “Itu dia! Rimbun dan gelap, bukan? Hampir seluruh lembah tertutup hutan.” Hutan Rahasia terbentang diam di bawah pesawat yang menderu-deru. Hutan belantara itu sungguh-sungguh luas sekali. Pucuk-pucuk pohonnya saling bersambungan — tak ada jarak yang nampak dari atas. Pesawat turun mendekati pucuk-pucuk pohon itu. “Misterius sekali sih!” ucap Nora, bergidik “Betul-betul misterius. Begitu sunyi — gelap — dan tersendiri. Seperti benar-benar belum pernah dan takkan pernah diinjak manusia.” 5. UDARA PANAS PESAWAT meninggi lagi, dan dalam sekejap sudah berada di luar lingkaran yang dibentuk oleh Pegunungan Killimooin. Makin lama Hutan Rahasia kelihatan semakin kecil. “Putar haluan kembali ke Hutan Rahasia, Ranni! Ayolah!” pinta Jack “Seram. Begitu rimbun, sunyi, dan suram. Perasaanku jadi lain!” Ranni menurut. Diputarnya haluan pesawat kembali ke Hutan Rahasia. Pucuk-pucuk pohon seolah-olah mencuat naik — rasanya seperti pesawat mereka hendak menukik masuk menerobos puncak-puncak pohon yang menyatu seperti permadani hijau tebal! “Hi, ngeri, ya — kalau tiba-tiba pesawat kita jatuh ke dalam hutan, dan kita tersesat — tak bisa keluar dari dalam lingkaran Pegunungan Killimooin!” Nora berkata. “Ah, bicaramu yang tidak-tidak saja!” komentar Peggy “Jangan bicara begitu, ah! Ranni, cepat bawa pesawat ini menjauh! Aku takut kita tak bisa keluar dari sini!” Ranni tertawa, Pesawat dia tinggikan lagi terbangnya. Tepat pada saat itu, Jack melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya hingga ia merapatkan wajahnya ke kaca jendela supaya lebih jelas melihatnya. “Ada apa?” tanya Nora. “Aku kurang tahu,” jawabnya. “Mungkin bukan seperti yang kuduga.” “Dugaanmu — apa?” tanya Paul, sementara pesawat makin membumbung dan terbang meninggalkan lingkungan Pegunungan Killimooin. “Kelihatannya seperti ada kepulan asap,” ucap Jack. “Tapi, tak mungkin — sebab, kalau ada asap, pasti ada api. Dan, kalau ada api, tentu ada manusia yang menyalakannya. Di hutan tadi tak ada orangnya, bukan?” “Ah, aku tidak melihat asap sama sekali,” sahut Mike. “Aku juga tidak,” tambah Paul. “Pasti yang kaulihat tadi cuma gumpalan tipis awan yang kebetulan rendah letaknya, Jack.” "Ya — mungkin memang awan,” Jack berkata. “Tapi, persis asap. Kalau hari tidak berangin, asap api unggun biasanya mengepul lurus ke atas dan diam di situ lama sekali. Kelihatannya seperti asap semacam itulah!” “Hmm, menurutku, Hutan Rahasia sangat — sangat misterius” ujar Peggy. “Aku tidak kepingin ke sana!” “Aku sih kepingin, kalau ada kesempatan!” Mike berkata. “Bayangkan — berjalan di tempat yang belum pernah dilalui orang! Cihui, itu namanya baru penjelajah sungguhan!” “Ini Jonnalongay,” teriak Ranni dari depan. “Salah sebuah kota terbesar di Baronia — dengan pemandangan danau di sekitarnya.” Anak-anak mulai memperhatikan peta lagi. Mereka senang sekali melihat berbagai tempat pada peta lalu melihat tempat yang sebenarnya sementara pesawat melewati tempat itu. Sayang, beberapa saat kemudian mereka terbang di atas lapisan awan tebal hingga tak bisa melihat ke tempat-tempat yang mereka lalui. “Tak perlu kecewa,” ujar Ranni. “Kita telah memutar haluan kembali. Saat ini kita terbang di atas perbatasan Baronia. Daerahnya kurang begitu menarik. Mudah-mudahan lapisan awan ini hilang di sekitar Tirriwutu — supaya kalian bisa melihat jalur-jalur rel kereta api di sana.” Awan semakin menipis menjelang Tirriwutu. Anak-anak menyaksikan garis-garis mengkilap, sementara Pilescu menurunkan ketinggian terbang pesawat. Menarik sekali garis-garis yang seperti bertebaran di sana-sini. Satu jalur terpecah menjadi banyak jalur menuju tujuan masing-masing, dan bertemu kembali di sekitar perkotaan. “Oh — itu istana besar kita, di tepi danau!” kata Nora, agak kecewa. “Kita sudah sampai, Paul! Penerbangan kita benar-benar mengasyikkan.” “Tapi, yang paling mengesankan Killimooin dan Hutan Rahasianya” tambah Jack. “Heran, bayangan hutan yang misterius itu tak mau pergi dari kepalaku. Seandainya yang kulihat tadi itu benar-benar asap! Itu berarti ada orang hidup di sana — orang yang tak dikenal — orang yang tak pernah bisa keluar dari lingkungannya. Bagaimana rupa mereka, ya?” “Jangan mengada-ada Jack,” komentar Mike. “Yang kaulihat tadi bukan asap. Jadi, di sana tak ada orang tinggal. Bagaimanapun kalau benar ada orang hidup di sana sekarang ini, mereka pasti pernah menyeberangi puncak Pegunungan Killimooin. Jadi, kalau mereka mau, pasti bisa menyeberang ke luar lagi! Percayalah asap yang kaulihat tadi cuma lapisan awan. Memang aneh-aneh bentuk awan yang kita temui bila sedang terbang.” "Ya, aku tahu,” ucap Jack. “Kau benar. Memang tak mungkin ada asap di sana. Cuma, agak senang juga membayang ada asap. Jadinya hutan itu seperti lebih misterius!” Pesawat meluncur turun menuju landasan, dan berhenti. Montir berlari-lari mendekati “Mulus sekali mesinnya hari ini!” ujar salah seorang di antara montir-montir tadi kepada Ranni dalam bahasa Baronia. Anak-anak mulai mengerti bahasa itu sekarang. “Bukan main panasnya hari ini! Tubuhku serasa hendak meleleh!” Suhu tinggi daratan menyambut kedatangan anak-anak ketika mereka keluar dari pesawat. Segala sesuatu seakan bergoyang dengan kilau yang menyilaukan di bawah terik matahari. “Astaga” seru Nora. “Meleleh rasa tubuhku! Alangkah nikmatnya makan es krim saat ini!” Mereka berjalan ke istana dan berbaring-baring di bawah payung-payung lebar yang terdapat di teras. Biasanya angin danau bertiup semilir pada siang seperti itu. Tetapi, kali ini seolah tak ada angin sama sekali. “Bagaimana kalau kita berenang?” ajak Jack “Jangan! Tak baik!” sahut Mike. “Kemarin saja airnya sudah panas — apalagi hari ini! Seperti mandi air panas saja kalau kita mencebur ke situ.” Terdengar bunyi gong dari dalam istana. Waktu makan siang. Nora mengeluh. “Uh, mana bisa makan enak kalau udara sepanas ini! Bergerak saja, aku tak bisa. Rasanya, makan es krim pun aku tak kuasa!” “Hari ini makanan disiapkan di dalam Istana,” kata Ranni, keluar dari teras. “Di dalam agak sejuk. Kipas angin di ruangan bermain terpasang semua. Ayo, makan!” Walaupun hidangan lezat-lezat seperti biasanya, tak seorang pun bisa menikmati. Ranni dan Pilescu yang melayani anak-anak itu makan, merasa cemas. “Kau harus makan, Pangeran Paul,” kata Ranni. “Panas sekali,” sahut Paul. “Di mana Ibu? Aku ingin minta izin melepas pakaianku yang panas ini dan menggantinya dengan pakaian renang saja. Di Inggris, orang cuma mengenakan pakaian renang pada musim panas bila mereka sedang libur dan hari terlalu panas.” “Ah, tapi kau kan seorang Pangeran, Paul,” kata Ranni. “Tak pantas seorang pangeran keluyuran berpakaian seperti itu.” Pangeran Paul mencari ibunya. Beliau sedang berbaring di kamarnya yang indah, matanya ditutup dengan selembar sapu tangan wangi. “Ibu! Ibu sakit?” tanya Paul. “Tidak, Paul — cuma capek kepanasan,” jawab ibunya. “Kita akan ke gunung, ke istana kecil yang dibangun ayahmu setahun yang lalu. lbu pikir panas seperti ini tak sehat buat kita semua! Kata ayahmu, kita akan diberangkatkan besok. Ibu tak tahu bagaimana caranya membawa kalian semua dan pengasuh adik-adikmu ke sana. Bagaimanapun, kita harus pergi! Mengapa tahun-tahun belakangan ini Baronia begini panas, ya! Musim dinginnya dingin sekali, dan musim panasnya tak tertahankan?” Paul lupa akan maksudnya menjumpai ibunya. Dipandangnya beliau, hatinya gembira dan berdebar-debar. Mereka akan pergi ke istana kecil di gunung! Alangkah senangnya. Dia dan teman-temannya bisa menjelajah bukit-bukit di sekitarnya dengan mengendarai kuda pegunungan. Tentu sangat mengesankan! Angin berhembus sejuk di lereng bukit, hingga mereka takkan merasa ingin berbaring-baring tanpa melakukan apa-apa sepanjang hari. “Oh, Ibu! Sungguhkah kita akan pergi ke sana?” tanya Paul. “Akan kuberi tahu teman-temanku!” Paul berlari ke luar, lupa akan panasnya udara siang itu. Terengah-engah, dia menerobos masuk ke ruang bermain. Teman-temannya memandang Paul kaget. “Heran, kau masih bisa berlari seperti itu dalam udara panas begini,” ucap Jack. “Gila, barangkali kau, Paul! Aku yang berbaring diam begini saja basah kuyup oleh keringat. Lebih panas daripada waktu kita di Afrika — padahal, di Afrika panasnya sudah luar biasa.” “Dengar! Kita akan ke istana kecil yang di lereng gunung besok!” seru Paul. “Senang, yal Di sana udara sejuk, dan kita bisa berkuda naik-turun gunung-gunung di sekitarnya. Kita bisa mengobrol dengan penggembala kambing. Pokoknya, kita pasti senang di sana!” Jack bangkit. “Astaga!” katanya. “Bukankah Pilescu pernah bilang bahwa istana itu terletak dekat Killimooin? Siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang berhubungan dengan Hutan Rahasia!” “Tak mungkin!” sahut Paul. “Tak ada yang bisa kita temukan. Kita tanya saja sama penggembala kambing di sana. Cihui, senangnya tinggal di gunung!” Semuanya merasa senang. Cuaca terlalu panas hingga tak ada sesuatu pun yang bisa mereka nikrnati di istana besar. Membayangkan berkuda di pegunungan sangatlah menggembirakan. Jack kembali berbaring sambil bertanya-tanya, mungkinkah bisa menemukan sesuatu mengenai Hutan Rahasia? Dia akan bertanya kepada setiap penggembala kambing yang dijumpainya, minta supaya mereka menceritakan segala yang mereka ketahui mengenai Hutan Rahasia yang misterius itu, “Pasti mereka tahu,” pikir Jack Lalu, keras-keras dia berkata, “Paul, naik apa kita ke istana di gunung? Menunggang kuda?” “Tidak — naik mobil,” jawab Paul, “Tapi, kira-kira dua puluh mil dari sana, jalannya tak bisa dilalui mobil dan kita terpaksa berkuda sampai ke istana. Aku tak tahu bagaimana adik-adikku akan di bawa mereka kan belum bisa naik kuda sendiri." “Hmm, indahnya liburan ini!” ucap Nora. ! “Tinggal di istana, terbang berkeliling-keliling dengan pesawat bagus, mengintip Hutan Rahasia dari atas, dan sekarang — hendak ditambah pula dengan tinggal di istana yang dibangun di pegunungan, yang jalannya saja belum bisa dilalui mobil. Betapa beruntungnya kita ini!” “Huh, tambah panas saja,” Mike berkata, mengeluh. “Angin dan kipas angin pun terasa panas! Mudah-mudahan udara jadi agak sejuk nanti sore.” Ternyata tidak. Udara terasa lebih panas lagi. Tak seonang pun bisa tidur malam itu, meskipun semua kipas angin di kamar tidur mereka dijalankan Berkali-kali mereka membalik bantal, mencari tempat yang dingin. Akhimya, anak-anak itu turun dari tempat tidur dan berdiri di muka jendela yang terbuka — mencari hawa yang agak sejuk. *** Ketika pagi menjelang, mereka semua bermata sembab, merasa jengkel dan ingin marah. Paul marah-marah kepada Ranni. Tetapi Ranni hanya tertawa. “Ah, Pangeran — udara panas memang tidak menyenangkan! Tapi, jangan kau marah-marah kepadaku. Marah-marah pada saat begini sama saja bodoh — sebab, makin kita marah, makin kita merasa kepanasan! Nah, sekarang bersiap-siaplah. Setengah jam lagi mobil datang menjemput kita.” Anak-anak mandi. Mereka tidak berenang di danau, karena airnya pasti panas. Sehabis mandi, tubuh mereka menjadi sedikit segar. Mike mendengar bunyi mesin mobil. Segera Ia mengintip ke luar dan jendela. Iring-iringan mobil bagus tampak di luar, siap membawa seluruh anggota keluarga — kecuali ayah Paul. Lima anak remaja, lima anak kecil, ibu Paul, pengasuh adik-adik Paul, Ranni, dan Pilescu ikut pergi. “Ayo!” teriak Paul. “Kita berangkat. Nora, cepat — kau ketinggalan nanti!” Mereka semuanya masuk ke dalam mobil. Hati mereka gembira karena akhirnya mereka akan pergi ke pegunungan yang berudara sejuk 6. ISTANA KILLIMOOIN AGAK lama juga mengatur adik-adik Paul. Salah seorang pengasuh menjaga bayi yang terbaring dalam keranjang di sampingnya. Anak-anak lainnya mengobrol dan bersenda gurau. Wajah mereka kelihatan pucat kepanasan, tetapi semuanya bergembira karena hendak menuju ke tempat baru. Ranni dan Pilescu berada dalam satu mobil dengan Paul dan teman-teman lnggrisnya. Mobil besar berwarna biru dan perak yang mereka tumpangi sangat luas. Nora merasa lega ketika akhirnya iring-iringan itu berangkat. Udara sejuk menerpa wajahnya dan jendela. Panas Baronia yang mencekam membuat badannya kurang enak akhir-akhir ini. “Istana baru di gunung itu namanya Istana Killimooin,” ucap Paul. “Aku sendiri belum pernah ke sana. Istana itu dibangun ketika aku di lnggris. Katanya, tempatnya persis di lereng salah satu gunung Pegunungan Killimooin. Ah, kita bisa menjelajah di sana nanti.” “Jangan pergi sendiri,” Ranni berkata mengingatkan. “Siapa tahu ada perampok atau orang jahat di sekitar sana.” “Oh, Ranni — suatu kali toh boleh kami bepergian sendirian!” seru Jack “Masa ke mana-mana selalu kaukawal seperti anak kecil saja.” “Kalian tak boleh pergi sendirian,” ulang Ranni. Suaranya tegas. Pilescu mengangguk membenarkan. “Jarak yang kita tempuh menuju Killimooin kurang lebih dua ratus mil,” kata Paul. “Perjalanannya memakan waktu empat atau lima jam — sampai di jalan yang tak bisa dilalui mobil.” Mobil-mobil mewah yang membawa keluarga raja itu meluncur dengan kecepatan cukup tinggi. Semuanya ada lima mobil, sebab para pembantu pun dibawa. Di belakang sekali, menyusul sebuah mobil gerbong bermesin kuat. Di dalamnya, termuat semua barang yang diperlukan, seperti pakaian, buaian bayi, dan sebagainya. Desa demi desa mereka lalui. Anak-anak melongokkan wajah mereka ke luar jendela, mencari udara segar. Ranni mengeluarkan coklat Baronia yang terkenal lezatnya. Rasanya coklat bercampur susu dan madu. Sambil menikmati potongan coklat masing-masing, anak-anak memperhatikan sungai-sungai, bukit-bukit, serta lembah yang mereka lalui. Sesekali, mobil mereka melalui jalan yang berliku-liku dan menanjak. Bila sampai di jalan yang begini, Nora cepat-cepat memalingkan muka hingga tak tampak olehnya lembah curam yang letaknya beberapa puluh meter di bawahnya. Nora selalu merasa gamang, katanya. “Bagaimana kalau mobil kita berpapasan dengan mobil lain di jalan yang berkelok tajam seperti ini,” kata Peggy. “Oh, jalannya sudah dikosongkan khusus untuk kita,” jawab Paul. “Kita takkan berpapasan dengan mobil lain dijalan pegunungan yang berbahaya ini. Jadi, kau tak perlu kuatir.” Anak-anak memang tidak merasa ngeri sama sekali. Mobil terus melaju — tidak berhenti, kecuali waktu mereka hendak makan siang! Pukul setengah satu, ketika semua sudah mulai kelaparan, isyarat diberikan agar semua mobil berhenti. Semua keluar dari mobil, melempangkan kaki dan berlari-lari kecil di sekitar tempat mobil berhenti. Mereka berada di sisi sebuah bukit, di bawah mereka mengalir sungal — airnya berkilau-kilauan. Tempatnya sangat cocok buat berpiknik. Seperti biasanya, makanan yang dihidangkan lezat-lezat. Ranni dan Pilescu membuka keranjang. Sementara itu anak-anak membentangkan kain putih lebar di atas rumput dan mengatur piring-piringnya. “Sandwich ayam! Bagus!” ucap Mike. “Poding es krim! kesukaanku!” seru Nora. “Tiga puluh macam sandwich!” tambah Jack. “Oh, betapa lapar rasa perutku!” Nikmat benar mereka makan sambil duduk-duduk di udara terbuka yang sejuk. “Sejuknya sudah mulai terasa,” Nora berkata, penuh syukur. “Di Istana Killimooin lebih sejuk lagi,” komentar Ranni. “Istana itu dibangun di tempat yang merupakan tempat pertemuan angin dari dua arah! Pada hari yang paling panas sekali pun di sana tetap sejuk. Percayalah, sebentar saja kalian akan berpipi merah lagi seperti semula.” Semua masuk ke mobil setelah selesai bersantap siang. Iring-iringan pun berjalan lagi. “Kurang lebih satu jam lagi, habislah jalan yang bisa dilalui mobil,” ucap Pilescu, melihat arlojinya. “Mudah-mudahan kudanya sudah siap di sana.” “Bagaimana adik-adik Paul? Mereka kan belum bisa naik kuda sendiri?” tanya Nora. “Oh, itu tak perlu dikuatirkan,” sahut Pilescu. “Lihat saja nanti.” *** Setelah kurang lebih satu jam lamanya, mobil berhenti. Anak-anak memandang ke luar dengan hati berdebar-debar. Di hadapan mereka, telah menanti beberapa orang laki-laki dengan kuda-kuda mereka. Tibalah waktunya menunggang kuda! Lama juga mengatur hingga semuanya dudukdi atas kuda masing-masing. kini, tahulah Nora bagaimana caranya adik-adik Paul dibawa! Kuda-kuda yang agak besar dipasangi keranjang besar di sisi kiri dan kanannya — ke dalam keranjang-keranjang itulah adik-adik Paul dimasukkan! Dengan dituntun oleh seorang lelaki, amanlah kuda berkeranjang serta penumpangnya — mereka takkan jatuh? “Aku tak mau dimasukkan keranjang,” ucap Nora, kuatir disuruh begitu. Tetapi, anak-anak remaja memang dianggap bisa berkuda sendiri-sendiri. Masing-masing melompat ke punggung kuda yang dituntun ke dekat mereka, dan memegang kendalinya. kuda-kuda itu tegap dan kuat — gampang ditunggangi, walaupun Nora rnengeluh kudanya mengguncang dia. “Bukan begitu, Nora — kaulah yang mengguncang tubuh kuda itu!” ujar Pilescu, tertawa. Iring-iringan pun berangkat. Pengasuh adik-adik Paul, yang kebanyakan berasal dari desa, tidak takut-takut rnernbawa anak asuh mereka naik kuda ke Istana Killimooin. Adik-adik Paul berteriak-teriak dan tertawa-tawa kegirangan. Mereka melalui sebuah tikungan, dan tampaklah gunung-gunung yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Jalan terus rnenanjak — mereka naik sedikit demi sedikit menuju istana yang dibangun ayah Paul setahun sebelumnya. Tak ada rumah atau gubuk-gubuk kelihatan di kiri-kanan jalan. Tempatnya sungguh-sungguh terpencil. "Lihat kambing-kambing itu!” seru Peggy, menunjuk pada sekawanan kambing yang melompat-lompat di kejauhan. “Betapa banyak jumlahnya! Mana penggembalanya?” “Di atas sana!” tunjuk Paul. “Lihat — itu, dekat pohon tumbang.” Penggembala itu memandang iring-iringan yang lalu di bawahnya. Jenggotnya merah menyala seperti jenggot kebanyakan orang Baronia. Dia mengenakan celana compang-camping yang terbuat dari kulit kambing, sedang bagian tubuh lainnya tak bertutup sama sekali. “Kelihatannya liar dan bengis orang itu,” komentar Nora. “Aku takkan berani bicara dengan penggembala kambing kalau semua begitu.” “Oh, mereka tidak jahat,” Ranni berkata sambil tertawa melihat wajah Nora yang ketakutan. “Mereka yang lebih takut kepadamu, malah!” Mula-mula, senang rasanya terhentak-hentak di alas punggung kuda. Tetapi, ketika jalan semakin curam dan berliku-liku, ingin rasanya anak-anak itu segera sampai. “Yang jelas, pemandangan bagus dan udaranya sejuk,” kata Jack, “Kalau malam dingin sekali, lho,” Ranni berkata. “Kalian harus berselimut tebal-tebal!” “Yah, setidak-tidaknya ada perubahan,” ujar Jack, teringat akan panasnya udara semalam hingga ia melemparkan semua pakaiannya. “Hai, itukah lstana Killimooin?” Benar, istana itu berdiri di lereng gunung — menghadap pada semacam sungai buatan yang sangat dalam, berdindingkan batu gunung itu sendiri. Istana itu tidak kelihatan baru, tetapi juga tidak usang. Sedang-sedang saja, pikir Nora. Agak kecil, bermenara bulat, bertangga tinggi dan batu pegunungan. “Serasa hidup dua-tiga ratus tahun yang silam bila berada di istana itu,” kata Peggy. “Istananya pas betul — tidak tua, tidak juga modern. Aku suka melihatnya. Istana Killimooin — cocok ya, namanya!” “Benar,” sahut Jack, “Letaknya saja di lereng Pegunungan Killimooin, bukan? Tak terasa, kita sudah berada di tempat tinggi lho!” Memang. Walaupun gunung masih menjulang tinggi di atas mereka, lembah di bawahnya sudah tertinggal jauh sekali. Angin berhembus, Nora merinding. “Bukan main! Aku sudah kedinginan,” katanya, tertawa. “Ah tidak — yang kaurasakan itu hanyalah perubahan mendadak dan udara panas ke udara sejuk pegunungan,” komentar Ranni. “Capek? Sebaiknya beristirahat dulu sebelum minum teh!” “Oh, kan sudah hampir waktunya minum teh?” Mike berkata, kecewa. “Aku sudah lapar sekali. Lihat — kita sudah hampir sampai ke tangga istana. Aku turun dari kuda, ah!” Penjaga yang memelihara istana pegunungan sudah menantikan kedatangan keluarga kerajaan. Mereka berdiri di anak tangga teratas. Pintu besi besar terbuka di belakang mereka. Anak-anak segera menyukai orang-orang itu. "Itu Tooku, dengan Yamen, istrinya,” ucap Pilescu. “Mereka berasal dari daerah pegunungan ini. Kalian pasti senang mengobrol dengan mereka sekali-sekali, sebab mereka tahu banyak mengenal legenda dan cerita mengenai pegunungan tua ini.” Tooku dan Yamen menyambut anak-anak dengan pekik kegirangan. Kepolosan orang-orang gunung itu membuat mereka tak takut akan kedatangan pangeran dan putri-putri kerajaan. Mereka bahkan merasa gembira melihat banyak anak-anak. Sebentar saja iring-iringan sudah sampai di dalam istana. Kamar-kamarnya tidak semewah di istana besar, tetapi mereka tidak mempedulikan hal ini. Kamar-kamar itu agak kecil, tetapi langit-langitnya tinggi. Dindingnya dihiasi dengan hiasan dinding tua, terbuat dari bahan permadani. Jendelanya tidak bertirai, tetapi — oh, pemandangannya bukan main! Gunung demi gunung terlihat jelas — sebagian terselubung awan, sebagian lagi bersalju di pucuknya. Pepohonan yang tumbuh di sana nampak seperti rumput dari kejauhan. Lembah di bawahnya, seakan bermil-mil jauhnya. “Lain rasanya Istana Killimooin ini,” Jack berkata riang. “Istana besar suasananya gembira, modern, dan semua pertengkapannya serba baru. Killimooin agak suram, kekar, dan agak liar. Aku suka suasana begini. Tak ada keran air panas dalam kamar tidur. Kamar mandi pun belum terlihat olehku. Tempat tidurnya lebih menyerupai bangku bertutup kain dan berbantal. Tapi, aku benar-benar suka di sini.” Menyesuaikan diri dengan keadaan istana kecil di pegunungan sangat menyenangkan untuk anak-anak. Mereka bebas pergi ke mana saja — ke dapur, ke menara, ke gudang bawah tanah. Tooku dan Yamen menyambut mereka dengan gembira di mana saja dan kapan saja. Setelah merasakan panasnya udara di istana besar, hawa pegunungan yang sejuk terasa amat nikmat. Anak-anak tidur nyenyak malam itu, menikmati kesejukan angin pegunungan yang berhembus masuk melalui jendela-jendela sempit kamar mereka. Udaranya sangat segar dan bersih — disertai wangi pinus. Keesokan harinya Ranni berkata kepada mereka, “Kalian masing-masing punya kuda untuk kalian tunggangi ke mana saja bila kalian ingin ke luar istana. Tapi ingat, kalian cuma boleh pergi kalau aku atau Pilescu bersama kalian.” “Mengapa tidak boleh pergi sendiri?” tanya Paul, agak jengkel. "Percayalah, Ranni — kami takkan apa-apa.” “Siapa tahu kalian tersesat,” sahut Ranni. “Di daerah pegunungan seperti ini, orang mudah sekali tersesat. Janji — kalian takkan pergi ke mana-mana tanpa aku atau Pilescu.” Tak seorang pun mau berjanji. Pergi bersama orang dewasa tidak sesenang kalau pergi sendirian. Tetapi Ranni sangat tegas. “Kalian harus berjanji,” ulangnya. “kalau tidak mau berjanji, kalian tak jadi kuberi kuda!” “Yah, kalau begitu — terpaksa kami berjanji,” ucap Jack “Baiklah — aku berjanji takkan pergi ke mana-mana tanpa pengawal.” “Aku juga,” tambah Mike, Nora dan Peggy ikut-ikut berjanji. “Bagaimana dengan kau, Pangeran?” tanya Ranni, berpaling kepada Paul yang kelihatan mendongkol. “Yah — aku juga berjanji,” katanya. “Meskipun begitu, kupikir sebenarnya tak ada bahaya.” Paul salah. Bahayanya ada — tapi, jenis bahayanya berbeda dengan yang diduga orang. 7. BEOWALD BUTA, SI PENGGEMBALA KAMBING Dua hari kemudian kabut menyelimuti Killimooin. Ranni dan Pilescu pun tak berani menunggang kuda ke luar istana, walaupun mereka berjanji hendak mengajak anak-anak berkeliling-keliling. “Jalan tak terlihat dalam kabut seperti ini,” kata Ranni, memandang ke luar jendela, “Awan tebal menyelimuti lembah di bawah kita. Di atas sini kabut demikian tebalnya hingga orang mudah sekali keluar dari jalan setapak dan tersesat,” “Yah,” Paul berkata, kecewa. “Lalu, apa yang mesti kita lakukan, kalau begitu.” Yamen melongokkan kepala di pintu ketika dia lewat, “Turun saja, minum teh bersamaku dan Tooku,” undangnya. “Kue-kuenya cukup enak. Sambil menikmati, kalian boleh bertanya apa saja yang ingin kalian ketahui mengenal daerah ini.” “Oh, bagus!” seru Jack “Kami ingin tahu mengenai Hutan Rahasia. Siapa tahu kau dan Tooku tahu dongeng-dongengnya! Pasti sangat menarik!” Minum teh di dapur bersama Yamen dan Tooku ternyata menyenangkan sekali. Di perapian berukuran besar, menyala api — di atasnya tergantung panci hitam berisi sup untuk hidangan makam malam yang sedang mendidih perlahan-lahan. Kue-kue lezat dihidangkan bersama teh, di atas meja kayu. Anak-anak menyantap semuanya dengan lahap. Bukan kue coklat, biskuit, atau kue basah bermentega yang dihidangkan, tetapi potongan roti yang baru dibakar oleh Yamen beserta pelengkapnya: mentega dan madu lebah hutan. Selain itu, dihidangkan pula kue lezat dengan rasa pahit manis. “Yamen, ceritakan tentang Hutan Rahasia,” pinta Nora sambil mengolesi rotinya dengan mentega. “Kami melihat hutan itu dari atas sewaktu kami naik pesawat terbang. Hutan itu bukan main besarnya, dan kelihatannya sangat misterius.” “Hutan Rahasia!” ucap Yamen. “Ah, mana ada orang yang tahu mengenai hutan itu! Tersembunyi dalam lingkaran pegunungan, belum pernah dikunjungi manusia.” “Apakah tak ada orang yang tinggal di sana?” tanya Jack, teringat akan kepulan asap yang pernah dilihatnya. “Mana bisa?” tanya Tooku, dengan suara serak dan dalam, dari ujung meja. “Kan, tidak ada jalan menuju ke sana, Tuan.” “Belum pernah ada yang menemukan jalan?” tanya Jack Tooku menggeleng. “Belum. Jalannya saja tidak ada. Memang, pernah kudengar ada jalan yang sangat curam dan berbahaya menuju puncak — dari situ, orang bisa melihat Hutan Rahasia; tetapi, dari sana tak ada jalan turun menuju Hutan Rahasia. Kambing pun tak bisa menuruni lereng gunung dan sisi yang sebelah sana.” Anak-anak mendengarkan dengan diam. Kecewa juga mereka mendengar bahwa sesungguhnyalah tak ada jalan menuju Hutan Rahasia. Tooku pasti tahu, kalau ada — sebab, dia sudah bertahun-tahun lamanya tinggal di daerah situ. “Ranni tidak memperbolehkan kami bepergian sendiri,” keluh Paul. “Rasanya kami jadi seperti bayi saja, Tooku. Tolong katakan kepadanya, bahwa pegunungan ini aman.” “Ah, tapi di sini tak aman,” Tooku berkata perlahan-lahan “Banyak perampok. Aku sering melihat dari istana ini. Ketika istana ini dibangun tahun yang lalu, tentu perampok-perampok itu berharap akan banyak tamu datang dan pergi dari sini." “Perampok?” tanya Jack “Di mana mereka tinggal? Banyakkah jumlahnya?” “Ya, banyak sekali,” jawab Tooku, menganggukkan kepala yang berewokan. “Kadang-kadang mereka merampok petani miskin, mengambil kambing dan ayam mereka pada malam hari. Kadang-kadang mereka merampok orang yang sedang melakukan perjalanan di jalan yang jauh sekali.” “Mengapa tidak ditangkap dan dihukum mereka itu?” tanya Pangenan Paul, marah. “Aku tak mau ada perampok di negeriku!” “Orang tak tahu di mana mereka bersembunyi,” sahut Yamen. “Ah, ah — mereka itu kawanan orang jahat yang sangat keterlaluan. Kupikir, mereka pasti punya tempat persembunyian yang hebat jauh di puncak sana.” “Siapa tahu mereka tinggal di Hutan Rahasia,” ujar Jack “Ah, senang sekali sih kau sama Hutan Rahasia.” Nora berkata. “Jangan tanya lagi tanya lagi, dong! Kan sudah berkali-kali kau diberi tahu bahwa tak mungkin orang bisa masuk ke sana!” "Apakah banyak binatang buas berkeliaran di pegunungan ini?” tanya Mike. “Ada serigala,” ujar Yamen. “Raung mereka kedengaran pada malam dingin, musim salju — ketika mereka tidak mendapatkan makanan lagi. Mereka bahkan mendatangi istana ini. Aku melihat sendiri.” “Hi, ngeri!” Nora berkata sambil bergidik. “Untunglah aku sudah berjanji kepada Ranni dan Pilescu — takkan pernah berkeliaran sendiri tanpa ditemani salah seorang di antara mereka. Aku tak mau dihadang perampok atau dikejar serigala.” “Ah, jangan terlalu dipercaya cerita mereka,” Peggy berbisik. Yamen mendengar kata-kata Peggy. Walaupun dia tidak mengerti bahasa lnggris ia bisa menduga. “Ah!” ucapnya. “Kalian kira semuanya ini cuma dongeng, Nak? Kalau kalian ingin tahu lebih banyak lagi, pergilah dan temui si penggembala kambing — si Buta Beowald. Dia pasti mau menceritakan kepada kalian berbagai keanehan di sekitar pegunungan ini!” Menarik juga si Buta Beowald, pikir anak-anak. Mereka menanyakan di mana si Buta Beowald bisa mereka temui. “Ikuti saja jalan berliku-liku yang menanjak di belakang istana,” ujar Tooku. “Sesampainya di pohon pinus tumbang, ambil jalan kecil titian kambing yang menuju ke kiri. Jalannya berbatu-batu, tetapi kuda masih bisa melalui jalan itu. Ikuti terus jalan itu sampai kalian tiba di mata air yang keluar dari samping sebuah batu besar. Berteriaklah memanggil Beowald. Dia pasti mendengar panggilan kalian, sebab telinganya sangat tajam — seperti telinga kelinci gunung. Dia bisa mendengar tumbuhnya rerumputan pada musim semi, dan kilatan meteor pada bulan Nopember!” *** Esok harinya, cuaca tenang. Anak-anak mengingatkan Ranni akan janjinya. Lelaki itu meringis, Senjatanya berkilat-kilat oleh sinar matahari. “Baiklah, kita pergi,” katanya. “Akan kuambil dulu kuda-kudanya, Sebaiknya kita membawa bekal makan siang.” “Kami ingin bertemu dengan Beowald si penggembala kambing,” ucap Paul, “Pernahkah kau mendengar namanya, Ranni?” Ranni menggelengkan kepala. Dia pergi mengambil kuda. Sementana itu, Nora dan Peggy berlari-lari mendapatkan Yamen, memintanya untuk menyediakan makan siang untuk mereka bawa. Sebentar saja semuanya sudah siap. Ranni menyuruh anak-anak membawa mantel Baronia yang diberi lapisan bulu, sebab kabut bisa datang tiba-tiba dan membuat mereka kedinginan. Mereka berangkat, menelusuri jalan berkelok-kelok naik di belakang istana. Langkah kuda yang mereka tunggangi pasti walaupun jalannya berbatu-batu dan banyak kerikil yang terlempar sementara mereka lewat. Kuda-kuda itu sangat manis, ramah, dan bersemangat. Anak-anak sangat menyayangi mereka. Ranni memimpin di depan. Pilescu di belakang sekali. Rombongan kecil yang mendaki dengan berkuda itu diliputi suasana riang gembira, sementara matahari bersinar cerah — menerangi lereng gunung yang terjal. "Kita cari pohon pinus yang tumbang disambar petir,” Jack berkata kepada Ranni yang berkuda tepat di depannya. “Setelah itu, kita ambil jalan setapak kambing yang menuju ke kiri.” "Eh, ada burung elang,” seru Nora, tiba-tiba, ketika terlihat olehnya seekor burung raksasa membumbung tinggi ke udara — sayapnya terbentang lebar. “Berbahayakah burung elang, Pilescu?” “Ah, mereka takkan menyerang kita,” sahut Ranni. “Mereka memang sering menyeruak turun, mengambil anak kambing untuk makanan anak-anak mereka.” “Apakah mungkin kita akan bertemu dengan serigala?” tanya Peggy, berharap tidak. “Berkuda menanjak begini menyenangkan, sebetulnya. Aku suka sekali!” “Itu dia pohon pinus tumbangnya!” teriak Paul. “Lihat di sebelah sana. Sebentar lagi kita sudah sampai di situ. Hi, jelek benar bentuknya! Biasanya pohon pinus tinggi dan tegak, bukan?” Pohon pinus yang tumbang tadi seolah-olah menunjuk ke arah kiri, di tempat jalan terbelah dua. Yang ke kiri merupakan jalan kecil berjejak kambing. Rombongan mengikuti jalan ini, sementara derap kaki kuda mereka terdengar riang di alam sunyi itu. Nyaman benar berada di tempat sejuk, memandang lembah hijau bermandikan sinar matahari pagi di bawah sana. Terkadang, gumpalan kecil awan melayang di bawah anak-anak. Sekali, sebuah gumpalan melayang tepat mengenai mereka. Tetapi, anak-anak tidak merasa sakit ketika mereka seolah diselubungi oleh gumpalan itu — gumpalan awan tadi tak lebih dari kabut biasa. “Awan sama saja dengan kabut,” Nora berkata. “Kelihatannya padat kalau kita lihat melayang di angkasa — lebih-lebih awan pegunungan, awan yang mengumpul bergumpal-gumpal pada bulan Maret dan April. Nyatanya, kalau kita dekati, tidak ada apa-apanya.” “Bunyi apa itu?” tanya Jack, telinganya yang sensitif mendengar sesuatu. “Kedengarannya ada air menggelembung di dekat-dekat sini,” sahut Nora, menghentikan kudanya. “Pasti mata air memancar yang disebut-sebut Tooku dan Yamen. Kalau begitu, kita sudah dekat dengan tempat penggembala kambing itu.” “Lihatlah kambing-kambing yang berkeliaran di sana," tunjuk Peggy. Beberapa kawanan kambing nampak di kejauhan. Beberapa memandang kedatangan anak-anak dengan keheran-heranan. Ada pula yang melompat dari batu ke batu seperti ketakutan. “Kambing pintar juga main sirkus,” ucap Mike, tertawa melihat seekor kambing melompat jauh dari suatu langkan batu dan mendarat dengan keempat kakinya menyatu pada sebuah batu kecil dengan permukaan seluas tak lebih dan enam inci persegi. “Dia melompat lagi! Heran, kakinya tidak patah.” “Pasti mereka itu kambing Beowald,” ucap Peggy. “Ranni, panggilah Beowald, Ranni!” Tetapi sebelum Ranni sempat berseru memanggil penggembala kambing itu, terdengar bunyi-bunyian lain. Kedengarannya seperti sebuah melodi datar, tidak berawal maupun berakhir. Dengan hati kurang enak, anak-anak mendengarkan bunyi aneh tadi. “Apa sih?” tanya Peggy. Mereka maju sedikit, dan sampai ke dekat batu besar. Di sampingnya, memancar mata air jernih dan lubang di sisi gunung. Tak jauh dan situ, di tempat yang teduh, berbaring seorang remaja. Dia hanya mengenakan celana kasan yang terbuat dari kulit kambing. Di lehernya, pada tali kulit, tergantung sebuah seruling. Dengan seruling inilah si penggembala kambing itu bermelodi. Dia bangkit ketika anak-anak turun dari kuda mereka. Segena terlihat oleh anak-anak bahwa mata penggembala kambing itu buta. Matanya tidak bercahaya sama sekali, tidak bisa melihat apa-apa. Walaupun demikian, wajah yang mereka pandang kelihatan gembira. Dengan suara dalam berinama, penggembala tadi berkata, “Kalian sudah sampai! Dua jam yang lalu, kudengar kalian masih jauh di bawah sana. Aku menunggu kedatangan kalian.” “Bagaimana kau tahu bahwa kami hendak menemuimu?” tanya Paul, kaget. Si Buta Beowald tersenyum. Senyumnya aneh, sebab walau bibirnya terangkat, matanya tidak memancarkan sesuatu — tetap kosong dan gelap. “Aku tahu,” sahut Beowald. ‘Aku tahu segala sesuatu yang berlangsung di pegununganku. Aku tahu burung elang membumbung tinggi di atas kepalaku. Aku tahu serigala-serigala yang mengaum pada tengah malam. Aku tahu bunga-bunga kecil yang tumbuh di bawah telapak kakiku, dan juga pepohonan yang meneduhiku. Pendeknya, aku mengenal Killimooin lebih daripada siapa pun.” “Beowald, adakah yang kauketahui mengenai Hutan Rahasia?” tanya Paul bersemangat. Sahabat-sahabat Paul sudah mulai mengerti percakapan berbahasa Baronia, walaupun mereka belum bisa berkata-kata dengan lancar dalam bahasa itu. Penuh antusias, mereka menunggu jawaban Beowald. Beowald menggeleng. “Aku bisa mengantarkan kalian ke tempat hutan itu terlihat jelas,” ucapnya. “Tetapi, tak ada jalan menuju ke sana. Kakiku selalu mengikuti kambing-kambing gembalaanku ke mana pun mereka pergi di sekitar pegunungan ini — bahkan sampai ke puncaknya. Tetapi, belum pernah mereka mengajakku turun ke sisi lain pegunungan ini. Bagi kambing pun tak ada jalan setapak yang bisa dilalui untuk turun di belahan lain pegunungan ini.” Anak-anak kecewa. “Apakah di sini banyak perampok?” tanya Jack, mencoba berbicara dengan bahasa Baronia. Beowald mengerti apa yang diucapkan Jack. “Kadang-kadang kudengar suara laki-laki yang tak kukenal pada malam hari,” katanya. “Mereka merayap turun sambil berteriak satu sama lain seperti bunung hantu. Aku takut. Jadi, aku cepat-cepat bersembunyi di dalam guaku. Perampok-perampok itu ganas dan buas, seperti serigala yang berkeliaran pada musim salju. Mereka mencari mangsa yang bisa mereka rampok dan bunuh.” “Di mana tempat tinggal mereka?” tanya Paul, penuh teka-teki. Beowald menggeleng, memandang Pangeran Paul dengan matanya yang buta. “Itu termasuk sesuatu yang belum pernah kuketahui,” jawabnya. “Mereka tak punya rumah. Mereka tak punya tempat tinggal. Itulah sebabnya aku takut menghadapi mereka. Mereka pasti tidak manusiawi. Orang-orang yang manusiawi, selalu punya tempat tinggal.” “Tak mungkin!” ucap Jack dalam bahasa Inggris. “Semua orang pasti punya tempat tinggal — termasuk perampok! Paul, tanyakan kepada Beowald kalau-kalau mungkin mereka tinggal di gua seperti Beowald.” Paul bertanya pada penggembala kambing itu, tetapi dia hanya menggelengkan kepala. “Oh, sernua gua di pegunungan ini sudah kukenal,” ucapnya. “Semuanya guaku, sebab hanya aku yang pernah memasuki gua-gua di sekitar pegunungan ini. Selama musim panas, aku tinggal di atas. Bila musim dingin tiba, aku turun ke bawah — tinggal di tempat ibuku. Aku merasa bahagia berada di sini bila udara bagus — bersama kambing-kambing dan serulingku.” “Coba kumandangkan melodimu lagi, Beowald,” pinta Peggy. Beowald menempelkan serulingnya di bibirnya, lalu terdengarlah nada sebuah melodi. Kambing-kambing di sekitarnya mengangkat kepala, mendengarkan. Anak-anak lebih mendekat lagi. Seekor kambing besar bertanduk besar melingkar ke depan melangkah ke dekat Beowald dengan sombongnya, lalu menempelkan wajahnya pada wajah tuannya. Beowald mengganti nada musiknya. Kali ini tidak seperti mata air yang mengalir turun di lereng gunung sambil menggelembung-gelembung sendiri, melainkan seperti angin yang berhembus dari puncak gunung, menyapu lembah, menari, melompat-lompat sambil berseru kepada pohon-pohon pinus serta pepohonan lain yang tegak anggun. Anak-anak ingin ikut menari dan meloncat-loncat. Kambing-kambing di sekitar mereka merasakan perubahan nada musik yang dibawakan oleh tuan mereka. Mereka mulai melompat kian kemari dengan riangnya. Pemandangan semacam itu belum pernah dilihat oleh anak-anak. Jack memperhatikan wajah remaja buta di hadapannya. Wajah itu memancarkan kebahagiaan sempunna. Rasanya, tak ada hal lain lagi yang diinginkan Beowald dalam kehidupannya yang aneh dan sepi itu! ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 8. SEHARI DI ALAM PEGUNUNGAN “BAGAIMANA kalau kita makan siang bersama Beowald di sini?” ajak Paul, tiba-tiba. “Rasanya aku sudah lapar sekali, Ranni. Tentu sangat nyaman duduk disini — makan sambil merasakan sejuknya sepoi angin pegunungan, hangatnya sinar matahari, dan indahnya musik Beowald.” “Tentunya Beowald lebih senang makan bersamamu daripada bermain musik sementara kalian melahap bekal makan siang kita!” Ranni berkata sambil tertawa. “Ajaklah dia makan bersama kalian.” Penggembala kambing itu tersenyum ketika mendengar kata-kata Ranni. Dia menggangguk, memberi perintah supaya kambing-kambingnya menjauh, lalu duduk tenang — memandang jauh ke lembah di bawah sana seolah segalanya di sana nampak oleh matanya. “Di mana kau tidur bila malam tiba?" tanya Paul. “Di mana guamu?” “Tidak jauh dari sini,” jawab Beowald. “Tetapi, sering kali aku tidur siang hari dan berjalan pada malam hari.” “Berjalan malam hari? Mana bisa? Jalannya kan tidak kelihatan?” tanya Peggy, membayangkan betapa gelap dan berbahaya lereng pegunungan yang banyak bertebing-tebing itu. “Siang dan malam sama gelapnya buatku,” jawab Beowald. “Aku melihat dengan telinga dan kakiku. Aku bisa mengembara ke mana saja di pegunungan ini, dan tahu di mana diriku berada pada setiap saat. Kerikil yang terinjak oleh kakiku, batu-batuan, rumput, bunga-bunga — mereka semua memberi tahu di mana aku sedang berada. Bau pohon pinus, wangi bunga-bunga liar, sentuhan angin pada kulitku pun memberi informasi yang sama. Walaupun mataku buta, aku bisa pergi ke mana pun di pegunungan ini dengan lebih aman dibandingkan dengan kalian yang bermata sehat dan bisa melihat segala sesuatu di sekitar kalian.” Anak-anak mendengarkan kata-kata Beowald. Sementara itu, Ranni dan Pilescu menyiapkan makanan. Ada roti, biskuit keras berasa manis yang sangat lezat bila dimakan bersama keju susu kambing. Beowald ikut bersantap dengan mereka, wajahnya gembira dan penuh kebahagiaan. Hari itu hari besar untuknya! “Beowald, antarkan kami ke tempat kami bisa melihat Hutan Rahasia,” pinta Paul. “Jauhkah dari sini?” “Perjalanannya memakan waktu kurang lebih dua jam,” sahut Si penggembala kambing. Dia menunjuk suatu tempat dengan telunjuknya, seolah melihat tempat itu. “Jalannya naik ke sana. Cukup curam dan berbahaya. Tapi, kuda kalian pasti bisa menanjak.” Anak-anak berdebar-debar. Sebentar lagi mereka bisa menyaksikan Hutan Rahasia dari pucuk pegunungan Killimooin. Mereka sudah sampai di tempat yang tinggi saat itu. Meskipun begitu, nampaknya pucuk pegunungan masih bermil-mil jauhnya dari tempat itu. Cuaca terang, udara sejuk segar. Jika angin berhembus, anak-anak merapatkan jaket bulu mereka. Mereka heran melihat Beowald tidak kedinginan walau cuma bercelana pendek. Setelah kenyang makan, mereka berdiri. Ranni menjemput kuda-kuda yang dibiarkan memakan rumput di tempat yang tidak terlalu berbatu-batu. Kuda-kuda itu menggerak-gerakkan kepala dengan riang ketika anak-anak melompat kembali ke punggung mereka. Nah, pikir kuda-kuda itu, sekarang pulang! Dugaan mereka tentu saja salah. Beowald memimpin rombongan melalui jalan berbatu yang sempit dan sangat curam. Kambing pun pasti sukar melewati jalan itu. “Heran! Bagaimana Beowald bisa tahu jalannya, ya?” seru Peggy kepada Nora. “Aku tak melihat suatu petunjuk pun!” “Mungkin, cuma kambing yang tahu petunjuk itu,” ujar Ranni. “Lihat saja kambing bertanduk melingkar itu! Dia berjalan paling depan. Kelihatannya, dialah yang menjadi penunjuk jalan!” “Oh, kambing tuaku itu selalu tahu bila aku memerlukannya,” sahut Beowald, lalu ditaruhnya seruling dekat bibirnya. Dikumandangkannya musik lincah, dan kambing besar tadi melompat pelan mendekatinya. “Dekat-dekatlah denganku, Pak Tua,” ucap Beowald. Kambing itu mengerti. Dia melompat-lompat di depan tuannya, berhenti menunggu bila hendak melompat ke tempat yang lebih tinggi. Beowald sendiri bergerak sama lincah dengan kambingnya. Anak-anak sangat takjub menyaksikan kemantapan Beowald bergerak walaupun matanya buta. Tetapi, Beowald memang sudah mengenal setiap jengkal tanah di situ. Mereka mendaki makin tinggi dan makin tinggi. Terkadang, jalannya curam sekali hingga kuda-kuda yang mereka tunggangi hampir terpeleset dan batu kerikil pun berjatuhan. Ranni dan Pilescu mulai ragu-ragu untuk meneruskan perjalanan. Ranni segera menghentikan kudanya. “Beowald! Apakah jalan selanjutnya lebih curam dari ini?” tanyanya. “Kupikir ini berbahaya buat anak-anak.” “Tidak, Ranni!” teriak Paul bersikeras. “Aku tak mau pulang sebelum melihat Hutan Rahasia dari pucuk sana! Aku tak mau!” “Kita sudah hampir sampai,” ucap Beowald, menggerakkan bola matanya ke arah Ranni. “Hutannya sudah tercium olehku!” Anak-anak menarik napas dalam, penuh antusias. Tetapi, tak ada yang tercium oleh mereka. Betapa ingin anak-anak itu mempunyai telinga dan hidung setajam Beowald. Dia tak bisa melihat, tetapi bisa merasakan lebih banyak dibandingkan dengan orang lain. Mereka sampai pada sebuah langkan sempit. Di situ, kuda harus berjalan satu per satu dengan menempelkan tubuh mereka sedekat-dekatnya dengan dinding gunung batu di sampingnya. Di sisi yang lain, ngarai yang teramat dalam dan curam membentang. Peggy tak berani memandang ke bawah. Tetapi, tidak begitu dengan anak laki-laki. Mereka merasa senang berada di tempat setinggi itu. Si kambing tua berjalan paling depan, melewati tikungan pada Iangkan sempit tadi. Beowald menyusul di belakangnya. "Kita sudah sampai!” serunya. Di balik tikungan, langkannya melebar — anak-anak segera tahu, bahwa mereka tengah menghadap ke sisi bagian dalam Pegunungan Killimooin! Memang mereka tidak berdiri di puncak pegunungan itu. Sebuah tikungan pada pundaknya telah mereka putari, dan kini mereka bisa melihat tempat yang sejak semula ingin mereka lihat — Hutan Rahasia! “Hutan Rahasia!” teriak Paul. Jack mengulangi kata-kata Paul. “Hutan Rahasia! Alangkah besarnya! Bukan main lebat dan gelap hutan itu! Tinggi benar tempat ini dari sana!” Kedelapan orang yang tergabung dalam rombongan tadi memandang jauh ke bawah, ke hutan yang terletak di lembah, luas tersembunyi dalam lingkaran pegunungan yang maha tinggi. Cuma Beowald yang tak dapat menyaksikan luasnya hijau hutan yang terbentang di bawah sana. Meskipun begitu, matanya memandang ke lembah itu — seperti teman-temannya. “Misterius, kan?” ucap Jack. “Sunyi sepi! Angin pun tak kedengaran bersuara. Sayang, kepulan asap yang kulihat dari pesawat tempo hari tidak kelihatan lagi.” Memang. Tak kelihatan ada kepulan asap sama sekali. Tidak juga terdengar suara sesuatu. Hutan itu bagaikan telah mati sejak beribu tahun yang lalu — diam, tiada menunjukkan tanda-tanda kehidupan. “Lucu rasanya berdiri di sini, memandang Hutan Rahasia dengan kesadaran bahwa tempat itu tak bisa dicapai,” Mike berkata. Dia memandang ke bawah dari langkan tempatnya berdiri. Lembah itu teramat curam, begitu pikir anak itu. Jelas sekali bahwa kambing pun takkan bisa turun ke sana. “Sekarang kalian baru tahu mengapa orang tak bisa menyeberangi pegunungan ini,” kata Ranni. “Tak ada jalan turun sama sekali di sisi sebelah sini. Tebingnya terlalu terjal dan berbahaya. Tentu saja tak ada orang yang berani mengadu nasib menuruni tebing securam ini. Memakai tali pun orang ngeri!” Nora dan Peggy kurang senang melihat ke bawah, ke ngarai yang aneh dan curam itu. Mereka sudah beberapa kali mendaki gunung di Afrika. Tetapi, belum pernah mereka menjumpai yang seterjal ini. “Kita kembali, yuk!” ujar Nora. “Gamang rasanya!” “Ya, sudah waktunya kita pulang,” sahut Ranni, melihat jam tangannya. “Kita harus buru-buru, kalau tak mau terlambat sampai di istana.” “Akan kuajak kalian pulang lewat jalan lain,” cetus Beowald. “Lewat jalan ini, lebih dekat dan cepat sampai ke istana. Ikuti saja aku!” Dengan kambing-kambing mengelilingi dirinya, Beowald mulai melompat-lompat menuruni lereng gunung. Seperti kambing-karnbingnya, remaja bermata buta itu bukan main lincah dan mantap langkahnya. Sangat takjub anak-anak menyaksikan gerakannya. Kuda-kuda yang ditunggangi anak-anak mengikuti Beowald. Kadang-kadang agak terpeleset di tempat yang turun curam. Mereka semua sudah lelah. Lega rasanya pulang ke istana! Mereka turun dan turun. Tiba-tiba Nora berteriak hingga yang lain terkejut. “Istana Killimooin sudah kelihatan! Hore!” serunya. “Sejam lagi kita sampai!” Mereka menikung, dan tiba-tiba, terlihat oleh mereka suatu tempat yang aneh — dibuat menyeruak masuk di sisi gunung. Mereka berhenti memperhatikan tempat itu. “Apa itu?” tanya Paul. Ranni menggeleng. Dia tak tahu. Begitu juga Pilescu. “Kelihatannya seperti kuil,” komentar Nora, teringat akan gambar kuil dalam buku sejarahnya. Tetapi, kuil yang satu ini lain dari yang lain — dibangun masuk ke dalam dinding batu pegunungan. Kuil itu mempunyai semacam pintu gerbang setengah rusak Di sisi kiri-kanannya berdiri pilar berukir kasar. “Beowald! Tahukah kau tempat apa ini?” tanya Jack. Beowald melangkah mundur, lalu berdiri dekat kuda yang ditunggangi Jack “Ini bangunan tua. Ya, sudah tua sekali,” tuturnya. “Tempat ini tidak baik. Kupikir, dulu ada orang-orang jahat yang tinggal di situ lalu dikutuk hingga menjadi manusia batu. Mereka masih ada di dalam sana. Aku pernah meraba-raba.” “Ya ampun, apa sih maksudnya?” tanya Peggy, agak ketakutan. “Manusia batu! Dia mengada-ada, barangkali!” “Kita lihat ke dalam, yuk!” ajak Jack Jack memang tak pernah merasa takut. “Tidak! Terima kasih!” Nora dan Peggy berkata berbarengan. Meskipun demikian, anak-anak lelaki ingin masuk — melihat-lihat isi kuil yang aneh itu. Beowald tak mau ikut masuk. Dia tinggal di luar bersama Nora dan Peggy. “Ayo, kita lihat bagaimana rupa manusia batu itu!” seru Jack, meringis. Dia turun dan kudanya, lalu menyelinap masuk lewat pintu gerbang besar kuil tadi. Gelap di dalamnya. “Bawa lampu senter, Mike?” seru Jack. Biasanya Mike tak pemah lupa membawa lampu senter, pisau, benang, dan barang-barang lain yang mungkin diperlukan sewaktu-waktu. Mike merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sebuah lampu senter. Dia menyalakan lampu itu — anak-anak terlompat terkejut. Ranni dan Pilescu pun terlompat. Mengapa? Di bagian belakang kuil berbentuk gua itu, berdiri sebuah patung. Patung itu patung seorang laki-laki duduk bersila di atas batu. "Ooh," seru Paul, cepat-cepat berpegang pada lengan Ranni. "Cuma patung tua!" Jack menertawakan dirinya. Dia malu sempat merasa takut sebentar. “Lihat — ada lagi yang lain — tetapi sudah rusak dan tua sekali. Ganjil sekali, bukan? Bagaimana mereka bisa ada di dalam sini?” “Dahulu kala, orang Baronia percaya akan adanya dewa-dewa,” ucap Ranni. “Mungkin patung-patung ini patung pemujaan, masing-masing menggambarkan dewa-dewa itu. Kuil ini bisa dipastikan berasal dari zaman kuno — hilang dan dilupakan orang, dikenal cuma oleh Beowald.” “Patung lelaki duduk itu satu-satunya yang masih utuh,” ujar Jack “Tetapi, ada belahan tepat di tengah-tengahnya — lihat, tuh! Pasti pada suatu hari kelak, patung itu akan pecah jadi dua. Alangkah mengerikan wajah patung itu — seperti orang sedang mencemooh.” “Patung-patung ini kasar buatannya,” Pilescu berkata sambil meraba permukaan sebuah patung. “Patung-patung semacam ini pernah kulihat di tempat lain di Baronia. Letaknya selalu di dinding gunung seperti ini.” “Pulang, yuk!” teriak Nora yang mulai merasa capek. “Manusia batu bagaimana yang kalian lihat di dalam? Ceritakan dong!” “Cuma patung biasa, Pengecut!” ucap Jack, keluar dari kuil kuno yang sudah rusak itu. “Sebaiknya kalian lihat sendiri saja. Hupp! Ayo, pulang.” Mereka pun meneruskan penjalanan kembali ke Istana Killimooin. Istana mungil itu sudah terlihat jelas sekarang. Tak lama kemudian, Beowald berpamit dan menghilang- ke balik pepohonan. Kambing-kambingnya mengikuti dia. Anak-anak mendengar bunyi musik yang dibawakan oleh remaja buta tadi — musik aneh yang tiada hentinya, seperti sungai kecil yang mengalir menuruni bukit. “Aku suka pada Beowald” ujar Nora. “Senang punya teman seperti dia. Kasihan ya, dia buta. Walau buta, caranya melompat memilih jalan sangat luar biasa. Tak sekali pun dia jatuh.” Kuda mereka terus berderap hingga akhirnya mereka tiba di jalan yang menuju tangga istana. Ranni membawa kuda mereka ke istal, sedang Pilescu menemani kelima anak yang kecapekan itu menaiki tangga istana dan masuk ke dalamnya. Lahap sekali anak-anak menyikat hidangan kue-kue sore yang disajikan bersama teh. Setelah itu mereka menguap dan menguap hingga Pilescu menyuruh mereka tidur. “Tanpa makan malam?” tanya Paul. “Anggap saja kue-kue barusan makan malam kalian,” sahut Pilescu. “Kalian sudah mengantuk sekali. Udara sejuk pegunungan saja sudah cukup membuat seseorang terlelap. Nah, pergilah kalian tidur. Besok pagi pasti kalian bangun dengan perasaan segar.” Anak-anak menuju kamar. “Aku puas bisa melihat Hutan Rahasia,” Jack berkata, “Dan kuil ganjil berisi patung-patung tua tadi. Aku kepingin ke sana lagi.” Jack memang ke sana lagi — dan mendapat kejutan yang sama sekali tidak diduga-duga! 9. KAWANAN PERAMPOK BEBERAPA hari berlalu — hari yang diisi oleh anak-anak dengan berjalan-jalan menjelajahi lereng bagian bawah Pegunungan Killimooin, mencari buah berry, dan mengamati binatang-binatang kecil yang hidup di pegunungan itu. Yamen dan Tooku bercerita lebih banyak lagi dongeng — mereka mengangguk ketika Jack menceritakan kuil tua penuh patung yang pernah mereka lihat. “Benar — kuil itu sudah tua sekali. Orang tak pernah mendekati tempat itu. Katanya, patung-patung itu hidup dan berkeliaran pada malam hari.” Anak-anak menjerit geli mendengar hal itu. Pada pikiran mereka, dongeng petani tua itu lucu sekali. Rupanya, Yamen masih percaya benar akan adanya bidadari dan setan-setan. Setiap kali membuat mentega, dia tak pernah lupa meletakkan lepek kuning dekat pintu dapur. “Untuk setan kecil yang tinggal di dapurku,” katanya. “Yamen, yang meminum susu itu kucingmu? Bukan setan!” Nora berkata. Tetapi Yamen tidak mau percaya. Dia menggelengkan kepalanya yang mulai beruban. Yamen sering pergi ke kota terdekat, membeli barang-barang keperluan dapur. Dia pergi untuk keperluan itu seminggu sekali. Yamen mempunyai seekor keledai. Tooku mempunyai dua ekor. Yang seekor ditunggangi bila dia pergi bersama Yamen, dan yang seekor lagi berjalan di belakang mereka. Di kiri-kanan tubuhnya tergantung keranjang besar berisi barang-barang yang dibeli Yamen. Pada suatu hari, Yamen dan Tooku berangkat dengan tiga ekor keledai mereka seperti biasanya. Mereka berjalan menuruni lereng, sementara anak-anak melambaikan tangan dari istana. “Kami pulang sebelum waktu minum teh!” seru Yamen kepada mereka. “Jangan kuatir! Kalian pasti mendapat roti segar dan madu!” Tetapi, Yamen belum juga muncul meskipun waktu minum teh sudah lewat. Begitu juga Tooku. Ranni dan Pilescu berkali-kali melihat ke arah pintu gerbang istana. Wajah mereka dipenuhi teka-teki. Setidak-tidaknya, Tooku dan Yamen sudah kelihatan di kejauhan. Dan istana, orang bisa memandang jauh ke bawah. “Asal jangan kecelakaan saja mereka,” Nora berkata. Satu jam berlalu, dan satu jam lagi. Anak-anak telah selesai minum teh. Mereka berjalan-jalan di sekitar istana, sambil sesekali melemparkan batu ke bawah dan memperhatikan batu itu menggelinding sampai jauh sekali. “Lihat!” seru Ranni, tiba-tiba. Semua melihat ke jalan. Seekor keledai berjalan pelan ke arah istana. Seseorang nampak duduk di punggungnya, dan seorang lagi berjalan terhuyung-huyung di sampingnya. Ranni berlari mengambil kuda, lalu cepat-cepat memacunya ke jalan, hendak melihat apa yang terjadi. Dengan berdebar-debar cemas, anak-anak menanti. Mereka senang sekali pada Tooku dan Yamen. Begitu ketiganya sampai di istana, anak-anak pun segera mengelilingi mereka. “Ada apa, Yamen? Ke mana keledai kalian lainnya, Tooku? Kenapa pula tanganmu?” “Oh, oh!” Yamen meratap. “Kawanan perampok menghadang kami, merampas semua yang kami bawa — termasuk keledai kami! Tooku berusaha melawan, tetapi tangannya mereka lukai. Oh, oh, betapa malangnya nasib kami hari ini! Tiada barang tersisa, dan dua keledai yang manis-manis itu pun mereka bawa!” “Mula-mula tiga-tiganya mereka ambil,” sahut Tooku, “tetapi keledaiku yang satu ini pintar — dia meloloskan diri dan berlari-lari di belakang kami ketika kami sedang berjalan pulang cepat-cepat.” “Seperti apa rupa perampok-perampok itu?” tanya Jack. “Rupa mereka aneh,” jawab Yamen. “Kecil, kurus, tapi kuat. Pinggang mereka dililit-lilit tali kulit serigala, dan belakangnya digantungi ekor serigala bercat merah. Oh, oh, mereka sangat aneh dan jahat” “Di kota kami dengar orang bercerita,” ujar Tooku kepada Ranni dan Pilescu. “Katanya, banyak orang dirampok ketika dalam perjalanan. Perampoknya hanya merampas barang-barang saja, tak pernah mengambil uang. Mereka turun dari pegunungan, seperti kawanan kambing, lalu kembali lagi — tapi tak seorang pun tahu ke mana!” “Apakah orang desa sini sudah pernah mencari tempat persembunyian mereka?” tanya Ranni. “Sudahkah mereka menjelajah semua tempat di lereng pegunungan ini?” “Sudah!” Yamen menyahut. “Tapi, tempat persembunyian mereka tak dapat ditemukan. Padahal, tak ada satu tempat atau gua pun yang terlewatkan. Di mana-mana tidak kelihatan tanda-tanda manusia berekor serigala merah itu!” “Kasihan Yamen!” ucap Nora. Istri petani yang malang itu duduk, tubuhnya gemetar. Pilescu membalut luka di tangan Tooku. Untung tangannya tidak patah, walau lukanya sangat dalam. Anak-anak merasa kasihan dan prihatin akan nasib Tooku dan Yamen. Ibu Paul mendengar berita itu. Beliau sangat marah. “Masihkah hal seperti itu terjadi di Baronia?!” seru beliau. “Biar kukirim berita ini kepada Raja supaya beliau mengirimkan pasukan kerajaan untuk menjelajahi pegunungan ini — mencari tempat pensembunyian mereka.” “Orang-orang di sekitar sini sudah mencarinya, Tuan Putri,” Ranni berkata. “Kalau mereka saja tidak menemukan, apa lagi pasukan kerajaan yang kurang mengenal daerahnya! Sungguh-sungguh merupakan misteri tempat persembunyian orang-orang itu.” “Siapa tahu mereka bersernbunyi di Hutan Rahasia,” ucap Jack. Yang lain menertawakannya. “Mustahil! Mana mungkin mereka keluar dari tempat yang tak bisa dikunjungi manusia?” sahut Mike. “Anak-anak, kalian harus berjanji takkan pergi dari sini tanpa ditemani oleh Ranni atau Pilescu!” Ibu Paul menegaskan. “Tuan Putri, mereka sudah berjanji,” Ranni berkata. “Jangan hendaknya Tuan Putri merasa kuatir. Anak-anak aman bersama kami. Ke mana-mana kami selalu membawa senjata.” “Kalau suasananya begini, aku menyesal mengajak kalian semua ke sini,” ucap Permaisuri. Beliau kelihatan cemas sekali. “Mungkin sebaiknya kita kembali saja. Tetapi, kudengar di sana panasnya semakin menjadi-jadi.” Tentu saja anak-anak tak mau pulang ke istana besar. “Ah, kita sih aman di sini,” kata Paul. “Perampok takkan berani dekat-dekat istana ini," “Ah!” keluh ibu Paul. “Sekarang mereka tahu bahwa kita berada di sini, dan bahwa orang lebih sering datang dan pergi dari istana ini. Mereka tentu lebih mengawasi daerah sini — mengepung jalan penghubung istana ini dengan jalan raya dan dengan desa terdekat. Kurasa, kita harus mendatangkan lebih banyak pelayan dari istana besar. Siapa pun tak boleh bepergian seorang diri. Setidaknya, harus pergi dalam satu rombongan.” Buat anak-anak, cerita mengenai perampok ini sangat menarik. Tak henti-hentinya mereka memperbincangkan perampok-perampok tadi. Dalam satu jam, tiga sampai empat kali Mike memeriksa apakah pisau pandunya masih ada di ikat pinggangnya yang lebar. Paul membayangkan hal-hal apa saja yang hendak dia lakukan bila berhasil menangkap mereka. Mike berpikir, alangkah puasnya jika dia bisa mengunci mereka semua dalam sebuah gua. Jack membayangkan dirinya menggiring orang-orang jahat itu turun dari tempat persembunyian mereka di gunung. Tidak demikian halnya dengan Nora dan Peggy. Mereka tidak terlalu yakin ketika Paul, Jack, dan Mike berjanji hendak melindungi mereka. “Apa yang bisa kalian lakukan terhadap kawanan perampok?" tanya Nora. “Yah, ini kan bukan petualangan pertama buat kita! Pokoknya, kita harus berusaha menyelamatkan diri, paling tidak!” Mike berkata penuh keyakinan. “Memang, sudah beberapa kali kita lolos dari bahaya,” bantah Peggy. “Tetapi, aku tak kepingin dikejar dan ditangkap kawanan perampok - walau akhirnya kalian bisa menyelamatkan aku!” “Mungkin manusia batu yang kita lihat di gua tempo hari benar-benar bisa hidup, dan mereka yang merampok!” Paul berkata sambil meringis. “Ingin rasanya aku ke sana lagi — melihat patung-patung itu,” ujar Jack. “Bagaimana kalau besok kita ke sana lagi, Ranni? Perjalanannya kan cuma satu jam?” “Sebaiknya kita tidak bepergian terlalu jauh dari sini,” Ranni berkata. “Kalau kalian benar-benar ingin, baikiah — kita pergi. Tapi, cuma sampai di kuil tua itu saja, ya. Heran, apa senangnya sih melihat patung-patung tua yang sudah rusak dan pernah kalian lihat?” *** Keesokan harinya anak-anak berangkat ke kuil tua. Mereka berjalan kaki, sebab jaraknya tidak terlalu jauh. Ranni berpendapat, berjalan kaki bagus buat mereka. Maka, berangkatlah mereka mendaki gunung. Sudah lepas tengah hari ketika mereka berangkat. Itulah sebabnya mereka membekal kue-kue untuk acara minum teh sore itu. Matahari bersinar hangat ketika anak-anak berjalan mendaki lereng yang terjal berbatu-batu sambil terengah-engah. “Itu kuilnya!” seru Jack, menunjuk ke arah pintu gerbang rusak menuju kuil yang menyeruak keluar dari dinding batu pegunungan. “Benar-benar lucu tempat ini. Seolah-olah terbuat dari gua besar, dan jalan masuknya diukir pada dinding gunungnya sendiri. Ayo — kita masuk, melihat-lihat lagi. Nora, Peggy— kalian ikut kali ini, ya. Rugi kalian tidak ikut masuk tempo hari.” “Baiklah,” sahut Peggy. “Kami ikut masuk sekarang.” Mereka semuanya masuk. Masing-masing menyalakan lampu senter yang mereka bawa. Sekali lagi mereka memandang pada patung-patung yang disebut Beowald manusia batu. Teringat akan cerita Beowald bahwa mereka itu orang-orang jahat yang dikutuk menjadi batu, anak-anak tersenyum. Patung terbesar yang terletak dekat dinding belakang gua memandang kedatangan anak-anak dengan pandangan kosong. Rupa patung itu paling bagus dibandingkan dengan patung-patung lainnya yang sudah tak punya hidung, tangan, bahkan kepala. Jack menyorotkan lampu senternya berkeliling. Tiba-tiba dia berhenti. “Hai, lihat!” serunya. Yang lain datang ke dekatnya, memperhatikan tempat yang tersorot lampu senter Jack, di dasar gua. Di situ terlihat bekas telapak kaki berukuran kecil. Jack menyorotkan lagi lampu senternya klan kemari — mereka melihat lebih banyak lagi jejak kaki telanjang di lantai gua. Semuanya berukuran kecil, telanjang, dan bentuk jari-jari kakinya kelihatan sangat jelas. “Ada orang yang sering ke sini!” ucap Jack. “Bukan hanya seorang,” komentar Mike, berlutut — membanding-bandingkan beberapa tapak kaki yang tersorot oleh lampu senternya. “Lihatlah tapak yang ini — jari-jarinya lurus, tapi yang satu lagi itu jarinya bengkok dan agak besar. Ya, yang itu lebih besar bila dibandingkan dengan yang lain.” “Apakah bukan bekas tapak kaki Beowald” tanya Nora, teringat akan kaki telanjang si penggembala kambing. “Bukan! Kaki Beowald lebih besar,” sahut Mike. “Aku tak sengaja memperhatikan betapa besar kakinya!” “Kalau begitu, mungkinkah ini tapak kaki Perampok!" seru Peggy, tiba-tiba. “Mungkin saja,” sahut Jack “Tapi, jelas mereka tidak ada di sini — tidak tinggal di sini, maksudku! Seandainya mereka tinggal di dalam gua ini, tentu mudah sekali menemukan mereka. Beowald pasti tahu.” Ranni memanggjl merelca. “Hai, makanan sudah selesai kusiapkan! Di samping itu, kelihatannya kita harus cepat-cepat pulang — sebentar lagi kabut datang.” Anak-anak bergegas keluar dan gua gelap. Mereka duduk-duduk di luar, menikmati teh dan kue-kue yang mereka bawa sambil menceritakan semuanya yang mereka lihat di dalam gua tadi. Tetapi, Ranni dan Pilescu tampaknya kurang terkesan oleh cerita mereka. “Ah, mungkin yang kalian lihat itu jejak orang-orang yang diberi tugas memeriksa setiap sudut dari celah, mencari tempat persembunyian kawanan perampok,” komentar Ranni. Komentar ini mengecewakan anak-anak. Mereka telah yakin benar bahwa gua itu tempat persembunyian kawanan perampok yang sedang mereka cari-cari! Mike menunjuk ke bawah. “Lihatlah gumpalan awan di bawah sana,” ujarnya. “Sebentar lagi pasti sampai ke sini.” “Benar!” sahut Pilescu, bergegas membereskan piring dan cangkir. “Ayo. Aku tidak ingin kita tersesat dalam kabut!” Mereka semua bergegas menuruni lereng pegunungan yang terjal. Tiba-tiba Jack melihat buah berry liar — dia membelok, hendak mengambil beberapa buah. Belum sampai dua belas biji termakan olehnya, Jack mendapati dirinya terkurung dalam kabut tebal berwarna kelabu! “Sialan!” umpatnya, berusaha kembali ke jalan tadi. “Tak seorang pun terlihat olehku sekarang! Yang penting, aku tahu jalan pulang!” Jack berteriak-teriak, tetapi. tiada jawaban terdengar olehnya. Pasti yang lain telah melewati tikungan, hingga tak mendengar teriakannya — meskipun biasanya, di pegunungan teriakan selalu menggema berulang-ulang. Rupanya kabut tebal meredam gema hingga Jack tak mendengar gema teriakannya sendiri. “Sebaiknya, aku terus saja berjalan. Siapa tahu bisa menyusul mereka,” pikir Jack. Dia mulai berjalan, tetapi tak lama kemudian dia menjadi tak tahu arah sama sekali. Kabut makin lama makin tebal. Jack mulai kedinginan. Dirapatkannya jaket bulunya, sambil berpikir apa yang sebaiknya dia lakukan. Sesuatu pada permukaan dinding gunung menarik perhatiannya. Rasanya, tempat itu sudah dia kenal. “Oh — lihat! Aku kembali lagi ke kuil tadi!” ucap Jack, terkejut. “Rupanya aku keliru mengambil jalan, hingga aku berjalan kembali ke kuil ini. Yah, tak ada pilihan lain selain berteduh di dalamnya sampai kabut menipis. Siapa tahu tidak lama. Kadang-kadang kabut datang dan pergi cepat sekali.” Jack masuk ke gua tempat patung-patung berada, Dicarinya sudut yang bisa dia duduki dengan enak. Di suatu sudut, Jack berjongkok — menunggu. Dia menguap, lalu menutupkan kelopak matanya. Dia cuma bisa berharap Ranni dan Pilescu tak terlalu marah kepadanya. Jack tertidur sementara di luar kabut bergulung-gulung. Dia terbangun oleh suara manusia. Cepat dia bangkit, mengharap yang datang saudara-saudaranya. Hampir Jack berdiri — tetapi, tiba-tiba dia berjongkok lagi dengan penuh rasa terkejut. Gua dipenuhi oleh suara aneh dan serak yang berbicara dalam bahasa Baronia. Tetapi, karena aksen daerahnya sangat kuat — Jack tak bisa menangkap pembicaraan mereka. Gua sangat gelap. Jack tidak bisa melihat suara siapa saja yang terdengar olehnya. Menyalakan lampu senternya, dia tidak berani. Lalu seorang di antara mereka menuju ke pintu gua, melihat ke luar. Dia berseru kepada teman-temannya, mengatakan bahwa masih ada kabut, tetapi akan segera menipis. Jack memandang orang tadi dengan takjub. Tubuhnya kecil namun tegap dan kuat. Tak sehelai pakaian pun dia kenakan, kecuali Iingkaran tali kulit pada pinggangnya. Jack bersembunyi lebih masuk lagi kesudutnya. Tiba-tiba saja dia merasa takut. Kabut menipis di luar gua, dan lelaki yang berdiri di pintu gua tadi segera dihampiri oleh teman-temannya. Mereka keluar. Jack melihat, bahwa mereka semua mengenakan ekor serigala yang dicat merah pada bagian belakang tubuh mereka. Jadi, merekalah perampok yang tengah dicari-cari! Jumlahnya banyak. Dari mana datangnya mereka? Mereka belum ada di dalam gua ketika Jack tertidur tadi. Seandainya mereka baru masuk, tentu Jack mendengar kedatangan mereka. kalau begitu, dari mana mereka datang? Pasti ada jalan masuk rahasia di kuil itu. Tetapi, di mana? 10. PATUNG AJAIB SEKARANG gua kosong kembali. Dengan hati-hati, Jack bangkit dan merayap ke pintu gua. kabut sudah hampir hilang. Orang-orang aneh tadi sudah tidak terlihat sama sekali. “Pasti mereka hendak merampok orang lagi!” pikirnya. “Akan kuperiksa gua ini seteliti mungkin — mumpung aku berada di sini. Akan kucari dari mana orang-orang tadi datang. Pasti ada pintu tersembunyi di belakang gua. Mungkin ada gua besar lain di belakang gua ini, dan di situlah orang-orang tadi tinggal. Hmm, sungguh mendebarkan!” Tetapi, belum sempat Jack menyalakan lampu senternya untuk memeriksa dinding gua di sekitarnya, dia mendengar teriakan di luar. “Jack! Jack! Di mana kau?” Suara Ranni. Jack berlari ke luar dari gua kuil. Ranni terlihat agak jauh di bawahnya. Maka, Jack pun berteriak sekeras-kerasnya. “Ranni! Aku di sini! Aku tidak apa-apa, cuma tersesat di tengah kabut.” “Cepatlah ke sini, sebelum kabut datang lagi!” perintah Ranni. “Tunggu, Ranni! Ada sesuatu yang kutemukan!” pekik Jack “Cepat ke sini!” teriak Ranni, tegas. “Lihatlah, kabut datang lagi. Kali ini lebih tebal dan yang tadi. Cepatlah, Jack!” Tiada pilihan lain. Jack terpaksa menuruti perintah Ranni. Dia berlari dan terkadang melompat dengan lincahnya mendapatkan Ranni. Begitu sampai ke dekatnya, Jack langsung menceritakan penemuannya. Tetapi, Ranni yang sedang kuatir kabut akan datang lagi itu, kurang menaruh perhatian terhadap cerita Jack. Lama-kelamaan Jack kecapekan, dan tak punya tenaga untuk bercerita lagi. Dia diam. Dia tahu Ranni sangat marah kepadanya. Yang lain sudah sampai di istana dengan selamat. Ranni mendorong Jack masuk, sementara kabut tebal abu-abu datang bergulung-gulung. “Nah!” ucapnya sambil membalikkan badannya, menghadap kepada Jack “Katakan — mengapa kau meninggalkan diri? Gara-gara kau, aku harus pergi lagi mencarimu. Mencari seseorang di pegunungan begini, bisa berarti mengembara berjam-jam lamanya. Tahu? Aku tak senang pada sikapmu tadi, Jack” “Maafkan aku, Ranni,” Jack berkata sungguh-sungguh. “Aku cuma hendak memetik buah berry. Ranni, oh — aku melihat perampok itu, Ranni!” “Aku tak mau bicara dengan kau,” ucap Ranni. “Kau mengecewanku” Ranni menuju ke kamarnya, meninggalkan Jack berdiri sendirian. Jack memandang kepergian Ranni. Hatinya sakit, dan dia merasa dirinya seperti anak kecil. Kemudian dia pergi mendapatkan saudara-saudaranya. “Jack! Mengapa kau?” seru Nora, bergegas menghampirinya. “Tiba-tiba saja kau menghilang, dan Ranni pergi mencarimu.” “Aku punya berita,” ucap Jack. Matanya bersinar-sinar. “Berita aneh!” “Apa?” tanya yang lain berbarengan. “Ketika terjebak dalam kabut, aku mencoba berjalan mencari kalian,” cerita Jack, “Tetapi rupanya aku salah arah, dan sampai kembali ke kuil tua itu. Aku masuk, berteduh sambil menunggu kabut hilang. Di situ, aku tertidur sebentar. Tiba-tiba aku terbangun. Kudapati gua dipenuhi suara manusia! Makin lama, kudengar makin banyak suara. Lalu, seorang di antara mereka berjalan ke pintu gua — melihat ke luar. Ternyata dia salah seorang di antara kawanan perampok itu!” "Jack! Yang benar!” seru Peggy. “Benar!” sahut Jack. “Ketika kabut makin menipis, mereka semua keluar. Aku melihat jelas ekor serigala bercat merah yang mereka kenakan. Rupa mereka memang luar biasa!” “Apakah mereka masuk ke gua itu dengan maksud berteduh?” tanya Mike. “Tidak — justru itulah anehnya,” ujar Jack “Mereka bukan berada di situ untuk berteduh. Aku merasa yakin mereka masuk ke situ lewat jalan rahasia — di belakang gua, mungkin. Kupikir, pasti ada gua besar di belakang gua kuil itu. Di situlah mereka rupanya tinggal.” “Kalau begitu, jejak yang kita lihat tadi memang jejak kaki mereka,” kata Paul. “Oh, Jack — menarik benar semuanya ini! Apa kata Ranni ketika kauceritakan ini kepadanya?” "Dia tak mau mendengar ceritaku,” ucap Jack “Dia marah sekali .kepadaku.” “Ah, jangan kuatir — sebentar saja dia akan baik lagi.” Paul berkata, gembira. “Ranni tak pernah lama marab. Aku tahu.” Paul benar. Ranni lupa akan kemarahannya. Sebentar saja dia sudah berada di kamar anak-anak, dengan senyumnya yang biasa. Segera anak-anak menghampirinya. “Ranni! Sekarang kita tahu tempat persembunyian kawanan perampok itu!” “Ranni, dengarkanlah Ranni! Jack bertemu dengan kawanan perampok itu.” Kali ini Ranni benar-benar mendengarkan. Mendengar cerita anak-anak, segera Ranni memanggil Pilescu. Keduanya bersemangat mendengar cerita Jack. “Kalau begitu, kita bisa mengepung kawanan perampok itu dalam waktu dekat,” ujar Ranni. “Bagus! Kau pasti benar, Jack — kemungkinan besar memang ada jalan rahasia di bagian belakang kuil itu, yang berhubungan dengan gua besar di belakangnya.” “Kita harus menyelidiki secepatnya,” Pilescu berkata. “Ranni, malam ini bulan purnama. Kita bawa lampu senter yang kuat, dan kita periksa kuil itu dari atas sampai ke dasarnya nanti malam!” “Oh, Pilescu, aku ikut!” pinta Jack “Aku juga!” seru Mike dan Paul bersamaan. Pilescu menggeleng. “Tidak — ini berbahaya. Kalian harus tinggal di tempat yang aman, di istana ini." Jack marah. “Pilescu! Aku yang menemukan! Jangan begitu dong! Kau harus memperbolehkanku ikut. Pokoknya, aku akan ikut” “Tidak!” Pilescu berkata tegas. “Kami bertanggung jawab atas keselamatanmu selama kau berada di Baronia. Kami takkan membiarkan kau mendekati bahaya. Aku dan Ranni akan pergi ke sana nanti malam. Besok kalian bisa mendengar cerita kami.” Kedua lelaki Baronia bertubuh kekar itu pergi meninggalkan kamar anak-anak, sambil berbincang-bincang. Jack memandang mereka penuh amarah. Hampir anak itu menangis. “Keterlaluan,” ucapnya. “Kan aku yang menemukan! Enak saja mereka menyisihkanku. Aku tak menduga Ranni dan Pilescu licik seperti itu.” Jack benar-benar marah dan tersinggung. Yang lain berusaha menghiburnya. Jack duduk dengan wajah sedih beberapa Iamanya. Setelah itu, dia memutuskan sesuatu. “Pokoknya aku akan ke sana!" ujarnya kepada yang lain. Nada suaranya pelan. “Akan kuikuti mereka, supaya aku tahu apa saja yang mereka temukan. Aku tak mau kehilangan pengalaman yang menarik” “Tapi, Jack, kau sudah berjanji takkan pergi ke mana pun seorang diri,” ujar Mike cepat. Anak-anak menghormati janji yang pernah mereka ucapkan, dan tak sekali pun mereka berani melanggarnya. “Aku tidak pergi sendirian — aku pergi bersama Ranni dan Pilescu. Bedanya, mereka tak tahu aku pergi bersama mereka!” Jack meringis. Perasaannya kembali senang setelah menemukan jalan untuk ikut bertualang. Ya, yang satu ini memang betul-betul petualangan. Tak perlu diragukan lagi! Yang lain tertawa. Benar juga yang dikatakan Jack. Jack bukan pergi seorang diri! Maka, malam itu, setelah bersama yang lain masuk ke kamar, Jack memasang telinga — mendengarkan apakah Ranni dan Pilescu sudah terdengar akan berangkat. Bulan purnama menghias angkasa, dan Pegunungan Killimooin terang benderang bagaikan siang. Tiba-tiba, terdengar oleh Jack suara pelan Ranni dan Pilescu. Dia tahu kedua orang itu sedang melewati gang yang menuju pintu gerbang utama. Jack belum mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, jadi dia bisa segera mengikuti mereka. Dengan langkah pelan sekali, Jack mengikuti Ranni dan Pilescu. Yang lain berbisik, “Sukses, ya!” “Hati-hati! Jangan sampai terlihat Ranni. Bisa-bisa kau dipukuli.” “Hati-hati ya, Jack!” Pintu gerbang utama di depan istana terbuka dan menutup tanpa suara. Jack menunggu beberapa saat, lalu membukanya, dan merayap mengikuti Ranni dan Pilescu. Dia harus berhati-hati agar bayangannya tidak kelihatan oleh kedua orang yang berjalan di depannya. Ranni dan Pilescu mulai memasuki jalan menanjak di belakang istana. Mereka tidak berbicara satu sama lain; dan berusaha tidak menimbulkan suara. Masing-masing berjaga-jaga, memasang mata kalau-kalau terlihat ada perampok di jalan. Tetapi, tidak ada. Istana sore itu mendengar, bahwa sekelompok petani yang sedang dalam perjalanan pulang dari pasar dirampok. Ranni dan Pilescu yakin bahwa perampoknya adalah orang-orang yang dilihat Jack di kuil siang harinya. “Seandainya kita menemukan jalan masuk ke tempat persembunyian mereka, kita kirim saja pasukan kerajaan ke sini untuk mengepung mereka dan menangkap mereka satu per satu bila hendak keluar,” ucap Ranni dengan pelan sekali. Pilescu mengangguk. Terdengar olehnya ada suara, dan dia cepat berhenti. “Ada apa” bisik Ranni. “Bukan apa-apa,” jawab Pilescu, setelah diam sesaat. “Kupikir, aku mendengar suara sesuatu tadi.” Pilescu benar! Dia mendengar bunyi kerikil tersepak kaki Jack yang sedang mengikuti mereka sedekat-dekatnya! Jack cepat-cepat menghentikan langkahnya ketika melihat Pilescu berhenti, dan diam tidak bergerak sampai kedua lelaki di depannya berjalan lagi. Kurang lebih satu jam kemudian, sampailah mereka di gua kuil. Sinar bulan menerangi pintu masuknya yang sudah rusak. Ranni berteriak kaget ketika masuk dan melihat patung yang tepat disinari bulan pada bagian wajahnya di belakang gua. Patung itu seperti hidup! “Nah,” ujarnya sambil menyorotkan lampu senternya ke sekeliling perut gua. “Kauperiksa sisi sana, Pilescu. Aku yang sebelah sini. Pokoknya, teliti semua bagianriya.” Tiba-tiba bulan tertutup awan tebal, dan bumi pun menjadi gelap gulita. Jack menggunakan kesempatan ini. Dia menyelinap masuk ke dalam gua, tanpa terlihat oleh Ranni dan Pilescu. Karena Ranni dan Pilescu sedang sibuk memeriksa dinding kiri dan kanan gua, sebaiknya dia bersembunyi di balik patung — begitu pikir Jack. Cepat dia berdiri di belakang patung yang terdekat dengan pintu gua. Dari situ, diperhatikannya Ranni dan Pilescu memeriksa setiap bagian dinding gua — mencari pintu rahasia yang berhubungan dengan gua lain di belakangnya. “Aku tidak menemukan apa-apa,” ujar Pilescu, pelan. Jack berdiri diam di balik patung sambil melihat, berharap salah seorang bisa menemukan jalan tersembunyi yang mereka cari. Betapa ingin dia membantu Ranni dan Pilescu — tetapi, dia tidak berani menampakkan diri — takut dimarahi Ranni lagi. Dipandangnya patung besar yang berdiri di belakang gua. Saat itu bulan telah bersinar kembali, dan sinarnya menerangi wajah patung itu. Pada saat Jack mengamat-amati patung itu, sesuatu yang aneh terjadi. Wajah patung itu melebar! Bagian tengahnya terbelah dua! Jack melongo. Perasaan takut menjalani hatinya. Apa yang sedang terjadi? Hidupkah manusia batu itu? Kalau begitu, benarkah cerita kuno itu? Kemudian, terlihat olehnya seluruh tubuh patung itu terbelah dua. Masing-masing belahannya perlahan-lahan terpisah makin jauh. Semuanya itu terjadi tanpa suara, hingga Ranni dan Pilescu tidak tahu akan adanya bahaya. Jack begitu terpesona hingga tak sepatah kata pun terucap olehnya. Patung besar itu kini benar-benar terpecah menjadi dua, masing-masing belahannya semakin berjauhan — lalu, dari lantai di bawah batu tempat patung manusia duduk itu didirikan, muncullah kepala seorang lelaki berambut gondrong. Di bawah sinar bulan yang jatuh tepat di situ, Jack segera mengenali orang itu — salah seorang anggota kawanan perampok! Cepat Jack memekik. “Ranni! Pilescu! Hati-hati! Perampok datang! Lihatlah patung itu!” Ranni dan Pilescu sangat terkejut mendengar suara Jack serta kata-kata yang diucapkan anak itu. Mereka cepat membalikkan badan mereka, dan memandang takjub pada patung yang terbelah dua serta pada kepala dan bahu yang tersembul ke luar dari tengah belahannya. Dengan pekik liar perampok tadi melompat ke luar ke kuil, memanggil teman-temannya yang masih berada di bawah. “Cepat keluar! Cepat! Ada musuh!” Tidak sampai setengah menit, gua itu telah dipenuhi kawanan perampok. Ranni dan Pilescu yang sangat kaget itu tak sempat meloloskan diri. Dalam sekejap, kedua lengan mereka telah diikat. Mereka meronta-ronta, tetapi kawanan perampok yang anggotanya banyak sekali itu tak bisa mereka tandingi. Ranni teringat akan suara Jack. Dia tahu anak itu ada di sekitar sana. Tahulah Ranni sekarang, bahwa Jack telah mengikutinya! Berbahasa Inggris, Ranni berseru kepadanya, “Jangan perlihatkan dirimu kepada mereka, Jack! Cepatlah kembali ke istana memberi kabar!” Tentu saja Jack tidak menyahut. Dia meringkuk di balik sebuah patung, menyaksikan jalannya pertarungan. Dia tahu takkan ada gunanya melibatkan diri dalam pertarungan itu. Dalam hati dia berharap perampok-perampok itu tak melihatnya. Dengan matanya yang memandang dengan penuh rasa terkejut, Jack menyaksikan manusia-manusia berekor serigala itu menyeret Ranni dan Pilescu dan memasukkan mereka ke lubang yang terdapat di bawah patung yang terbelah tadi. Semua anggota kawanan perampok segera mengikuti. Lalu, tanpa suara belahan-belahan tadi bergerak saling mendekati, menyatu, dan patung itu pun kembali utuh seperti semula. Wajahnya yang retak disinari bulan. “Pantas ada semacam garis retakan di sepanjang tubuhnya,” pikir Jack. “Rupanya bukan retakan yang terlihat itu, melainkan pertemuan kedua belahannya! Astaga, gawat juga Amankah kalau aku pergi sekarang?" Jack menunggu beberapa saat, lalu perlahan-lahan keluar dari dalam gua. Sambil berjalan, dipandangnya gua di belakangnya dengan penuh waswas. Tetapi, tak ada perampok yang mengikutinya. Dengan cepat, Jack menuruni lereng gunung yang terang oleh sinar bulan. Tak sabar rasanya, ingin cepat-cepat menemui yang lain di istana. Mereka semuanya tidak tidur. Jack mengajak mereka ke kamarnya, lalu cepat-cepat menceritakan pengalamannya. Paul sangat terkejut, cemas memikirkan Ranni dan Pilescu yang sangat dicintainya. “Aku akan mencoba menyelamatkan mereka,” ujarnya, cepat-cepat berpakaian. “Jangan bodoh, kau, Paul,” ujar Mike. “Mana bisa kau melawan perampok.” “Bisa,” Paul bersikeras. Matanya yang hitam bulat itu bersinar-sinar. “Aku pangeran bangsa Baronia. Aku takkan membiarkan orang-orangku berada dalam bahaya. Aku pergi sekarang juga — mencari mereka.” Kalau Paul sudah memutuskan sesuatu seperti ini, tak seorang pun bisa menghalang-halanginya. Jack mengeluh. Dia berpaling kepada Nora dan Peggy. “Sebaiknya kita pergi bersama Paul, melindunginya dari bahaya. Pergilah kalian, bangunkan Yamen dan Tooku — ceritakan kepada mereka apa yang terjadi. Mereka pasti tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Tapi, jangan kalian buat ibu Paul kaget, ya.” Paul sudah keluar dari pintu gerbang utama. Kini dia berlari-lari menuruni tangga yang menuju ke jalan. Ranni dan Pilescu dalam bahaya! Jadi, dia, pangeran mereka, harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan mereka. Mike dan Jack berlari cepat mengejarnya. Saat itu, bermulalah sebuah petualangan yang seru! 11. MULANYA PETUALANGAN SEBENTAR saja, Mike dan Jack telah menyusul Paul. Ketika itu Paul sedang berjuang, mendaki tanjakan curam secepat-cepatnya. Dia belum tahu pasti apa yang hendak dilakukannya. Yang pasti diketahuinya ialah, bahwa dia akan mencari Ranni dan Pilescu, serta menyelamatkan mereka dan kawanan perampok yang jahat. “Paul! Kau salah jalan,” ucap Jack terengah-engah, sambil mengejar Paul. “Dasar bodoh! Pasti kau tersesat, jika kami tidak mengikutimu. Sini — ambil jalan yang ke sini, bukan yang itu!” Paul gembira ditemani. Dirapatkannya mantel bulunya, sebab dia kedinginan. Teman-temannya juga mengenakan mantel bulu. Mereka terus mendaki jalan kecil pegunungan yang terjal itu. Untunglah bulan bersinar terang, hingga mudah mencari jalan. Dalam hati Mike berharap takkan ada awan yang datang, sebab pegunungan itu pasti akan menjadi gelap gulita tanpa sinar bulan. Tak mungkin mereka bisa mencari jalan dalam kegelapan. Teringat olehnya Beowald, Si penggembala kanbing yang buta. Beowald tak peduli akan kegelapan. Terang atau gelap sama saja buatnya. Mereka mendaki makin tinggi. Sejam telah berlalu. Paul tidak kelihatan lelah sama sekali, walaupun kaki Jack sudah terasa sakit. Tetapi, itu bisa dimengerti — dia sudah berjalan pulang-pergi ke gua kuil sore harinya! Sampai di dekat gua yang mereka tuju, anak-anak itu pun berjalan mengendap-endap di tempat yang terlindung bayangan — siapa tahu ada perampok sedang berada di sekitar situ. Tiba-tiba sesosok tubuh menampakkan diri dari balik sebuah batu! Secepat kilat, Jack menarik Paul dan Mike ke tempat yang gelap. Ketiganya meringkuk di situ dengan hati berdebar cepat. Perampok yang sedang berjagakah dia? Terlihatkah mereka tadi olehnya? Bulan tertutup awan, dan pegunungan pun menjadi gelap gulita. Jack memasang mata dan telinga, berusaha mendengar kalau-kalau orang tadi berada di dekat-dekat mereka. Kemudian terdengar olehnya nada datar seruling seperti yang pernah dimainkan Beowald! Pasti orang tadi di penggembala kambing yang sedang benjalan-jalan seperti biasa dia lakukan. "Beowald!” panggil Jack, pelan. “Di mana kau?” Perlahan-lahan gumpalan awan meninggalkan bulan. Anak-anak melihat Beowald sedang duduk di sebuah batu, memalingkan kepalanya ke arah mereka. “Aku di sini,” sahutnya. “Aku tahu kalian datang. Tapi, aku tahu juga bahwa kalian bukan orang jahat. Sedang apa kalian di sini malam-malam begini?” Jack keluar dan tempat persembunyiannya. Secara singkat diceritakannya kepada Beowald semuanya yang terjadi. Beowald mendengarkan dengan keheran-heranan. “Ah! Jadi itulah sebabnya aku mengira manusia batu itu hidup pada malam hari!” ujarnya. “Ternyata para perampok yang keluar dari gua, bukan manusia batu. Pasti ada gua besar di dasar lantai gua kuil itu. Ayo, kita ke sana memeriksa.” Beowald memimpin rombongan kecil itu ke kuil. Sekali lagi bulan bersembunyi di balik awan. Anak-anak merasa beruntung bertemu Beowald. Bila tidak, mereka takkan bisa menemukan jalan. kegelapan tidak berarti bagi Beowald. Dengan langkah pasti dia melangkah seperti orang melangkah pada siang hari ketika jalan terlihat jelas di hadapannya. Mereka sampai di kuil, melangkah dengan hati-hati sekali. Sedapat mungkin mereka tidak menimbulkan suara. “Sebaiknya kita merayap ke dalam kalau bulan sedang tertutup awan,” bisik Jack. “Paul, tanyakan kepada Beowald — apakah ada perampok di sekitar sini. Telinganya sangat tajam — dia pasti bisa mendengar kalau ada perampok di dekat-dekat sini.” Paul berbisik kepada Beowald dalam bahasa Baronia. Beowald menggeleng. “Kedengarannya tidak ada,” katanya. “Aku tak mendengar apa-apa sama sekali. kalau memang ada perampok dalam kuil itu, pasti terdengar olehku bunyi napasnya." Anak-anak merayap perlahan-lahan ke dalam gua yang gelap. Sampai di dalam, bulan memancarkan sinarnya tepat pada wajah patung yang terdapat di bagian belakang gua. Patung itu seolah memandang mereka dengan cemooh. Jack menghampiri patung itu. Dirabanya retakan dari atas ke bawah yang tadi dilihatnya membuka. Kepalanya penuh tanda tanya — mencari kemungkinan cara kerja patung itu. Pasti ada suatu cara untuk membuka retakan ini — dari luar maupun dari dalam. Bagaimana, ya? Dia harus bisa menemukan — kalau tidak, tempat persembunyian kawanan perampok itu takkan bisa ditemukannya; juga Ranni dan Pilescu yang mereka sembunyikan. Tetapi, betapapun Jack merabai, mendorong, dan menarik, retakan itu tetap retakan — tidak membuka seperti yang pernah dilihatnya. Mike dan Paul pun mencoba-coba, tetapi hasilnya tidak lebih daripada hasil yang dicapai Jack. Dengan putus asa, mereka berpandang-pandangan. “Coba aku,” Beowald berkata. “Mataku tak bisa melihat, tetapi jari-jariku bisa. Aku bisa meraba barang-barang yang terhalus sekalipun.” Benar, Jemari si Buta Beowald tennyata lebih sensitif, hingga melalui rabaannya, dia tahu lebih banyak daripada teman-temannya yang bisa melihat. Anak-anak menyaksikan Beowald meraba retakan di sepanjang tubuh patung itu. Beowald meraba sekeliling mata patung itu. Dengan gemetar, kemudian jarinya meraba leher, kepala— menyentuh, merasakan, menyelidik — seperti sungut kupu-kupu! Tiba-tiba jemari Beowald yang sensitif meraba sesuatu. Dia berhenti meraba-raba. Jemarinya tak bergerak dari tempat sesuatu yang ditemukannya. Anak-anak memandang Beowald. “Apa itu, Beowald?” bisik Pangeran Paul. “Di sini patungnya tidak majal,” sahut Beowald. “Bagian-bagian lainnya terasa majal — ya, dari batu majal. Tetapi di bagian sini, persis di belakang telinga kanannya, berongga.” “Coba kurasai,” ucap Jack, menyingkirkan jari Beowald. Diletakkannya jarinya pada bagian belakang telinga kanan patung itu, tetapi tak ada sesuatu pun yang terasa olehnya. Batu di tempat itu sama majalnya dengan batu di bagian lain patung yang dia rabai. Yang lain pun mencoba meraba. Tetapi, seperti Jack, mereka pun tidak merasakan adanya sesuatu yang lain. Bagaimana bisa jemari Beowald membedakan majal atau berongganya suatu tempat? Ajaib! Beowald kembali meletakkan jemarinya pada bagian yang dirasanya berongga tadi. Digerak-gerakkannya jari-jarinya kian kemari sambil merekan dan menyelidik. Tetapi, tak sesuatu pun terjadi. Jack menyorotkan lampu senternya ke dalam telinga si patung. Tampak olehnya bagian itu lebih bersih dibandingkan dengan bagian kepala lainnya — seolah tempat itu sering dijamah. Terpikir olehnya bahwa ada kemungkinan telinga itu berisi per atau pengungkit yang bisa menyebabkan patung itu terbelah dua. Telinga kirinya sama sekali majal, teliti Jack — tetapi, yang kanan sebaliknya, mempunyai lubang seperti telinga manusia! Pada saat yang bersamaan Beowald menemukan lubang itu. Dia memasukkan jarinya ke lubang tadi. Ujung jarinya menyentuh logam berbentuk bulat di dalam. Beowald merekan benda itu — tiba-tiba pengungkitnya bekerja. Perlahan-lahan sekali patung tadi membelah menjadi dua! Sebenarnya mekanisme membuka dan menutupnya patung itu sangat sederhana, tetapi anak-anak tidak tahu. Mereka melongo menyaksikan retakannya makin lama makin terbuka lebar. Beowald tahu apa yang sedang terjadi, walaupun matanya tak bisa melihat. Dia takut, dan cepat-cepat melangkah mundur. Pada pikirannya, dia setengah membayangkan patung batu itu menjadi hidup! “Lihat — ada lubang di bawah patung, persis di tengah batu yang didudukinya,” ujar Jack, menyorotkan lampu senternya ke dalam lubang tadi. Bentuk lubangnya bulat— cukup dilalui tubuh manusia. Seutas tali terbuat dari kulit menggantung turun dari kaitan yang terdapat di atas. “Inilah jalan masuk ke persembunyian mereka!” ucap Jack, pelan. “Tak perlu diragukan lagi! Pasti gua mereka terdapat di bawah gua ini — di dalam gunung.” “Aku mau melihat,” ucap Pangeran Paul yang malam itu kelihatan lebih dewasa. Dia pangeran, kelak akan menjadi raja —yang Dipertuan Baronia, yang memberi perintah dan mengatur negaranya! Jack menarik Paul kembali ke atas ketika dia hendak masuk ke lubang yang gelap itu. “Tunggu! Siapa tahu kita terperangkap. Jangan bertindak asal saja. Kita takkan bisa menolong Ranni dan Pilescu jika kita tidak berhati-hati” “Biar aku yang memberi kabar petani di kaki gunung sana dan mencari bantuan,” usul Beowald. “Sebenarnya aku ingin ikut kalian, tetapi aku takkan bisa membantu di tempat yang asing. Kaki, telinga, dan tanganku cuma bisa membantu bila aku berada di lereng pegunungan ini. Di tempat yang belum kukenal, aku bisa tersesat.” “Baiklah, kami akan masuk — melihat apa yang bisa kita lakukan,” sahut Jack. “Panggillah petani dari desa, dan susul kami secepat mungkin. Nora dan Peggy pasti sudah memberi tahu Tooku dan Yamen. Mungkin mereka sedang menuju ke sini dengan beberapa orang pelayan. Kukira, ibu Paul akan mengirim beberapa orang tentara juga.” Beowald tidak mengerti apa saja yang dikatakan Jack, sebab bahasa Baronia yang diucapkan anak itu kurang bisa dimengerti. Cepat Paul menjelaskan. Beowald pun mengangguk-angguk. “Jangan sampai tertangkap oleh mereka,” pesannya. “Mengapa kalian tidak menunggu saja di sini sampai aku kembali?” “Aku harus menyelamatkan Ranni dan Pilescu,” Paul berkata, tinggi hati. “ke mana pun mereka dibawa, aku hendak menyusul.” “Terserahlah kalau begitu,” ujar Beowald. Jack meluncur turun dari lubang tadi. berpegang pada tali. Sementara Mike menyorotkan lampu senternya kepada Jack, Jack turun semakin dalam. Beowald menunggu dengan sabar. Dia tidak melihat apa-apa, tetapi dia tahu kejadian di sekitarnya. Lubang itu ternyata cukup dalam. Jack berayun pada tali, lengannya mulai terasa pegal. Beberapa saat kemudian, terasa olehnya ada semacam langkan di sana-sini pada dinding terowongan yang dalam itu. Di situ, dia bisa menginjakkan kakinya — hingga lengannya bisa dia istirahatkan beberapa lamanya. Akhirnya lubang itu sampai pada ujungnya. Jack merasa kakinya mencapai tanah lagi. Dilepaskannya tali, dan diraba-rabanya sekitarnya. Rupanya lubang tadi bermuara di sebuah gua. Tidak terdengar suatu suara pun di dalam sana. Karenanya, Jack berpikir tak ada salahnya dia menyalakan lampu senternya. Kaki Mike muncul di ujung bawah lubang, dan beberapa saat kemudian anak itu sudah melompat ke samping Jack. Berikutnya, menyusul Paul. Berdiri bertiga, mereka memeriksa gua itu. “Kelihatannya ini bukan tempat tinggal manusia," ujar Mike. “Tak ada dipan tempat orang tidur, juga tidak kelihatan adanya panci atau wajan. Kukira gua ini bukan sarang mereka.” “Kalau bukan sarang mereka, lalu apa?” tanya Jack “Kulihat mereka masuk ke sini. Aku tak tahu bagaimana cara mereka membawa Ranni dan Pilescu ke dalam sini yang tangannya terikat! Di mana mereka, ya?” “Yang jelas, bukan di sini,” Paul berkata, menyorotkan lampu senternya ke setiap sudut. “Aneh. Apa yang terjadi dengan mereka?” Betul-betul memusingkan. Jack mengelilingi gua kecil itu. Suara langkah kakinya menggema. Disorotkannya lampu senternya ke atas dan ke bawah dinding-dindingnya. Tiba-tiba dia berhenti. “Ada jalan keluar lagi!” katanya. “Lihat. Jelas sekali terlihat. Aneh — tadi tidak kelihatan oleh kita.” Anak-anak melihat. Terlihat oleh mereka, di bagian tengah dinding yang terletak di seberang mereka, terdapat lubang sempit. Mereka melompat ke sebuah langkan dan mengintip ke dalamnya. Jelas, itu merupakan jalan keluar dari gua tadi. Juga, bahwa itu merupakan jalan lintas berdinding batu. “Ayo,” ajak Jack. “Pasti ini jalan yang dilalui mereka. Aku duluan, ya!” Sebentar saja dia sudah berada di jalan pintas berdinding batu tadi. Disorotkannya lampu senter ke depan. Jalannya gelap dan kasar — melengkung, makin lama makin turun ke bawah. Ke mana jalan itu menuju! 12. SUNGAI DI DALAM GUNUNG KETIKA anak-anak sedang menelusuri jalan pintas berdinding batu, di kejauhan terdengar bunyi aneh. Mereka berhenti. “Bunyi apa itu?” tanya Jack Terdengar bunyi bergemuruh, berdeguk — kadang-kadang pelan, kadang-kadang keras. Anak-anak memasang telinga. “Aku tak tahu,” akhimya Mike berkata. “Ayo. Mungkin kita bisa menemukan sumbernya.” Mereka berjalan lagi, dan tak lama kemudian tahulah mereka bunyi apa yang kedengaran tadi. Bunyi air! Ada air terjun di dalam gunung — ini sama sekali tidak mereka duga! Mereka sampai di sebuah gua besar. Pada salah satu dindingnya mengalir air dengan derasnya — turun. Gua itu lembab dan dingin. Anak-anak menggigil. Mereka mendekati air terjun yang aneh itu. “Mungkin airnya berasal dari es yang meleleh di puncak sana,” Jack berkata sambil berpikir-pikir. “Air lelehan es itu lalu mengalir melalui semacam pintasan di perut gunung seperti yang baru saja kita lalui. Di ujungnya, air jatuh dan menimbulkan bunyi bergemuruh. Hmm, percikannya saja membuat tubuhku basah!” Air turun terus-menerus dan lubang di atap gua. Lubang itulah yang menurut Jack merupakan ujung pintasan yang dilalui air sebelum jatuh ke gua itu. “Ke mana perginya air ini?” tanya Mike. “Oh, mengalir ke terowongan situ — menyerupai sungai yang menembus gunung. Aneh benar. Masa iya kawanan perampok itu tinggal di dalam gua ini? Kelihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan. Kalau benar mereka tinggal di sini, pasti ada barang-barang mereka di sekitar sini!” Tetapi, tidak sebuah benda pun kelihatan di situ, dan sejauh yang bisa dilihat anak-anak itu — tak ada jalan keluar dari gua air terjun. Mereka berkeliling-keliling, mencari kalau-kalau ada jalan keluar. Tetapi, satu-satunya jalan keluar dari situ adalah terowongan yang dilalui air tadi. Anak-anak kembali lagi ke dekat air terjun dan memandangnya. Jack melihat bahwa benturan air pada lantai gua selama beratus-ratus tahun telah menimbulkan semacam cekungan penampung air tepat di bawahnya, dan bahwa hanya sedikit air yang menggenangi lantai gua tempat mereka berdirii. Sebagian besar airnya ditampung dalam cekungan tadi, dan mengalir keluar melalui sebuah terowongan gelap. “Mungkinkah perampok-perampok itu turun melalui terowongan itu?” Paul berkata tiba-tiba. “Rasanya tidak mungkin. Tak ada langkan sedikit pun yang bisa mereka jalani di sisi-sisi air itu, bukan?” Anak-anak berusaha melihat melalui percikan air yang dihasilkan oleh benturan keras air terjun pada lantai gua. Jack berseru. “Ada. Ada langkan yang bisa dilalui. Rupanya betul, Paul, mereka lewat terowongan ini. Kita masuk ke situ, yuk! Tapi, hati-hati —jangan sampai ada yang terpeleset dan masuk ke aliran air yang teramat deras itu. Bisa-bisa kita terseret dan tenggelam!” Sambil membungkuk, Jack menerobos percikan air di bagian bawah air terjun dan melompat ke langkan yang terdapat pada pinggiran terowongan, di kiri-kanan aliran air. Hampir dia terpeleset dan jatuh, tetapi untung saja dia segera bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dinyalakannya lampu senternya, dan disorotnya bagian dalam terowongan. Terlihat olehnya air mengalir kencang sekali, bergelora dan berbuih-buih di sepanjang terowongan gelap itu. Bunyinya memekakkan telinga. Paul dan Mike sebentar saja sudah berada di samping Jack. Mereka harus berteriak-teriak bila hendak berbicara. “Kita telusuri saja terowongan ini. Kupikir, perampok-perampok itu pasti membawa Ranni dan Pilescu lewat sini. Usahakan berjalan sejauh mungkin dari air, dan jaga diri masing-masing —jangan sampai terpeleset!” teriak Jack. Dengan susah payah, anak-anak berjalan menelusuri bagian dalam terowongan yang dialiri air itu. Telinga mereka pekak oleh deburan yang ditimbulkannya. Kaki mereka basah oleh percikan air sungai yang dabsyat. “Terowongannya melebar di sini,” seru Jack kurang-lebih satu jam kemudian. “Langkannya menjadi luas!” Benar. Semenit dua menit kemudian, anak-anak mendapati diri mereka berdiri pada dataran luas. Bila mereka menepi ke dinding terowongan, percikan air tidak lagi membasahi mereka. Di sana mereka beristirahat sebentar. Paul sudah merasa kecapekan. Mike memeriksa arlojinya. Pukul empat pagi! Sebentar lagi matahari akan muncul dan balik gunung — tetapi, di dalam sini tetap saja gelap gulita seperti tengah malam. “Aku mengantuk,” ucap Paul, menyandarkan diri pada Mike. “Kupikir, sebaiknya kita beristirahat dulu agak lama.” Jack bangkit, memeriksa kalau-kalau ada tempat yang lebih enak untuk beristirahat di sekitar situ. Tiba-tiba dia berteriak, hingga yang lain cepat mendekatinya. “Lihat,” ucap Jack, menyorotkan lampu senternya pada sebuah ceruk di dinding terowongan. “Ini pasti tempat mereka beristirahat dalam perjalanan pulang — entah ke mana.” Dalam ceruk itu, terdapat beberapa lembar selimut tebal. Anak-anak cepat membungkus tubuh masing-masing dengan selimut tadi. Berbaring menempel satu sama lain, mereka tertidur dalam sekejap. Lelah benar rasanya setelah perjalanan panjang malam itu. Beberapa jam lamanya anak-anak tidur. Tiba-tiba Jack terbangun kaget. Dibukanya matanya, dan segera teringat olehnya bahwa dia sedang berada di dalam terowongan — di dalam gunung! Dia bangkit. Tiba-tiba dia melihat langkan di luar ceruk yang mereka tiduri disinari cahaya terang. Terdengar suara orang bercakap-cakap — lalu, sebuah lampu senter rupanya disorotkan ke atas. Apa yang sedang terjadi? Yang lain tidak terbangun. Mereka sudah terlalu lelah, hingga tidak terusik oleh suara apa pun! Jack menyingkirkan selimutnya, lalu bersandar ke depan — hendak melihat siapa yang membawa lampu senter tadi. Betapa kagetnya dia! Yang membawa lampu senter ternyata salah seorang perampok! Ketika orang itu membalikkan badannya, terlihat oleh Jack ekor serigala berwarna merah tergantung di belakangnya. Jack tidak ragu lagi — kawanan perampok itu berada cuma beberapa meter saja darinya. Jack berusaha memperhatikan yang sedang mereka lakukan. Mereka berada di pinggir sungai, pada ujung langkan. Sementara Jack sedang memperhatikan mereka, terlihat dua orang lagi muncul dan bawah langkan pada sisi sungai. Rupanya, langkan luas tempat mereka berdiri itu menyempit menjadi langkan di sisi bagian atas sungai. Orang-orang itu muncul dari bawahnya — dan mereka kelihatannya menyeret sesuatu, sesuatu yang mengapung di air. Jack tak dapat nielihatjelas benda itu, sebab cahaya lampu senter yang menerangi tempat di sekitar mereka bergoyang-goyang — menimbulkan baying-bayang di mana-mana. Dengan suara serak mereka saling berteriak. Di pinggir sungai, mereka melakukan sesuatu. Lalu, tanpa memperhatikan ceruk yang ditiduri anak-anak, mereka lewat — bergerak ke terowongan yang telah dilalui anak-anak. Mereka hendak ke gua kuil, pikir Jack pasti. “Mau merampok lagi, mungkin!” Hatinya berdebar-debar. “Mereka telah membawa Ranni dan Pilescu ke bawah sana, mengikat mereka, mungkin — dan, meninggalkan mereka di tempat yang mereka pikir aman. Ah, seandainya Ranni dan Pilescu bisa ditemukan — tentu mudah menyelamatkan mereka sementara perampok-perampok itu sedang pergi.” Dilihatnya arloji di tangannya. Pukul sembilan kurang sepuluh! Sudah pagi. Apakah Yamen dan Tooku, Beowald, dan petani kampung sudah datang ke gua kuil saat ini — dan bertemu dengan kawanan perampok tadi? Jack tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Dibangunkannya Paul dan Mike, lalu dia menceritakan yang baru saja dia saksikan. “Kita harus cepat-cepat mencari Ranni dan Pilescu,” ujarnya. “Perampok tengah meninggalkan mereka. Ayo, aku tahu dari mana mereka muncul. Mereka menyusuri sungai.” Anak-anak keluar dari bawah selimut hangat yang menutupi tubuh mereka. Jack memeriksa sekeliling ceruk dengan lampu senternya, kalau-kalau ada sesuatu yang ketinggalan. Sinar lampunya menimpa semacam rak di dinding belakangnya. Ada sesuatu terbungkus kain di situ. Cepat Jack membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat sebungkah roti Baronia berukuran besar, dan sangat keras. “Sebaiknya kita celupkan ke air, lalu kita makan sebagian,” ucap Jack, senang. “Aku sudah lapar benar — roti keras dan air pun jadilah buatku, walau kalian tak mau! Mungkin mereka sengaja meninggalkan noti di sini untuk mereka makan kalau sedang beristirahat di ceruk ini.” Setelah memotong roti yang keras bagian luarnya itu, anak-anak mendapati bahwa roti itu sebenarnya tidak terlalu keras untuk mereka makan. Mereka tak perlu mencelupkannya ke dalam air. Seperti biasanya, Paul tidak lupa membawa coklat madu kesukaannya. Betapa nikmat roti dan coklat mereka rasakan di tepi sungai gunung yang mengalir deras. Pada rak yang sama, mereka melihat semacam cangkir. Dengan cangkir ini mereka menyiduk air sungai yang jernih dan meminumnya. Dingin — seperti air es — dan segar! Jack membungkuk, mengisi lagi cangkirnya. Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya, ketika dia sedang mengedarkan lampu senternya ke berbagai penjuru di sekitarnya. Dia berhenti, dan berteriak. “Apa itu? Lihat — benda apakah itu?” Yang lain melihat ke tempat yang ditunjuk Jack. Terikat oleh tali kulit pada sebuah batu, terapung semacam rakit yang agak cekung. Luas dan datar bentuknya, bagian tengahnya sedikit cekung. Bagian tepinya diperkuat oleh pita-pita kulit yang diikat kuat-kuat pada setiap sudutnya. “Itu perahu rakit, atau rakit perahu — terserah, sesuka kalianlah menyebutnya!” Mike terheran-heran. “Belum pernah aku melihat benda berbentuk begitu. Janggal, bukan? Untuk apa ya?" “Berlayar di sungai, mungkin!” Jack berkata girang. “Ah — kita bisa cepat sampai kalau kita menggunakan rakit itu!” “Tapi, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke sini naik benda itu?” Paul berkata, heran. “Mustahil berlayar di air yang sedahsyat ini.” “Mungkin mereka menambat pada langkan sempit di sepanjang sungai,” sahut Jack “Mereka selalu menyeret rakit ini bila hendak keluar, untuk mereka pakai pada waktu pulang — supaya lebih cepat. Bukan main! Makin lama makin menarik semuanya ini! Kita pakai saja rakit ini. Dengan begitu, jarak kita dengan mereka semakin jauh. Mereka harus meniti langkan seperti kita tadi malam, dan tidak bisa menumpang rakit. Ayo — kita coba!” “Kukira, kita akan langsung sampai ke tempat Ranni dan Pilescu ditawan,” Paul berkata. “Lepas ikatannya, Mike. Ayo, kita masuk!” Mereka melepaskan tali pengikat rakit tadi, lalu melompat ke bagian tengah rakit yang cekung. Rakit itu tidak mudah tenggelam — terbuat dari batang kayu raksasa yang dibuat cekung di tengahnya. Tak lama kemudian, tahulah anak-anak mengapa pinggiran rakit itu diikat begitu kuat dengan pita-pita kulit! Mereka membiarkan rakit yang mereka tumpangi meluncur mengikuti arus air. Dalam sekejap, rakit itu telah membawa mereka masuk ke dalam terowongan gelap. Dari terowongan itulah perampok-perampok tadi dilihat Jack keluar. Sambil meluncur mengikuti arus, rakit itu berputar-putar, membentur dinding terowongan setiap sebentar. Bagian tepinya yang diperkuat dengan pita kulit ternyata menjaga agar benturannya tidak terlalu keras. Walaupun demikian, anak-anak harus berpegang kuat-kuat pada rakit agar tidak terlempar ke luar! “Hmm, mengasyikkan sekali pengalaman kita kali ini!” seru Jack dalam gemuruh air. “Astaga, laju benar jalannya! Mudah-mudahan saja kita tidak lewat air terjun!” Rakit itu membawa Jack, Paul, dan Mike makin jauh ke dalam terowongan gelap, mengikuti arus sungai. Rakit itu meluncur secepat perahu motor hingga anak-anak merasa sukar bernapas. Ke mana sungai itu menuju? ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 13. DI HUTAN RAHASIA RAKIT meluncur terus, terayun dan terapung. Terkadang air agak tenang hingga rakit itu kurang lajunya. Tetapi, bisa dikatakan hampir selalu air bergejolak dan mengalir dengan kecepatan tinggi. Di suatu tempat, langit-langit terowongan sangat rendah. Anak-anak terpaksa membungkuk dalam-dalam supaya kepala mereka tidak terbentur. “Kita turun terus,” ucap Jack “Sungai ini rupanya menembus gunung dari atas ke bawah. Jadi, kupikir sangat mungkin kita akan muncul di sisi dalamnya.” “Sisi dalam! Maksudmu, di bagian tempat Hutan Rahasia terletak?” seru Mike. Jack mengangguk, matanya berbinar-binar bersemangat dalam terang cahaya lampu senter Mike. “Ya! Seandainya sungai ini sampai ke tempat terbuka — cepat atau lambat pasti sampai ke sana — maka, di sanalah Hutan Rahasia terletak. Jadi, benar, bukan — ada jalan menuju ke sana! Perampok itu tahu jalannya. Dan, bukan mustahil jika yang kulihat dan pesawat tempo hari memang betul—betul asap.” Hati anak-anak semakin berdebar-debar. Benarkah begitu? Sambil duduk pada rakit berbentuk ganjil itu, mereka teringat akan petualangan mereka semalam. Belum pernah mereka mengalami sesuatu yang lebih aneh. Ah, panjang benar sungai ini — seperti takkan pernah ada ujungnya. Berapa lama lagi mereka bisa mencapai ujungnya? Dua jam kemudian, terjadilah sesuatu yang mengejutkan.Jack melihat cahaya terang keemasan —jauh di depan mereka. “Lihat!” ujarnya. “Apa itu?” Mereka terapung terus — makin lama makin mendekati terang yang mula-mula dilihat oleh Jack tadi. Ternyata, sinar keemasan mataharilah yang mereka lihat. Mereka sampai di tempat terbuka! “Ha, kita bisa keluar dari rakit dan meluruskan kaki sebentar dong!” Jack berkata, penuh syukur, sebab mereka semua mulai pegal dan kesemutan. Tetapi Jack salah duga. Mereka belum bisa meninggalkan rakit. Mendadak rakit mereka terapung di udara terbuka. Anak-anak memejamkan mata, silau oleh sinar matahari yang terang benderang. Setelah mereka terbiasa oleh terang, jelaslah terlihat oleh mereka, bahwa sesungguhnyalah mereka telah berada di sisi bagian dalam Pegunungan Killmooin! Agak ke bawah dan berjarak tidak terlalu jauh, terhampar Hutan Rahasia! Setelah mengalir bermil-mil jauhnya melalui terowongan-terowongan gelap dalam perut gunung, kini sungai tadi mengalir menuruni lereng pegunungan — membawa rakit yang ditumpangi anak-anak bersama dengan arusnya. Sungai itu melebar. Rakit yang ditumpangi anak-anak terapung di tengahnya, di tempat yang arusnya cepat dan kuat. Kelihatannya takkan ada bahaya sungai itu menemui air terjun! Syukurlah, pikir Jack “Menurutmu, mungkinkah sungai itu menuju Hutan Rahasia?” tanya Mike, sambil memandang jauh ke depan. Terlihat olehnya garis keperakan di sana-sini di dekat hutan. Ya, nampaknya sungai ini memang mengalir ke sana! “Kukira begitu,” sahut Jack, sementara rakit mereka terus melaju dibawa arus aliran sungai. “Kita sudah hampir sampai.” Beberapa waktu kemudian, sungai pun menjadi dekat sekali dengan Hutan Rahasia. Anak-anak mulai bisa melihat dengan jelas betapa luas, lebat, dan gelapnya hutan itu. Sekarang, hutan itu bukan cuma terlihat sebagai hamparan permadani hijau tebal, pepohonannya terlihat jelas — tinggi dan berdekatan jaraknya. Sungai terus mengalir menuju ke sana. Rakit mereka sampai ke lingkaran pepohonan paling luar, selanjutnya sungai menghilang ke dalam hutan. Terbawa aliran sungai, anak-anak pun masuk ke sana. Begitu berada di dalam, sinar matahari menghilang. Suasana pun menjadi penuh kehijauan sejauh-jauh mata memandang. “Betapa gelap dan lebatnya!” ucap Jack, terpesona. “kelihatannya sungai ini juga menembus Hutan Rahasia.” “Ke mana dia menuju, kalau begitu?” tanya Mike. “Semua sungai menuju ke laut. Mana bisa sungai mi keluar dari lingkungan lembah tertutup ini? Jadi, satu-satunya kemungkinan, sungai ini bermuara di sebuah danau!” Membingungkan, memang. Tak habis-habisnya Jack, Paul, dan Mike memikirkan hal ini sementara rakit mereka meluncur terus di bawah lingkup pepohonan. Lalu, tiba-tiba saja mereka sudah berada di sebuah kolam yang teramat luas, yang menyerupai danau kecil dan dikelilingi pepohonan. Sungai melalui kolam itu, menyeberang, dan sampai di sisinya yang lain. Rakit terayun di tepi kolam tadi, dan Jack berseru kaget “lnilah tempat tinggal kawanan perampok yang kita cari! Lihatlah rumah-rumah kecil berbentuk aneh itu!” Terlihat oleh anak-anak, di sekeliling kolam itu terdapat rumah-rumah kecil berbentuk sarang lebah, terbuat dari dahan pohon dan lumpur kering. Dan lubang di atasnya, keluar kepulan asap. Tahulah Jack, bahwa memang benar dia melihat kepulan asap dari kapal terbang! Asap yang keluar dan cerobong rumah-rumah itu menyatu, dan kemudian membumbung tinggi ke udara, membentuk gumpalan asap kebiruan yang mengawang tidak bergerak karena tak ada angin yang datang ke lembah sunyi itu. Tak seorang pun terlihat. Seandainya ada orang di dalam gubuk-gubuk itu, tentu mereka sedang tidur, pikir Jack! Perlahan-lahan rakit mereka menepi, dan tak lama kemudian anak-anak pun sudah melompat ke luar. Mereka mengendap-endap di antara semak-semak, memasang mata kalau-kalau ada seseorang yang memperhatikan mereka. Tetapi tidak. Tak seorang pun terlihat keluar dari gubuk-gubuk mungil yang aneh di sekeliling kolam itu. Anak-anak merasa lapar sekali, tetapi mereka tidak berani minta makanan pada penghuni gubuk-gubuk di sekitarnya. Berbisik-bisik, mereka merundingkan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Di belakang mereka, hutan sangat lebat dan gelap. Di depan mereka, terbentang kolam luas. Dari situlah sungai mengalir menembus hutan lebat. “Apakah yang pergi ke gua kuil semuanya, atau sebagian saja dan mereka?” tanya Mike, berbisik Jack menggeleng. “Tidak,” sahutnya. “Yang kulihat cuma lima atau enam orang. Melihat rumah mereka, kurasa jumlahnya beratus-ratus. Ssst! Lihat, itu ada anak-anak!” Anak-anak melihat empat-lima orang anak kecil keluar dari hutan, menuju ke gubuk. Mereka tidak mengenakan pakaian sama sekali kecuali sehelai kulit pada pinggang mereka. Tubuh mereka kotor, rambutnya panjang, berwarna kemerah-merahan, dan acak-acakan. Di belakang telinga mereka terselip bulu burung berwarna meriah. Sungguh-sungguh memberi kesan penjahat. Seorang perempuan muncul di pintu salah sebuah gubuk. Anak-anak tadi berteriak kepadanya. Paul menoleh kepada teman-temannya. “Mengertikah kalian apa yang dikatakan anak-anak itu?” tanyanya. “Mereka mengatakan, bahwa mereka baru saja melihat manusia raksasa yang sedang ditawan! Jadi, pasti Ranni dan Pilescu ada di sekitar sini. Bagaimana kalau kita coba mengikuti jalan yang dilalui mereka tadi?” “Kita pasti tersesat,” Mike berkata, merasa takut. “Siapa tahu di hutan ini berkeliaran banyak serigala. Oh, harus kuakui, aku menyesal ikut ke sini. Seharusnya kita menunggu yang lain, dan baru masuk bersama-sama mereka.” “Pokoknya kita harus masuk ke dalam hutan,” Paul bersikeras. Sekali lagi suaranya menyuarakan posisinya sebagai pangeran negeri Baronia. “Kalau kau tak mau ikut, tinggallah di sini. Aku akan mencari Ranni dan Pilescu sendiri.” Tak ada pilihan lain selain mengikuti Paul. Setelah sedikit memutari kolam, mereka pun menemukan jalan setapak sempit yang beberapa saat yang lalu dilalui anak-anak perampok. Jalan setapak itu terletak di antara pepohonan lebat, dan nyata benar jalan itu sering digunakan. Di sana-sini terlihat batang pohon ditandai dengan semacam kapak. “Mungkin, begitulah caranya perampok-perampok itu menandai jalan mereka supaya tidak tersesat di hutan sini,” Paul berkata. “Ya — semacam penunjuk jalan,” sahut Jack, yang mempunyai pikiran sama. “Yah, setidak-tidaknya selama kita juga mengikuti petunjuk jalan itu — kita takkan tersesat!” Mereka berjalan menelusuri jalan setapak sempit berliku-liku. Terkadang memutar mengelilingi pohon, menerobos sela-sela batang pepohonan raksasa, dan oh, rasanya tidak ada habis-habisnya. Sesekali, terlihat oleh mereka batang pohon ditandai dengan kapak. Hutan sunyi sepi. Tiada angin yang menggoyangkan dahan dan ranting pepohonan di sekitar mereka. Tiada burung menerobos masuk dan angkasa. Betul-betul penuh misteri dan sepi. Telinga Jack yang tajam mendengar suara orang berbicara. “Ada orang datang!” ucapnya. “Panjat pohon! Cepat!” Ketiganya segera memanjat pohon pilihan masing-masing dengan gesitnya. Bersamaan, mereka sampai di atas. Seekor binatang sejenis bajing melompat kaget oleh gerakan Jack. Jack mengintip ke bawah melalui sela-sela dahan dan ranting. Terlihat olehnya tiga orang anak lagi. Untunglah mereka menuju ke kolam yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka berteriak satu sama lain, kelihatannya sedang bermain-main. Tidak lama kemudian mereka pun berlalu tanpa menduga bahwa tiga pasang mata memperhatikan setiap gerakan mereka dari atas pohon. Setelah anak-anak perampok tadi hilang dan pemandangan, Jack, Paul, dan Mike pun berlompatan turun — melanjutkan penjalanan mereka. “Mudah-mudahan Ranni dan Pilescu tidak mereka sembunyikan di tempat yang terlalu jauh!” keluh Jack “Tubuhku terasa penat dan perutku lapar bukan main!” “Aku juga,” sahut Mike. Paul tidak berkata apa-apa. Dia sudah bertekad hendak berjuang terus sampai Ranni dan Pilescu dia temukan. Walaupun kelihatan sudah capek, Paul sama sekali tidak merasakannya. Jack mengakui keberanian Paul. Dia jauh lebih muda dibandingkan dengan Jack dan Mike, tetapi toh tidak kalah kuat. Jack berhenti lagi, dan menyuruh Mike dan Paul memasang telinga. Mereka bertiga berdiri diam. Terdengar suara orang bercakap-cakap lagi. Cepat ketiganya memanjat pohon. Tetapi, kali ini suaranya tidak terdengar makin dekat. Mendadak Paul mendekatkan dirinya kepada Jack yang kebetulan berada dekat dengannya. Wajahnya bersemu merah, kegirangan. “Jack! kurasa itu suara Pilescu. Dengarkan baik-baik!” Ketiganya memasang telinga, dan terdengarlah oleh mereka — di tengah kesunyian hutan — nada dalam suara Pilescu. Mereka yakin benar itu suara Pilescu. Berbarengan, ketiganya melompat turun, lalu bergegas menuju suara tadi. Tak lama kemudian, sampailah mereka di tanah terbuka. Di tengah-tengahnya, terdapat lubang — atau sesuatu yang seperti lubang dari tempat Paul, Mike, dan Jack berdiri. Di atasnya, diletakkan beberapa batang kayu besar — bersela beberapa inci satu dengan lainnya hingga memungkinkan udara masuk ke dalamnya. Dari dalam lubang itulah suara tadi berasal. Mike cepat-cepat memeriksa kalau-kalau ada seseorang di sekitar tanah terbuka itu. Tetapi, tak seorang pun kelihatan olehnya. Dia berlari ke lubang di tengah-tengah tanah terbuka tadi. “Ranni! Pilescu!” teriaknya, sementara Paul mencoba meminggirkan batang-batang kayu penutup lubang. “Ranni! Di situkah kau? Pilescu! Apakah kau juga di situ?” seru Paul, tertahan. Sunyi sejenak. Beberapa saat kemudian, terdengar suara Ranni dan Pilescu berbarengan. “Paul! Pangeran! Sedang apa kau di sini? Paul, benarkah kau yang berada di luar situ?” “Ya — aku di sini bersama Mike dan Jack,” sahut Paul. “kami datang hendak menyelamatkan kalian.” “Tetapi, bagaimana kalian bisa masuk ke sini?” seru Ranni, keheran-heranan. “Apakah kalian lewat sungai yang menembus gunung menuju hutan ini?” "Ya,” sahut Mike. “Pengalaman kami sungguh-sungguh luar biasa!” "Baik-baikkah keadaan kalian?” tanya Pilescu. “Kami baik-baik saja. Hanya, laparnya bukan main,” sahut Jack, tertawa. “Kalau kalian bisa memindahkan kayu penutup di atas situ, kami bisa memberi kalian sedikit makanan,” ujar Ranni. “kami diberi makanan — roti dan air. Persediaan kami cukup banyak. Tak tahu apa yang hendak mereka lakukan terhadap kami. Kukira, mereka menyandera kami karena kami tahu jalan masuk ke tempat persembunyian mereka dan mereka tak mau kami mengatakan kepada orang lain.” Paul, Mike, dan Jack mulai mencoba menggeser kayu penutup lubang tempat Ranni dan Pilescu ditawan. Berat sekali batang-batang kayu itu. Untunglah Ranni dan Pilescu membantu mereka sedikit-sedikit dari dalam. Setelah lama menggeser-geser, akhirnya bagian yang terbuka cukup lebar untuk Ranni dan Pilescu keluar. Mereka duduk dengan napas terengah-engah. “Benar-benar tidak nyaman ditawan di situ,” Ranni berseloroh, ketika terlihat olehnya air mata Paul. Selama ini Paul sangat kuatir akan nasib kedua sahabatnya. Merasakan lagi lengan Ranni pada pundaknya, Paul tiba-tiba ingin menangis. “Lucu ya si Paul,” bisik Mike kepada Jack “Bisa berani luar biasa, tapi bisa juga menangis seperti cewek.” “Sebaiknya kita cepat-cepat bersembunyi,” usul Ranni. “Mereka bisa kembali sewaktu-waktu. Aku tak mau mereka menemukan kita berlima di sini. Kita semua akan mereka tawan. Itu sudah pasti! Ayo, kita dorong kayu penutupnya kembali ke posisi semula, Mike. Mereka pasti heran dan bertanya-tanya bagaimana kita bisa lolos padahal kayu penutupnya tidak bergerak!” 14. KEMBALI KE SARANG PERAMPOK MENGEMBALIKAN kayu penutup ke posisi semula dengan mudah mereka lakukan, sebab Ranni dan Pilescu bisa menggunakan seluruh tenaga mereka sekarang. Setelah selesai, mereka berunding di bawah semak belukar yang terdapat di pinggir tanah terbuka tadi. Dari situ, jalan bisa mereka lihat dengan jelas hingga mereka cepat tahu bila ada seseorang datang, tetapi mereka sendiri tidak terlihat. Mereka duduk dan asyik mengobrol. Jack bercerita kepada Ranni dan Pilescu semuanya yang telah mereka alami. Ranni dan Pilescu mendengarkan takjub. “Apakah kita akan pulang melalui jalan yang kita lalui tadi?” tanya Mike. “Kukira, itu yang terbaik.” “Aku tak tahu,” sahut Ranni. “Segera setelah perampok itu tahu kita hilang, mereka akan mencari kita. Sangat mungkin mereka malah akan memasang penjaga di jalan kembali ke luar — siap menangkap kembali kita.” “Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Paul tak sabar. “Sebaiknya kita pikirkan cara yang terbaik dengan tenang, Pangeran,” ucap Ranni. “Mungkinkah ada jalan keluar lain yang tersembunyi di Pegunungan Killimooin ini?” Semua diam. Mendaki sama sekali tidak mungkin, walaupun mungkin mereka bisa mencari jalan keluar lain dari hutan yang maha lebat itu. Akhirnya Jack bersuara. “Ranni, menurutmu — ke manakah sungai ini mengalir? Pasti dia bermuara di suatu tempat. Seandainya tertahan di lembah ini, tentu dia akan membentuk danau yang besar sekali. Tetapi, danaunya tidak ada. Kalau ada, tentu terlihat oleh kita dari pesawat terbang tempo hari.” Ranni duduk, memutar otak “Benar, sungai ini pasti mengalir ke suatu tempat,” ucapnya. “Mungkin dia menerobos ke bawah tanah, seperti dia menerobos pegunungan di sebelah sana. Maksudmu, mungkin ada baiknya kita menyusur sungai dan membiarkan kita dibawa arus sungai, Jack? Ya, siapa tahu kita bisa menembus pegunungan lewat terowongan semacam yang kemarin kita lalui dan sampai di sebelah luar lingkaran pegunungan.” “Kita coba saja," Jack berkata, agak ragu-ragu. “Sebaiknya kita kembali ke dekat perumahan perampok tadi, dan mengambil lagi rakit kita kalau masih ada di sana. Dengan menumpang rakit itu, perjalanan kita akan lebih cepat. Satu hal lagi, sungai takkan membawa kita kembali — jadi, satu-satunya cara, kita harus mengikuti aliran arusnya. “Yah, kita coba saja,” sahut Ranni. Suaranya kurang bergairah. “Kita makan dulu, yuk! Kalian pasti sudah lapar sekali.” Ranni dan Pilescu membawa roti pemberian perampok selama keduanya dalam tawanan. Sambil membayangkan petualangan yang bakal mereka hadapi, kelimanya makan. Pilescu mengamati ketiga anak laki-laki di depannya. Terlihat sekali ketiganya sangat kecapekan. “Sebaiknya kita cari tempat yang tersembunyi dan beristirahat dulu,” ucapnya kepada Ranni. “Kita harus segar nanti malam. Ayo. Paul biar kugendong. Dia sudah setengah tidur.” Tetapi, belum sempat mereka pergi dan situ, terdengar suara orang. Tiga atau empat orang penempuan datang, membawa kendi air dan roti! Bisa dipastikan, mereka hendak memberi makan tawanan mereka. Dengan sangat perlahan-lahan kelimanya menyelinap ke balik pepohonan. Orang-orang perempuan tadi menuju lubang tempat Ranni dan Pilescu ditawan. Mereka meletakkan makanan yang mereka bawa di sampingnya. Rupanya mereka diberi penintah oleh suami-suami mereka agar membawa makanan ke sana dan meletakkannya di dekat lubang, hingga suami mereka tinggal memberikan makanan itu kepada tawanan mereka bila mereka datang nanti. Orang perempuan takkan kuat menggeser kayu penutup lubang itu. Penuh rasa ingin tahu, orang-orang perempuan tadi mengintip ke dalam lubang. Mereka terheran-heran, sebab tak seorang tawanan pun terlihat di sana. Mereka berbicara satu sama lain dengan penuh semangat, lalu mengintip lagi ke dalam lubang. Lubang itu gelap. Meskipun demikian, seharusnya kedua tawanan itu terlihat dari atas. Pagi tadi anak-anak menjenguk mereka. Ketika pulang, mereka ribut menceritakan betapa keras teriakan tawanan itu, serta betapa merah rambut jenggotnya. Orang-orang perempuan tadi menjadi yakin, bahwa tawanan mereka tidak lagi berada di situ. Tetapi, bagaimana caranya mereka meloloskan diri? Batang kayu yang berat masih menghalangi lubangnya — tak mungkin dua orang tawanan itu bisa menggeser tanpa bantuan dari luar! Mereka menganggap hal ini sebagai suatu misteri. Sambil mengobrol dengan suara keras, mereka kembali ke perkampungan mereka untuk menceritakan yang mereka lihat. Roti dan air mereka tinggalkan di tepi lubang yang sudah kosong. Begitu perempuan-perempuan tadi pergi dan lenyap dari pandangan, cepat Ranni keluar dan tempat persembunyiannya — menghampiri lubang. Diambilnya roti yang mereka tinggalkan, lalu dia berlari kembali kepada Pilescu dan anak-anak. “Begini-begini tentu ada gunanya,” ucapnya. Diikatnya roti tadi dengan tali, lalu digantungkannya di pundaknya. Untunglah rotinya berbentuk bundar tipis, hingga mudah membawanya. “Sekarang, kita harus mencari tempat persembunyian yang bagus,” ucapnya pula. Pilescu menggendong Paul, lalu mereka pun masuk ke dalam hutan mencari tempat berlindung yang aman untuk beristirahat sampai malam tiba. Mereka menemukan tempatnya. Sebuah batu yang menonjol di antara beberapa pohon berdaun lebat. Di bawahnya terdapat semacam lubang tersembunyi, tertutup tumbuhan merambat. Takkan ada seorang pun yang mengira bahwa di dalamnya ada orang bersembunyi! “Tahukah kau jalan kembali ke tanah terbuka tadi, Pilescu?” tanya Paul menahan kantuk, sementara Ranni dan Pilescu menyusun mantel mereka untuk alas tidur pangeran yang mereka cintai. “Aku tahu, Pangeran. Jangan kuatir,” jawab Pilescu. “Sekarang, tidurlah. Nanti malam kalian tak boleh mengantuk” Dalam sekejap anak-anak sudah tertidur. Kurang tidur pada malam sebelumnya, serta petualangan yang melelahkan yang mereka alami pagi itu membuat mereka tak kuasa menahan kantuk. Ranni dan Pilescu benjaga-jaga. Mereka menasa terharu melihat anak-anak menyusul. Mereka hendak memberi bantuan. Sekarang giliran merekalah menjaga anak-anak itu — mengamankan mereka dari gangguan kawanan perampok. Matahari mulai condong ke barat. Tak lama kemudian, siang pun berlalu, digantikan senja. Ranni tidur sebentar, membiarkan Pilescu berjaga. Kemudian Pilescu tidur, dan Ranni berjaga. Hari sudah petang ketika Ranni mendengar orang berteriak-teniak di tanah terbuka. Pasti itu suara kawanan perampok yang kaget melihat tawanannya sudah hilang. Tak lama kemudian suasana pun kembali sunyi. Hutan Rahasia merupakan tempat paling sunyi yang pernah dikunjungi Ranni. Dalam hati lelaki itu bertanya-tanya, “Pernahkah angin berhembus di lembah ini? Pernahkah burung berkicau di sini?" Dia terlompat sangat kaget ketika seekor binatang semacam tikus berlari melewati kakinya. Malam menjelang. Tetapi, memang selalu gelap di Hutan Rahasia. Dari dalam, sukar sekali orang melihat sinar matahari. Sebelum tempat lain gelap, Hutan Rahasia selalu gelap lebih dahulu pada petang hari. Ranni melihat jam tangannya. Setengah delapan. Anak-anak masih pulas tidur. Biarkan saja mereka tidur satu sampai dua jam lagi. Setelah itu, barulah mereka akan merayap kembali ke perkampungan perampok, mengambil rakit yang mereka tinggalkan. Jack yang mula-mula terbangun. Dia menggeliat, membuka mata, tetapi gelap gulita di sekelilingnya. Di manakah dia? Kemudian terdengar olehnya Ranni berbicara pelan sekali kepada Pilescu. Teringatlah anak itu akan segala yang telah terjadi. Dia sedang berada di Hutan Rahasia — bersembunyi di gua batu! Cepat dia bangkit. “Ranni! Pilescu! Jam berapa sekarang? Semuanya beres?” “Ya,” sahut Ranni. “Sebentar lagi kita ambil rakitnya. Paul! Mike! Bangunlah! Kita makan dulu!” Tak lama kemudian mereka berlima menyantap roti keras yang diambil Ranni tadi Di dalam termos air Ranni ada sedikit air. Mereka masing-masing minum beberapa teguk. Sebentar saja, siaplah mereka berangkat. Dibantu oleh cahaya lampu senternya, Ranni memimpin yang lain berjalan kembali ke tanah terbuka tempat lubang tawanan. Disorotkannya lampu senter berkeliling. Tidak ada orang. Kayu penutup lubangnya telah disingkirkan ketika para perampok melihat apakah yang diceritakan oleh istri mereka benar. “Kita telusuri jalan kembali ke perkampungan mereka,” ujar Ranni. “Itu dia jalannya. Sebaiknya semua bergandeng tangan dan berjalan beriringan. Hati-hati. Jaga agar tidak ada yang lepas dari gandengan. Aku di depan. Lalu, kau Paul. Setelah itu Mike dan Jack Pilescu paling belakang. Nah — siap?” Mereka sampai di jalan setapak, lalu berjalan berining-iringan sambil saling berpegangan tangan. Hati anak-anak berdebar-debar tetapi mereka merasa aman karena Ranni dan Pilescu bersama mereka sekarang. Beberapa saat kemudian Ranni berhenti. Disorotkannya senter ke sana-sini. Rupanya dia keluar dari jalan setapak! “Kita belum terlalu jauh dari sana,” katanya. “Baru saja aku melihat batang pohon bertanda kapak. Ayo, kita cari pohonnya.” Dengan cemas mereka mencari pohon bertanda kapak yang menunjukkan bahwa mereka berjalan di jalan yang benar. Mike merasa tidak enak membayangkan kalau mereka benar-benar tersesat di hutan belantara itu! Dia merasa sepasang mata berkilat-kilat memandangnya dan antara pepohonan. Anak itu terlompat! “Apakah yang tadi itu serigala?” bisiknya kepada Jack. Tapi, rupanya itu cuma khayalannya sendiri! Tak ada serigala di situ, cuma sepasang daun mengkilap yang terkena sorot lampu senter Ranni! “Ah!” ujar Ranni akhirnya, suaranya lega. “Ini dia jalan setapaknya. Lihatlah — ada tanda kapak di pohon itu. Sekarang kita bisa berjalan terus. Semuanya tolong perhatikan pohon bertanda kapak, ya! Cuma petunjuk itu yang bisa kita andalkan.” Setelah itu semua memasang mata, memperhatikan pohon bertanda kapak. Selama masih terlihat pohon-pohon bertanda itu, tandanya mereka tidak tersesat. Pada setiap jarak tertentu, mereka melihat pohon bertanda kapak. Mereka berjalan terus mengikuti petunjuk jalan. “Rasanya kita sudah dekat ke perkampungan mereka,” Ranni berkata, setengah berbisik, “Terdengarkah oleh kalian bunyi air? Pasti itu kolamnya.” Beberapa menit kemudian lampu senter Ranni menyinari air kolam. Mereka telah sampai ke perkampungan perampok. Mudah-mudahan mereka tidak terlihat! 15. ADA JALAN UNTUK MELOLOSKAN DIRI? Sunyi sepi. Beberapa suara malam saja yang kedengaran — pukulan air pada dinding kolam, pekik binatang-binatang kecil, bunyi ikan melompat. Selain itu, tak ada bunyi-bunyian lain. Kelimanya berdiri diam di pinggir kolam, memasang telinga. Ada bunyi aneh, dan anak-anak pun segera berpegang satu sama lain. “Jangan takut,” bisik Ranni. Terdengar nada tawa dalam suaranya. “Itu cuma bunyi dengkur perampok dari gubuk yang paling dekat” Benar. Suara aneh tadi terdengar, lalu hilang lagi. Ranni menyalakan kembali lampu senter yang beberapa saat sebelumnya telah dia matikan. Dia mencari-cari rakit yang diceritakan Paul. Syukurlah, rakit itu segera terlihat— tidak jauh dari tempat mereka berdiri, terikat pada sebatang pohon di tempat yang agak tersembunyi. “Apakah kau juga naik rakit seperti itu di sungai dalam terowongan gunung, Ranni?” tanya Paul. Ranni menjawab pelan. “Cuma sampai ujung terowongan, tempat sungai muncul ke permukaan. Mereka merapatkan rakit ke tepi sungai di sana, dan kami disuruh melompat. Rakitnya kemudian mereka ikat dan kami berjalan ke Hutan Rahasia. Rupanya, setiap kali hendak keluar, mereka berjalan menyusur langkan di samping sungai sambil menarik rakit. Rakitnya mereka apungkan di air sungai. Bisa dibayangkan sukarnya!” “Oh! Jadi, itulah sebabnya tak sebuah rakit pun terlihat di kolam ini,” ujar Jack, menyuarakan tanda tanya yang timbul dalam hatinya. “Mereka cuma menggunakan rakit di dalam gunung, supaya lebih cepat bila hendak pulang.” “Ssst!” ucap Pilescu, mengingatkan “Sebaiknya kita tidak mengobrol. Sorotkan cahaya lampu sentermu agak ke atas, Ranni, supaya aku bisa melihat bagaimana sebaiknya kita melepaskan ikatan rakit itu.” Melepaskan rakit dari tempatnya terikat tidak memakan banyak waktu. Ranni mencari patahan dahan untuk dijadikan pengayuh. Dia tak mau menggantungkan nasib pada arus sungai saja. Dengan pengayuh, dia bisa mengendalikan rakit sedikit. Bila diperlukan, dia bisa menggunakannya untuk merapatkan rakit ke tepian sungai. “Naiklah!” perintah Ranni, berbisik. Mereka semua melompat ke atas rakit. Penuh sesak! Ranni mendorong rakit ke tengah kolam yang luas itu. Di sana, rakit disambut oleh arus sungai yang segera mengalirkannya ke luar kolam. Geraknya pelan tetapi pasti. Sebentar saja mereka sudah berada di luar kolam dan melaju seiring dengan arus sungai yang seolah membelah Hutan Rahasia. Aneh dan penuh misteri rasanya berlayar di sungai dalam hutan yang gelap dan maha luas begitu. Terkadang dahan dan ranting pepohonan menyeruak turun rendah sekali hingga kepala mereka terbentur, wajah mereka luka-luka. Tetapi, menghindar sudah tidak mungkin lagi. Ranni mencoba menyalakan lampu senternya agar mereka bisa melihat kalau-kalau ada rintangan di depan mereka. Tetapi, arus sungai demikian cepatnya hingga dahan yang menyeruak turun baru mereka ketahui setelah mereka terbentur olehnya. Tubuh anak-anak terhimpit satu sama lain — kaku dan melelahkan? Sebuah batang menghadang. Hampir Paul terlempar ke luar rakit ketika tubuhnya terbentur batang itu. Melihat bahaya demikian, Ranni memutuskan berhenti dahulu sampai hari terang. Pada pikirannya, tidak mungkin perampok mengejar mereka ke sana. Perampok-perampok itu tidak mempunyai perahu. Karena itu, Ranni pun mengikatkan rakit pada sebatang pohon. Sambil menunggu pagi menjelang, mereka makan roti sambil mengobrol dengan suara pelan. Beberapa lama kemudian, Ranni tertidur sebentar. Anak-anak tidak mengantuk lagi saat itu. Pilescu berjaga-jaga. Walaupun lama sekali, akhirnya pagi pun tiba. Pepohonan sangat rimbun di sana, hingga anak-anak tidak melihat sinar matahari sama sekali. Mereka cuma melihat dan merasakan perbedaan warna di sekitar mereka. “Kita berangkat sekarang,” Ranni berkata. Dilepasnya tall rakit. Lalu, mereka pun pergi. Arus sungai membawa rakit yang mereka tumpangi cepat sekali. Sekarang, dari jauh mereka bisa melihat jika ada dahan atau ranting pohon yang merintangi jalan. Ranni membelokkan rakit dengan cekatan untuk menghindarinya. Sungainya berliku-liku. Tiba-tiba dia menikung hampir seratus delapan puluh derajat, hingga arahnya kembali lagi. “Mudah-mudahan saja kembalinya tidak jauh,” ucap Pilescu. “Salah-salah, kita bisa kembali ke perkampungan perampok” Benar. Sungai mengalir kembali cukup jauh. Tanpa mereka sadari, pada suatu tempat mereka cuma berjarak kurang lebih satu mil saja dari perkampungan perampok! Arah alirannya aneh sekali. Masuk, kembali, dan akhirnya mengalir ke luar lingkup pepohonan kurang lebih enam mil dan tempat masuknya semula. Mereka tidak tahu akan hal ini, walaupun dengan melihat posisi matahari Ranni bisa memastikan bahwa mereka bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah gerak semula. Pepohonan berkurang rapatnya, dan matahari tampak bersinar di sana-sini. Sinarnya menyilaukan penumpang rakit yang terbawa aliran sungai dan digerakkan oleh arusnya — naik, turun. “Kita keluar dari Hutan Rahasia,” teriak Jack. Dia melindungi matanya dari cahaya yang menyilaukan dengan tangannya. “Pohonnya makin lama makin berkurang. Ke mana sungai ini mengalir, ya? Mudah-mudahan saja di suatu tempat dia menembus lagi gunung dan membawa kita keluar dari lembah ini. Sesampainya di luar, kita tinggal mencari istana kecil. Itu sih mudah!” “Tidak semudah yang kaukatakan!” sahut Pilescu. Tiba-.tiba terdengar suara orang berteriak. Mereka semua menoleh, kaget. Betapa takutnya mereka melihat seorang perampok! Dia berteriak, lalu lari memberi tahu teman-temannya. Ekor serigala bercat merah berayun-ayun pada bagian belakang tubuhnya. Beberapa menit kemudian, kurang lebih enam atau tujuh orang perampok berlari-lari bersamanya. Mereka berdiri, menyaksikan rakit yang sementara itu telah hampir menghilang di kejauhan. Seorang perampok meneriakkan sesuatu. “Apa katanya?” Jack bertanya. Ranni kelihatan serius. “Dia menggunakan bahasa dialek,” jawabnya. “Tapi, kurasa dia mengatakan, 'Sebentar lagi kalian akan masuk ke perut bumi!' Apa maksudnya, ya?" Semua berpikir. “Apakah mungkin maksudnya sungai ini akan masuk ke dalam tanah?” tanya Jack “Kalau memang benar begitu — kan, memang itu yang kita inginkan!” “Tergantung — apakah rakit ini bisa masuk atau tidak,” komentar Ranni. “Kita harus memasang mata.” Sungai mengalir terus. Anak-anak melihat lingkaran Pegunungan Killimooin mengelilingi mereka. Di depan mereka, agak sedikit ke kiri, menjulang puncak gunung yang telah mereka kenal. Di sisi luar gunung itulah istana kecil terdapat. Bentuknya jauh berbeda bila dilihat dari sisi bagian dalam lingkaran. Meskipun begitu, bentuk puncaknya sama. Tiba-tiba di depan mereka terdengar suana gemuruh. Secepat jalan pikirannya, Ranni menggunakan dahan pohon yang tersedia untuk mengemudikan rakit keluar dari bagian sungai yang berarus kencang. Tetapi, arus sungai sangat cepat hingga rakit mereka tetap saja terbawa maju. Terlihat oleh Jack, wajah Ranni pucat lesi ketika berusaha meminggirkan rakit yang mereka tumpangi. “Ada apa, Ranni?” tanyanya. “Terdengarkah olehmu suara bergemuruh di depan sana?” sahut Ranni. “Kurasa, sebentar lagi air sungai ini akan terjun — mungkin membentuk air terjun raksasa. Sebaiknya kita cepat menyelamatkan diri. Aku tidak berhasil mengemudikan rakit kita ini ke tempat yang kurang kencang arusnya.” Mendadak Pilescu terjun ke air, dan mendorong rakit ke tepi sambil berenang. Walaupun begitu, dia juga tidak berhasil meminggirkan rakit mereka. “Lompat!" serunya kepada yang lain. “Lompat, lalu berenang! Itu satu-satunya cara menyelamatkan diri. Kita sudah dekat sekali dengan air terjun.” Semua melompat masuk ke dalam air. Paul kurang kuat berenang dibandingkan dengan yang lain. Cepat Ranni menggendongnya pada punggungnya. Rakit mereka terombang-ambing sendirian. Pilescu membantu Mike dan Jack. Tetapi, berenang ke tepi di sungai berarus sekencang itu sangatlah sukar. Mereka duduk kecapekan sesampainya di tepi. Dalam hati mereka berharap perampok tidak datang mengepung mereka, sebab mereka tak punya kekuatan sama sekali untuk melawan. Untunglah tidak lama kemudian keadaan mereka telab pulih kembali. Sinar matahari yang mulai panas mengeringkan pakaian mereka yang basah. Sebentar saja tubuh mereka seolah mengeluarkan uap. “Bagaimana nasib rakit kita, ya?” tanya Jack. “Kita lihat, yuk” ajak Ranni. “Mendengar suaranya yang dahsyat begitu, kukira air terjunnya tak jauh lagi. Mungkin di tempat yang udaranya agak berkabut itu!” Mereka berjalan menyusur tepian sungai. Tanahnya kasar dan liar. Makin lama suara dahsyat bergemuruh makin keras kedengarannya. Tidak lama kemudian, tahulah mereka apa yang terjadi dengan sungai di samping mereka! Mereka sampai di belakang sebuah batu besar. Di situ percikan air terbang ke mana-mana. Sungai besar berwarna keperakan itu tidak lagi mengalir di samping mereka, melainkan hilang sama sekali dari pemandangan! Di depan mereka tidak lagi terlihat sungai mengalir. Air yang mengalir deras tadi menghilang entah ke mana di tempat itu. Dengan sangat berhati-hati, Ranni melangkah maju. Kepada yang lain dia berseru, “Untunglah kita segera meninggalkan rakit! Sungai masuk ke perut bumi di sini!” Yang lain mendekati Ranni. Percikan air membasahi mereka sementara mereka berdiri di sana — melihat ke mana perginya sungai tadi. Sungguh-sungguh luar biasa. Rupanya, di sana terdapat semacam retakan tanah yang dalam. Ke dalam situlah sungai mengalirkan airnya, dan itu menimbulkan bunyi bergemuruh yang sangat dahsyat. Air menghilang setelah jatuh ke dalam retakan tadi. “Jadi, itulah maksud orang tadi,” ucap Jack “Dia mengatakan kita akan sampai di perut bumi. Kukira, air sungainya akan mengalir di bawah pegunungan dan keluar lagi sebagai sungai di tempat lain. Luar biasa!” “Syukurlah kita terjun, meninggalkan rakit!" Mike berkata, ngeri membayangkan apa yang bakal mereka alami seandainya mereka tidak meninggalkan rakit. Bersama rakitnya, mereka semua akan tercebur ke perut bumi. “Hmmm! Arah aliran sungai ini sungguh-sungguh luar biasa! Menembus gunung, menuruni lembah, masuk ke Hutan Rahasia, keluar lagi, lalu masuk ke dalam retakan. Yah, dengan begitu bisa dipastikan, kita takkan menemukan jalan keluar di sini” Kelima orang tadi meninggalkan tempat retakan, lalu duduk di batu yang panas oleh sinar matahari — mengeringkan pakaian mereka yang basah oleh cipratan air. “Pasti perampok mengira kita sudah tercebur ke perut bumi,’ ujar Pilescu. “Jadi, mereka tidak lagi berjaga-jaga. Setidak-tidaknya, itu menguntungkan buat kita.” “Apa yang hendak kita lakukan sekarang?” tanya Paul. “Cuma ada satu yang kita bisa lakukan, Pangeran,” ucap Pilescu. “Kita harus kembali ke tempat semula!” “Apa! Masuk lagi ke dalam gunung lewat tepi sungai menuju ke gua kuil?” seru Paul. “Oh, tidak mungkin!” “Tapi harus,” Ranni berkata. “Itu satu-satunya jalan keluar. Akan kupanjat pohon yang tinggi, supaya terlihat olehku di mana sungai muncul ke permukaan.” Ranni memanjat pohon paling tinggi yang ada di dekat mereka. Dengan telapak tangan melindungi matanya yang silau, dia memandang jauh lama sekali. Akhirnya dia turun. “Tidak terlihat olehku tempat keluarnya sungai ini dari Pegunungan Killimooin,” ucapnya. “Terlalu jauh. Tetapi, paling tidak, aku tahu tempat di mana sungai masuk ke Hutan Rahasia. Kita harus berjalan ke timur, sampai bertemu dengan aliran sungai. Jangan takut tersesat, sebab letaknya tepat di seberang kita!” “Makan dulu, yuk!” ajak Paul. “Mana rotinya? Masih banyak sisanya, bukan?” Tidak banyak, tetapi cukup. Mereka duduk sambil makan dengan lahap. Lalu Ranni bangkit. Yang lain mengikutinya. “Nah, sekarang kita cari sungainya,” ujar Ranni. “Kita seberangi delta ini. Setelah ketemu, kita menyusuri tepinya hingga sampai ke tempat di mana sungai itu muncul dari dalam gunung!” 16. HUJAN BADAI APA saja yang sementara itu terjadi dengan Nora dan Peggy? Mereka melakukan pesan Mike dan Paul. Tooku dan Yamen segera mereka bangunkan. Suami-istri itu dudukterheran-heran di tempat tidur mereka, mendengar cerita Nora dan Peggy. Ranni dan Pilescu ditangkap perampok! Patung terbelah dua! Paul, Mike, dan Jack pergi ke sana! Seperti mimpi saja semuanya itu bagi Tooku dan Yamen. “Kita tak bisa berbuat apa-apa malam ini,” ucap Tooku sambil memeriksa tangannya yang luka. “Pelayan yang ada di sini takkan bisa mencari mereka. Tidak berani! Besok, pagi-pagi sekali, kita suruh pelayan mengumpulkan petani desa.” Enggan rasanya Nora dan Peggy menunggu begitu lama. Tetapi, tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan. Mereka kembali ke kamar, tetapi tidak tidur. Keduanya duduk berdekatan, berselimut tebal, dan mengobrol. Hati mereka cemas memikirkan nasib Mike, Paul, dan Jack. Akhirnya, ketika hari sudah hampir subuh, mereka tertidur. Mereka baru bangun ketika dibangunkan oleh Yemen. Sebentar saja, seisi istana tahu apa yang telah terjadi. Para pelayan berjalan kian kemari dengan wajah ketakutan. lbu Paul mendengarkan cerita None dan Peggy berulang-ulang. Air mata meleleh di pipi beliau memikirkan Paul yang begitu berani bergegas pergi hendak menyelamatkan pengawal pribadinya. “Dia memang seorang anak Baronia sejati!” ucap Permaisuri. “Betapa lega hatiku, Mike dan Jack menemani dia. Tetapi, oh — mengapa mereka tidak menunggu sempai kita bisa mengirimkan pasukan atau penduduk desa bersenjata untuk mencari Ranni dan Pilescu?” Sepasukan petani dan penduduk desa mendaki lereng gunung, berkendaraan kuda. Mereka dijemput oleh pelayan istana dan Beowald si penggembala kambing. Mendengar kisah yang diceritakan Beowald, mereka terheran-heran. Walaupun demikian, mereka bertekad menyelamatkan Paul, 'pangeran kecil' mereka. Beowald menyertai mereka. Dia memimpin rombongan menuju gua kuil. Para petani dan penduduk desa itu sangat terkejut melihat wajah patung yang aneh-aneh di dalamnya. Patung lelaki duduk yang terdapat di bagian belakang gua, kini sudah utuh kembali. Perampok yang dilihat anak-anak naik pada malam harinya, ternyata memang ke sana. Melihat patung terbuka, mereka cepat-cepat menutupnya — supaya rahasia mereka tidak diketahui oleh orang lain lagi. Setelah itu, mereka masuk kembali ke gua di bawahnya. Peggy dan Nora memperhatikan si Buta Beowald memasukkan jarinya ke dalam telinga kanan patung itu. Yang lain berteriak ketakutan menyaksikan patung itu terbelah menjadi dua, dan masing-masing belahannya bergerak saling menjauhi. Beowald menunjuk pada lubang yang tersembunyi sempurna di bawah patung tadi. "Itu jalannya,” ucap Beowald. Yang lain mendekati lubang itu dan melihat ke dalamnya. Mereka bergidik. Tak mau mereka masuk ke dalam. Pikiran mereka dipenuhi oleh bayangan-bayangan magis serta makhluk halus pegunungan. Seorang di antara mereka berani masuk. Dia meluncur turun, lalu memanggil teman-temannya. Satu per satu, akhirnya mereka masuk. Nora dan Peggy ingin ikut, tetapi dengan tegas Tooku dan Yamen melarang mereka. “Ini pekerjaan orang laki-laki,” ujar mereka. “Kalau kalian ikut, cuma merepotkan saja.” Maka, Nora dan Peggy pun terpaksa pulang ke istana. Ibu Paul sedang duduk, menunggu berita. Wajahnya pucat dan terlihat sangat cemas. Nora dan Peggy berusaha menghibur beliau dengan bercerita macam-macam petualangan yang pernah mereka alami. Dalam setiap petualangan, mereka menang pada akhirnya. Permaisuri tersenyum, lalu menarik napas panjang mengeluh. “Kalian memang anak-anak petualang!” beliau berkata. “Ke mana saja kalian pergi, ada-ada saja petualangan yang kalian alami. Aku hanya bisa berdoa, agar petualangan kali ini cepat berakhir!” Hari itu tidak ada berita. Pasukan petani dan penduduk desa tidak pulang. Beowald datang, mengatakan bahwa walaupun dia memasang telinga di atas lubang tempat mereka semua turun, dia tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Baru pertama kali itu dia merasa marah dan jengkel mempunyai mata buta. Ingin benar dia ikut masuk ke perut gunung bersama teman-temannya. Tetapi, dia tidak berani. Dia tahu, dia akan tersesat di tempat yang sama sekali belum dikenalnya. Menjelang sore, langit mendadak mendung. Nora dan Peggy melihat ke luar dari jendela. Yamen menemani mereka. Dia pun memandang ke luar. “Akan terjadi badai,” katanya, menunjuk ke barat. “Badai besar. Kalian tak usah takut, Nak. Kadang-kadang, kalau cuaca teramat panas, awan tebal meledak, dan kilat membelah langit menjadi dua, sementara guruh bergema bersahut-sahutan.” “Kami tidak takut badai, Yamen,” Nora berkata. “Pemandangan yang ditimbulkannya di pegunungan ini tentu mengasyikkan.” Langit begitu gelap. Awan tebal bergulung-gulung dengan cepat menyelimuti pegunungan, dan istana pun hilang dari pandangan, tertutup awan tebal berkabut. Di kejauhan, guruh menggelegar. Adik-adik Paul menangis ketakutan. “Kilat!” seru Nora, ketika cahaya merah terang benderang, seolah membelah langit dalam sekejap. “Bukan main! Belum pernah aku melihat badai sedahsyat ini!” Killimooin bagaikan berada di tengah-tengah daerah berbadai. Guruh menggelegar di sekeliling istana, sementara kilat seperti memecah-mecah langit. Gelap gulita di sekeliling istana, kecuali bila kilat tengah membelah langit. Walaupun Nora dan Peggy tidak takut badai, badai kali ini membuat mereka takjub. Suaranya luar biasa, dan kilatnya terang benderang. Setelah itu, barulah hujan turun. Hujan? Kedengarannya lebih mirip air terjun yang menimpa istana. Airnya bagaikan menghantam jendela, lalu membentuk semacam anak sungai kecil-kecil yang mengalir dengan kecepatan tinggi menuruni dinding bukit. Belum pernah kedua gadis kecil itu melihat hujan sedahsyat yang sedang mereka saksikan. Bunyinya hampir- hampir mengalahkan gelegar guruh yang masih bersahut-sahutan. “Syukurlah, Paul, Mike, dan Jack tidak berada di luar, tetapi di dalam gua,” Nora berkata, mencoba menggembirakan hatinya. Tetapi, tentu saja mereka tidak berada di dalam gua! Mereka sedang dalam perjalanan ke tempat sungai masuk Hutan Rahasia! Sudah hampir sampai — airnya yang keperak-perakan sudah mulai terlihat. Hati mereka lega, sebab dari situ jalannya sudah mereka kenal. Mereka tinggal mengikuti ke tempat sungai itu mula-mula muncul ke permukaan gunung. Dari sana, mereka akan mendaki lewat pinggiran sungai dalam terowongan — menyeberangi perut gunung! Tiba-tiba saja langit menghitam, disusul oleh badai. Mula-mula tiada angin bertiup sedikit pun. Ranni cepat-cepat menengok langit, hatinya merasa kuatir. Dia kenal benar akan badai Baronia. Sehebat gunung-gunungnya yang menjulang tinggi, demikian pula badainya. Badai menghebat tepat ketika rombongan kecil itu sampai di tepi sungai, hendak menelusurinya sampai ke tempat sungai itu muncul dari dalam gunung. Guruh bersahut-sahutan — menggelegar di atas mereka, dan kilat terang benderang memecah langit yang hitam setiap beberapa saat. “Kita berteduh saja,” ajak Ranni, mencari tempat yang bisa mereka pakai berteduh. Berdiri di bawah pohon dia tak mau, takut kalau pohonnya disambar petir. Untunglah tak jauh dan sana ada semak berdaun lebar. Air hujan menimpa permukaan daun seolah daun-daun itu payung. “Kita merayap ke bawah semak itu,” ajak Ranni. “Lepaskan mantel, dan tutupi kepala dengannya. Air hujan takkan menembus.” Tetapi, tekanan air yang begitu kuat menyebabkan mereka semua basah kuyup! Benar-benar tidak menyenangkan keganasan hujan badai itu. Butir-butir air hujan bertubi-tubi menjatuhi mereka, menghantam mereka, membasahi bagian bawah semak tempat mereka berteduh, dan membuat mereka semua basah kuyup. “Bukan main!” ucap Paul. “Belum pernah aku melihat badai sedahsyat ini di Baronia. Aku tak suka badai macam begini, Pilescu.” Pilescu menarik Paul ke dalam pelukannya, dan melindungi dia dari hantaman air hujan. “Jangan takut. Pilescu bersamamu, Pangeran,” katanya. “Dalam badai yang sedahsyat apa pun, Pangeran aman bersamaku.” Dua jam lamanya hujan mengguyur bumi tanpa henti. Jack terpesona melihat air sebanyak itu dikandung oleh awan di langit. Seolah ada orang sedang menuang isi lautan dari atas sana! Akhirnya awan tidak lagi menutupi seluruh langit. Di beberapa tempat terlihat langit membiru. Berangsur-angsur bunyi guruh berkurang. Kilat tidak lagi memecah langit. Awan menipis dengan cepat, dan hujan berhenti. Anak-anak menarik napas lega. Tubuh mereka basah kuyup, kedinginan, dan lapar luar biasa. Ranni meraba sakunya, dan mengeluarkan coklat. Nikmat benar coklat itu terasa. “Sekarang, kita harus meneruskan perjalanan kita,” ucapnya. “Asal matahari bersinar terang sebelum tenggelam di barat nanti, aku yakin pakaian kita kering lagi. Masih jauh jarak yang harus kita tempuh sebelum kita sampai di tempat sungai ini keluar dari dalam gunung. Mau kugendong sebentar, Pangeran?” “Ah, tentu saja tidak,” ucap Paul. “Aku masih bisa berjalan seperti Mike dan Jack.” Tetapi, setelah tiga jam lamanya berjalan melalui medan yang berat, Paul pun menyerah dan lega digendong oleh Pilescu di punggungnya yang lebar dan kekar! Perlahan-lahan mereka bergerak naik. Sepanjang perjalanan bunyi air mengalir tak pernah meninggalkan telinga mereka. Mereka tidak melihat ada perampok di sekitar mereka. Walaupun demikian, mereka semua memasang mata. Hari sudah hampir petang ketika mereka sampai ke tempat keluarnya sungai dari dalam gunung. Airnya berbuih-buih dan beriak gembira melihat matahari. Mereka duduk di pinggir sungai, beristirahat. Betapa lelah rasanya tubuh mereka. “Yah, mau tak mau, kita harus mulai penjalanan menanjak lagi! Kali ini lewat tepi sungai, di dalam terowongan,” Ranni berkata, beberapa saat kemudian. “Masih beberapa jam lagi kita perlukan sebelum sampai ke gua tempat air terjun di atas sana. Jalannya curam dan berbahaya. Paul, terpaksa kau kuikat di punggungku. Kalau kau sampai tenjatuh ke sungai, aku takkan bisa menolongmu. Kau akan terbawa arus dalam sekejap.” “Kalau begitu, ikat Mike dan Jack pada Pilescu,” sahut Paul. “Aku tak mau jadi satu-satunya.” Akhirnya kelima-limanya diikat satu sama lain, hingga bila satu terjatuh, yang lain bisa beramai-ramai menarik kembali. Setelah itu, barulah kelima orang tadi masuk ke terowongan yang menuju perut gunung — siap mendaki langkan di samping sungai yang mengalir cepat sekali. Seperti telah diduga Ranni, ada semacam langkan sempit di sana. Langkan itu basah dan licin. Kadang-kadang begitu sempit hingga tidak mungkin dilalui. Tetapi, dengan berpegang erat-erat pada dinding terowongan batu, mereka berhasil melewatinya. Suatu ketika, Paul terpeleset dan jatuh. Hampir dia menyebabkan Ranni ikut jatuh. Anak itu tercebur ke air yang bergulung-gulung dan mengalir deras, tetapi Ranni memegang talinya kuat-kuat sambil menarik. Paul terseret ke langkan di sisi sungai. Dia berlutut. Napasnya terengahengah, ketakutan. “Kau selamat, Paul. Jangan takut,” Ranni berkata, menghibur pangerannya dengan suara keras, mengalahkan deru air yang memekakkan. “Aku tidak takut,” teriak Paul, berdiri dengan segera. Beberapa saat dia memang benar-benar ketakutan, tetapi dia tak mau menunjukkan perasaannya. Ranni bangga akan sikap pangerannya. Mereka meneruskan perjalanan mendaki, tanpa berbicara sama sekali. Kalau berbicara harus berteriak, jadi memerlukan tenaga. Rasanya, sudah berjam-jam mereka mendaki langkan sempit di sepanjang sungai. Di depan, Ranni berjalan sambil membawa lampu senter yang dinyalakan. Di belakang sekali, Pilescu juga. Tiba-tiba kelimanya melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Cahaya lampu senter Ranni mengenai sesuatu yang berputar-putar pada air yang mengalir deras! Terkejut, Ranni terus menyorot tempat itu dengan lampu senternya. Terlihat oleh mereka sebuah rakit berpenumpang lima sampai enam manusia kerdil — perampok! Rakit itu terapung mengikuti aiiran air, menuju ke Hutan Rahasia! Perampok tadi juga melihat mereka, dan berteriak penuh keheranan. Tetapi, arus kencang sungai dengan segera menghanyutkan rakit tadi. Dalam sekejap perampok bersama rakit mereka sudah menghilang ditelan kegelapan terowongan bawah tanah. “Mereka tahu kita di sini!" seru Jack. “Mungkinkah mereka berbalik mengejar kita?” Ranni dan Pilescu berhenti, memikirkan kemungkinan itu. Mungkin saja! Bukan hal sulit meminggirkan rakit dan melompat ke langkan di pinggir sungai. Mereka bisa menghela rakit seperti biasanya bila hendak keluar ke gua kuil. “Ranni!” seru Jack lagi. “Mungkinkah mereka akan mengejar kita?” “Mungkin saja,” sahut Ranni. “Kita harus buru-buru. Ayo, jangan buang-buang waktu!” Kelimanya berjalan lagi. Perjalanannya jauh dan melelahkan. Di sepanjang jalan, tubuh mereka terus-menerus terpercik air sungai. Di beberapa tempat, airnya menggenang sampai ke langkan hingga kaki mereka basah. Kadang-kadang langit-langit terowongannya sangat rendah, hingga mereka harus merangkak dengan kepala menyentuh langit-langit itu. Lampu senter Ranni habis baterainya. Untunglah Mike membawa sebuah, hingga dia bisa meminjamkannya kepada Ranni. Mereka memerlukan dua lampu senter — satu di depan, satu lagi di belakang. “Masih jauhkah?” tanya Paul, mengeluh. “Berapa jauh lagi, Ranni?” 17. PERJALANAN MENDAKI DI DALAM GUNUNG LAMA sekali mereka mendaki. Ranni mengarahkan cahaya lampu senter ke jam tangannya. Hampir tengah malam! Bisa dimengerti kalau Paul mulai mengeluh, bertanya berapa jauh lagi mereka harus berjalan. Ranni dan Pilescu pun sudah merasa capek sekali. “Ranni, kalau tidak salah ada semacam dataran luas di dekat-dekat sini,” ujar Jack, teringat akan langkan yang melebar, tempat ceruk yang pernah mereka tiduri. Ranni dan Pilescu tidak tahu akan hal ini. Dengan berteriak di dekat telinga mereka, Jack menceritakan pengalaman mereka semalam. Mendengar ini, Ranni dan Pilescu berharap mereka cepat sampai ke tempat itu. Dengan demikian, mereka bisa beristirahat semua. Tentu saja harus ada yang berjaga! Tetapi itu bisa diatur — bergantian! Mereka terus mendaki, tersaruk-saruk di sepanjang langkan berpermukaan kasar tidak beraturan di sepanjang tepi sungai. Sekali Mike terpeleset dan jatuh ke dalam air. Ditariknya Jack, hingga anak itu pun jatuh. Keduanya lalu hilang dan pandangan. Paul berteriak ketakutan. Tetapi, Pilescu berdiri tegap, memegang erat-erat talinya. Ditariknya Mike dan Jack kembali ke tepi sungai, lalu dibantunya kedua anak yang basah kuyup itu naik kembali ke langkan. Mereka menggigil — takut dan kedinginan! Tercebur ke dalam air sungai pegunungan yang dingin menusuk tulang sama sekali bukan pengalaman yang menyenangkan. Mereka bersyukur Ranni mengusulkan agar mereka diikat satu sama lain sebelum masuk ke terowongan tadi. Dalam hati Jack berharap Ranni dan Pilescu tidak terpeleset dan jatuh ke air. Sebab, bila itu sampai terjadi, dia yakin anak-anak takkan bisa menolong! Tetapi, Ranni dan Pilescu sudah sangat berpengalaman mendaki gunung sejak kecil. Mereka tidak mudah terpeleset. Paul sudah tak tahan lagi. Tubuhnya sudah terlalu lelah. Dia tak bisa lagi berjalan. Ranni tidak bisa menggendongnya. Dia harus memegang lampu senter dengan sebuah tangan, dan tangannya yang lain dia pengunakan untuk berpegang pada dinding terowongan supaya tidak jatuh. Pedih hatinya melihat pangerannya yang kecapekan dan tersaruk-saruk di belakangnya. Beberapa jam kemudian, barulah mereka sampai di dataran luas yang dimaksud Jack. Ranni tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di tempat itu. Dia terus saja berjalan, berpegang pada dinding terowongan di sampingnya tanpa merasa bahwa makin lama dia makin jauh dari sungai. Mike berteriak, “Kita sampai!” serunya. “Oh, syukurlah! Langkannya melebar!” Ranni dan Pilescu berhenti. Mereka menyorotkan lampu senter berkeliling. Benar! Mereka sudah sampai di tempat yang dimaksud oleh Jack! Syukurlah! “Itu ceruk yang kami tiduri tempo hari!” seru Mike. Ranni dan Pilescu melihat sebuah ceruk pada dinding terowongan. Di situ, terdapat selimut tebal. Bukan cuma selimut! Ada sesuatu yang lain lagi! Di atas rak yang tergantung agak ke atas, penampok yang mereka temui tadi rupanya meletakkan roti baru lagi! “Bagus!” ujar Ranni. Didudukkannya Paul di pangkuannya, lalu diraihnya roti, dan dibagi-baginya roti itu. Mike dan Jack mengambil bagiannya, lalu memakannya dengan sangat lahap. Tetapi Paul sudah kehabisan tenaga. Dia tak bisa makan. Kepalanya terkulai di dada Ranni yang bidang. Anak itu langsung tertidur. “Beristirahatlah kalian di atas selimut pada batu di sana,” Ranni berkata kepada Mike dan Jack. “Biarkan Paul di pangkuanku, supaya agak hangat. Pilescu akan berjaga, supaya kita tahu kalau kawanan perampok itu datang.” Dengan segera, Mike dan Jack menghempaskan tubuh mereka ke atas tempat tidur aneh yang terdapat di dalam ceruk di dinding terowongan itu. Mereka selimuti tubuh mereka dengan selimut tebal yang tersedia. Dalam beberapa detik saja mereka sudah tertidur. Ranni dan Pilescu juga mengantuk. Tetapi Pilescu harus berjaga. Dia tidak berani memejamkan mata barang sedetik pun. Ranni tertidur sambil memegangi Paul yang tertidur di pangkuannya. Hanya Pilescu seorang yang tidak tidur. Terasa olehnya matanya semakin sempit. Dia sengaja mematikan lampu senternya supaya kalau perampok kembali, mereka tidak melihat cahaya. Sukar sekali menjaga agar mata tetap terbuka di tempat yang gelap gulita, lebih-lebih karena tubuhnya terasa sangat lelah! Kepalanya tertunduk. Dia berdiri dengan segera. Dia tahu, dia bisa tertidur jika dia tetap duduk. Maka, dia pun berjalan kian kemari. Itu membuatnya tetap jaga. Sambil berdiri, mustahil rasanya dia tertidur. Dua jam lamanya Pilescu mondar-mandir. Kemudian, tiba-tiba saja dia berdiri tegak, diam sambil memasang telinga. Terdengar olehnya suara orang! Suara itu menggema dari terowongan bagian bawah. Pasti perampok! Mereka kembali rupanya! “Mereka berhasil meminggirkan rakit dan melompat turun, lalu kembali mengejar kita,” pikir Pilescu. “Apa yang harus kulakukan? Meloloskan diri sudah tidak mungkin — dalam sekejap mereka akan sampai ke sini! Ah, sayang aku tak punya senjata!” Senjata Ranni dan Pilescu diambil oleh perampok yang menangkap mereka. Tangan merupakan satu-satunya yang masih tersisa pada Ranni dan Pilescu untuk melindungi diri! Ya, tanganlah yang akan mereka pergunakan bila perlu membela diri! Suara tadi terdengar makin dekat. Pilescu membangunkan Ranni, dan berbisik-bisik menceritakan yang sedang terjadi. Cepat Ranni meletakkan Paul ke ceruk tempat Jack dan Mike tidur. Untunglah anak itu tidak terbangun. “Kita tutupi tubuh kita dengan mantel sambil duduk bersandar pada dinding ceruk. Kau di sebelah kanan, aku di kiri,” bisik Ranni. “Ada kemungkinan mereka takkan melihat kita, tidak menduga bahwa kita sedang beristirahat di sini. Mereka pikir, kita berjalan terus supaya cepat sampai ke atas!” Suaranya tidak terdengar lagi sekarang. Ranni dan Pilescu berpikir, perampok itu sudah sangat dekat. Mereka tidak membawa lampu senter, tetapi bisa benjalan dengan mudah di daerah yang sudah sangat mereka kenal walaupun gelap gulita. Telinga Ranni yang tajam mendengar napas orang terengah-engah. Seorang perampok sedang berada di langkan yang meluas! Ranni dan Pilescu diam tidak bergerak, berharap anak-anak yang sedang tidur nyenyak itu tidak menimbulkan suara apa pun. Mereka telah menyelimuti anak-anak itu rapat-rapat, hingga kalaupun mereka mendengkur, dengkurnya takkan tendengar dari luar. Ajaib, Ranni bisa mendengar napas terengah-engah si perampok, sebab di situ pun debur air sama keras dengan di tempat yang lain. Terdengar suara sangat keras! Jelaslah semua perampoknya sudah berada di situ sekarang. Ranni dan Pilescu memasang telinga, penuh konsentrasi — mendengarkan kalau-kalau kawanan perampok itu memeriksa daerah sekitar situ. Kedengarannya tidak ada suara mereka lagi. Baik Ranni maupun Pilescu tidak mendengar bunyi napas terengah-engah. Mereka duduk seperti patung — hampir tidak bernapas, berusaha menangkap setiap suara selain suara air yang bergemuruh. Sepuluh menit lamanya mereka duduk begitu. Tetapi tidak satu suara pun yang mereka dengar selain suara air. Lalu, dengan perlahan-lahan sekali, Ranni bangkit. Dicarinya lampu senter, lalu dengan cepat ditekannya tombol penyala. Cahayanya menyinari langkan di depan ceruk — kosong! Tak seorang pun terlihat di situ! “Mereka sudah pergi!” bisik Ranni. “Sudah kuduga, sebab selama sepuluh menit terakhir tak ada suara sama sekali yang terdengar olehku, kecuali bunyi air. Mereka tidak berniat memeriksa tempat ini. Tetapi, langsung ke atas — rupanya, berharap bisa menangkap kita di gua air terjun.” “Ah,” keluh Pilescu sambil mematikan lampu senternya. “Kalau mereka menunggu kita di sana, kita pasti tertangkap. Kata Jack, Beowald akan mengumpulkan penduduk desa untuk mengikuti kita — bila benar, tentunya mereka sudah sampai di gua air terjun dan bisa membantu kita. Tetapi, kita tak boleh menggantungkan diri pada sesuatu yang belum pasti!” “Kita biarkan saja anak-anak beristirahat sebentar lagi,” ucap Ranni. “Tak ada perlunya kita buru-buru sekarang. Toh kawanan perampok itu sudah di depan kita, bukan lagi di belakang! Biar aku yang berjaga sekarang. Tidurlah kau, Pilescu.” Pilescu bersyukur bisa memejamkan mata. Disandarkannya kepala pada dinding ceruk, dan dalam sekejap dia sudah tertidur. Ranni berjaga, mata dan telinga dia pasang penuh konsentrasi untuk menangkap hal-hal yang luar biasa. Aneh benar malam itu buatnya — duduk diam, teman-temannya tidur, mendengarkan bunyi air yang bergemuruh sambil berjaga-jaga kalau perampok berekor serigala itu kembali! Mereka tidak kembali. Tak ada suara aneh yang menyentuh indra pendengaran Ranni. Yang lain tidur dengan tenang. Anak-anak tak bergerak sedikit pun. Ranni melihat jam tangannya. Sudah pukul enam! Di luar pasti matahari sudah bersinar. Bumi sudah terang benderang. Tetapi, di dalam sini — tetap saja gelap dan dingin. Ranni bersyukur mantelnya cukup hangat. Tak lama kemudian Pilescu bangun. Dia berbicara kepada Ranni. “Adakah kau mendengar sesuatu, Ranni?” “Tidak,” sahut Ranni. “Sudah hampir jam tujuh pagi sekarang ini, Pilescu. Bagaimana kalau kita bangunkan anak-anak dan kita teruskan perjalanan kita? Tak ada gunanya tinggal di sini berlama-lama. Walaupun perampok menunggu kita di atas, kita harus meneruskan perjalanan!” “Ya,” Pilescu berkata sambil menguap. “Tubuhku terasa agak enak sekarang. Melawan empat sampai lima perampok masih bisa, rasanya. Biar, kubangunkan anak-anak.” Pilescu membangunkan Paul, Mike, dan Jack. Segan benar anak-anak itu membuka mata! Tetapi, akhirnya mereka buka juga mata mereka. Tak lama kemudian mereka sudah duduk mengunyah roti yang mereka temukan di atas rak malam harinya. Ranni bercerita, bahwa kawanan perampok tadi malam lewat tetapi tidak melihat mereka. “Eh, ngeri rasanya tahu mereka sudah berada di atas menunggu kita!” ujar Mike. Perasaannya tidak enak. “Kurasa, mereka menunggu di salah satu gua. Kita harus berhati-hati!” "Ya, kita harus berhati-hati!” komentar Jack. Seperti Pilescu, dia pun merasa tubuhnya segar kembali setelah beristirahat. “Aku tak mau dijadikan mangsa mereka!” Mereka meninggalkan ceruk, dan menuju ke langkan pinggir sungai — meneruskan perjalanan. Seperti sebelumnya, Ranni berjalan paling depan setelah mengikat satu sama lain. “Seingatku, letak gua air terjun itu tak jauh dari sini,” Jack berkata. “Kurang lebih dua jam perjalanan.” Sekali lagi mereka mendaki pinggiran sungai yang terkadang sangat sempit dan licin. Air bergemuruh, dan cipratannya membasahi kaki mereka. Anak-anak heran lama-kelamaan air pada langkan bukan sekadar membasahi kaki mereka, melainkan merendam hingga ke mata kaki. “Waktu lewat di sini kemarin, airnya tidak begini,” Mike berkata. “Apakah waktu kalian lewat juga begini, Ranni?” “Tidak,” sahut Ranni, bertanya-tanya. “Tidak sampai membasahi langkan. Hati-hati — di sini agak dalam — air sungai melimpah setinggi satu kaki. Bersiap-siaplah, sebentar lagi air bisa mencapai lutut!” Benar. Membingungkan juga, mengapa air sungai bisa meluap begitu. Apa sebabnya? 18.DI DALAM GUA AIR TERJUN MAKIN tinggi tempat yang mereka capai, makin dalam kaki mereka terendam. Gemuruh air pun semakin menjadi-jadi. Ranni bingung memikirkan apa sebabnya. Akhirnya, terpikir juga olehnya apa yang menjadi sebab semuanya itu. “Meluapnya air sungai disebabkan oleh hujan badai kemarin!” serunya, berusaha mengalahkan deru air yang mendahsyat. “Air hujan merembes dalam ke bawah gunung, lalu mengalir ke sungai. Kalian tahu sendiri betapa lebatnya hujan kemarin — seperti seluruh laut ditumpahkan airnya ke bumi saja. Oh, cepat benar meluapnya air sungai. Mudah-mudahan tidak lebih lagi! Bisa-bisa kita tak dapat terus.” Memikirkan kemungkinan ini, membuat hati kecut. Betapa tak enaknya terkurung di dalam terowongan bawah tanah — sementara air sungainya makin lama makin tinggi. Paul, Mike, dan Jack memaksa diri berjalan terus — secepat mungkin. Dua jam telah berlalu. Mereka mulai berharap segera sampai ke gua air terjun. Sementara itu air sudah naik melebihi ketinggian lutut. Berjalan maju sudah semakin sulit buat mereka. Ranni dan Pilescu merasa cemas. Tetapi, tiba-tiba terdengar oleh mereka bunyi air terjun yang jatuh ke dalam gua besar! Pasti yang terdengar itu bunyi air terjun — bunyinya berdebur luar biasa. “Kita hampir sampai!” teriak Ranni. “Hati-hati! Awasi kalau-kalau ada perampok!” sahut Jack. Mereka lewat di tikungan terakhir, dan dengan bantuan lampu senter Ranni, tahulah mereka bahwa mereka telah berada di gua besar yang rnempunyai jalan tembus ke gua yang terdapat di bawah gua kuil. Mereka semua bersyukur. Tidak terlihat ada perampok di sekitar situ. Kelimanya masuk ke gua tadi dengan hati-hati sekali. Mereka memeriksa sekelilingnya. Di bawah cahaya lampu senter Ranni, air terjunnya terlihat lebih besar dari yang pernah mereka lihat. Airnya jatuh dari lubang besar pada langit-langit gua, lalu melalui semacam kanal, menuju terowongan — lalu menghilang. “Sekarang lebih besar,” ucap Ranni. “Mungkin juga diakibatkan oleh hujan lebat kemarin. Lihatlah! Air jatuh dari seluruh bagian lubang di atas itu.” “Seandainya lubang itu tidak dapat lagi menampung tambahan air yang lewat, apa yang akan tenjadi?” tanya Jack. “Aku tak tahu,” sahut Ranni. “Nah, apa yang harus kita lakukan sekarang? Di mana kawanan perampoknya, ya? Apakah mereka menunggu kita di suatu tempat? Apakah mereka menunggu di gua bawah kuil? Ataukah mereka sudah keluar — hendak merampok lagi?” “Yah, tidak ada cara lain untuk mengetahuinya — kecuali kita lihat sendiri,” komentar Pilescu. “Anak-anak, kalian tinggal di sini, ya — kami hendak ke gua sebelah, gua bawah kuil.” “Tidak — kami ikut!” Paul berkata segera. “Jangan! Itu namanya bertindak bodoh!” sahut Pilescu. “Tidak ada gunanya kita semua bersama-sama menempatkan diri di tempat yang berbahaya. Tinggallah kalian di sini sampai aku atau Ranni kembali menyatakan keadaan aman buat kita kembali ke istana.” Anak-anak menyaksikan Ranni dan Pilescu menghilang ke jalan pintas yang menuju gua bawah kuil. Betapa sukar tinggal dan menunggu dengan sabar di situ seperti yang diperintahkan Pilescu. Mereka duduk di sudut gua, memandang air terjun dahsyat yang berada tepat di seberang tempat mereka duduk. “Bunyinya seperti air mengamuk!” Jack berkata. “Menurutku, lubang itu kurang besar untuk volume air yang lewat sekarang ini. Mungkin lama-lama lubangnya akan membesar. Ya, mungkin sekali.” “Tapi, lubangnya kan pada batu keras,” bantah Mike. “Bisakah air membuatnya lebih besar dalam waktu singkat?” Bersamaan dengan itu, sesuatu yang sangat mengerikan terjadi. Air yang jatuh dari lubang itu semakin besar debitnya, dan bunyinya pun makin mengerikan — terlihat oleh anak-anak bongkahan batu besar jatuh perlahan-lahan dari atap gua! Seperti yang dikatakan Jack, lubang itu tidak cukup besar untuk menampung arus air yang semakin besar. Tekanan arusnya yang kuat mengakibatkan runtuhnya atap gua! “Astaga! Mudah-mudahan tidak seluruh atapnya jatuh!” ucap Jack. “Kalau bongkahan batu sebesar itu bisa jatuh, pasti arus air di atas sana luar biasa besarnya.” Setelah itu, tidak ada lagi yang terjadi, kecuali air yang semakin banyak dan bunyi yang semakin keras. Air mulai menggenangi lantai gua, hampir mencapai tempat anak-anak duduk menunggu. “Pokoknya, kita aman,” Mike berkata. “Kita tepat berada di pintu jalan tembus ke gua lain yang letaknya lebih tinggi. Air datang dari arah yang berlawanan. Seandainya tempat ini sampai terendam, kita tinggal masuk ke jalan tembus itu — dan kita pun selamat!” Tetapi, airnya tidak meluap sedemikian hebat, hingga anak-anak pun menunggu dengan sabar. Dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada tanda-tanda Ranni dan Pilescu kembali. Mike mulai cemas. “Mudah-mudahan mereka cepat kembali,” katanya. “Rasanya aku tak bisa duduk rnenganggur di sini lebih lama lagi.” “Apa saja yang dilakukan Ranni dan Pilescu?” ucap Jack, tidak sabar. “Melihat lamanya mereka pergi, tentu mereka sudah sampai ke luar gua kuil!” “Ayo, kita naik — kita lihat sendiri apa yang terjadi,” ajak Paul, akhirnya. “Aku tak bisa diam-diam di sini lebih lama lagi.” “Baiklah,” sahut Mike. “Ayo. Kita buru-buru berlari kembali kalau kita dengar Ranni dan Pilescu datang.” Mereka berjalan melalui jalan tembus sempit yang berliku-liku menanjak, meninggalkan gemuruh air terjun di belakang mereka. Tetapi, belum sampai setengah perjalanan, mereka mendengar suara orang datang. “Pasti Ranni dan Pilescu!” ucap Mike, berbisik. “Ayo, kita kembali saja. Jangan bikin Ranni marah cuma karena kita tidak mau menunggu.” Cepat-cepat mereka turun, kembali ke gua air terjun. Air masih terjun dengan suara yang jauh lebih keras daripada sebelumnya. “Itu dia mereka!” seru Mike, ketika melihat cahaya lampu senter di jalan tembus. Dinyalakannya lampu senternya sendiri ke arah jalan tembus itu — menyambut kedatangan Ranni dan Pilescu. Mike dan kedua anak lainnya memandang dengan penuh ketakutan. Memang benar— Ranni dan Pilescu datang! Tetapi, mereka datang sebagai tawanan! Sekali lagi mereka menjadi tawanan yang marah tetapi tidak bisa berbuat apa-apa! Di belakang mereka berjalan enam sampai tujuh perampok. Mereka menendang dan mendorong Ranni dan Pilescu sambil menghunus pisau tajam kepada mereka. “Ranni! Mengapa?” seru Paul, melompat maju. Tetapi, sebelum Ranni sempat menjelaskan masalahnya, teriakan girang perampok terdengar. Dalam sekejap mereka telah mengelilingi ketiga anak laki-laki itu. Wajah mereka penuh rasa puas. Dengan sigap mereka mengikat tangan anak-anak itu di belakang. Mike berusaha keras mengeluarkan pisau pandunya, tetapi sia-sia! Perampok-perampok itu mengikat tangan dan kaki anak-anak dengan tali kuat. Betapapun mereka berusaha melepaskan diri, tali itu sangat kuat. Mereka diletakkan di lantai gua, seperti ayam dagangan. Ranni dan Pilescu berdiri sambil berteriak-teriak seperti banteng mengamuk, dan berusaha melepaskan ikatan tangannya. Dengan sigap kawanan perampok itu merobohkan Ranni dan Pilescu hingga mereka terlentang di lantai gua. Setelah itu, kaki mereka pun diikat. Walaupun bertubuh kecil, perampok Hutan Rahasia itu bukan main kuatnya. Dibanding dengan mereka, Ranni dan Pilescu seperti raksasa. Tetapi, kawanan perampok itu seperti semut. Dengan kekuatan dan kelincahannya, mereka mengalahkan Ranni dan Pilescu dengan mudah. Kawanan perampok itu mengobrol dengan riang gembira. Sekarang mereka punya lima orang tawanan. Tetapi, sekonyong-konyong seorang di antara mereka menunjuk pada air yang menggenang di lantai gua. Yang lain memandang kaget. Jelaslah, mereka belum pernah melihat air menggenang di situ sebelumnya. Mereka memandang air yang terjun dari lubang di atap gua. Lubangnya sekarang jauh lebih besar daripada semula. Mereka melihat apa yang terjadi, lalu berlari ketakutan ke langkan di sisi sungai yang bergemuruh. Air sudah setinggi lutut mereka di sana. Rakit mereka ditinggal di dekat ceruk tempat beristirahat. Dengan panik, mereka memandang air yang makin tinggi. Di dekat air terjun, mereka tidak dapat mendengar kata-kata mereka sendiri. Karena itu, mereka berlari-lari kembali ke tempat kelima orang tawanan mereka, sambil berteriak-teriak ketakutan. Bunyi air semakin dahsyat. Semua orang memandang ketakutan pada lubang yang dilalui air di atap gua. Semakin banyak reruntuhan batu terbawa air dari atap gua. Bongkahan-bongkahan batu tersebut jatuh ke lantai gua, bunyinya berdebam pada waktu membentur dengan lantai. Dengan makin membesarnya lubang, makin banyak pula air yang jatuh, dan makin menjadi-jadi bunyinya. Kawanan perampok menjerit ketakutan. Mereka tahu, bahwa mereka tidak akan bisa pulang ke Hutan Rahasia jika tidak segera berangkat. Dengan makin banyaknya air yang jatuh, sungai yang melalui terowongan akan semakin meluap hingga tak mungkin orang bisa berjalan di langkan pada sisi-sisinya. Mereka menghilang ke balik percikan air. Jack mengangkat kepala. Di kejauhan terlihat mereka memaksakan diri masuk ke terowongan. Air sudah lebih tinggi dari pinggang mereka! “Mereka pasti tenggelam,” ucap Jack. “Sebentar saja air akan menghanyutkan mereka dan langkan tempat mereka berpijak. Airnya semakin dalam.” “Tak usah pikirkan nasib mereka,” sahut Ranni, sambil berusaha bangkit. “Pikirkan nasib kita sendiri! Lihatlah air — sudah bergerak naik ke arah kita sekarang!” Benar. Mereka sudah dikepung air. Air memukul-mukul sekeliling mereka. Kelima orang tawanan itu berusaha bangkit, walaupun sangat sukar melakukannya dengan tangan dan kaki terikat. Mereka berusaha sekuat tenaga melepaskan ikatannya. Tetapi, kawanan perampok itu rupanya sangat mahir dalam ikat mengikat. “Sebaiknya kita mencoba bengerak ke jalan tembus itu,” usul Ranni, melompat-lompat dengan kaki terikat. Tetapi, belum jauh, dia sudah terjatuh. Kepalanya membentur batu, karena dia tidak bisa menyelamatkan diri dengan tangannya. Ranni terbaring diam. Paul memandangnya dengan waswas. “Dia cuma terkejut. Beberapa menit lagi pasti sembuh,” Pilescu berkata, menenangkan tuannya. Tetapi, sebenarnya Pilescu pun merasa cemas seperti Paul melihat keadaan Ranni. Mereka benar-benar berada dalam situasi yang sangat menyedihkan. Setiap saat atap gua di atas mereka bisa runtuh, dan dalam waktu singkat gua itu akan tergenang air seluruhnya. Mereka tidak bisa menyelamatkan diri, mereka semuanya terikat demikian kuatnya. “Ranni! Buka matamu!” pinta Paul. Salah seorang di antara kawanan perampok meninggalkan lampu senter menyala tak jauh dan situ. Cahayanya tepat mengenai wajah Ranni yang terbaring dengan mata terpejam, setengah bersandar pada dinding gua. “Pilescu! Bagaimana kejadiannya hingga kalian tertangkap?” “Kami naik ke gua bawah kuil,” kisah Pilescu. “Ketika kami sampai di sana, terlihat patung di atasnya dalam keadaan terbuka. Tak terlihat seorang perampok pun di sekitar situ. Kami keluar ke gua kuil, dan langsung melihat ke luar dari pintunya. Kami tidak bisa melihat apa pun, sebab di luar sedang sangat berkabut. Kami masuk kembali ke gua, hendak balik ke sini. Tiba-tiba saja mereka mengeroyok kami. Rupanya mereka melihat kami ketika kami berdiri di pintu gua. Mereka menunggu kami di sana, sedangkan kami tak bisa melihat ke luar karena tebalnya kabut.” “Oh, Pilescu — padahal kita sudah hampir sampai!” Pangeran Paul berkata. “Apa yang akan kita lakukan sekarang? Gawatkah keadaan Ranni? Kepalanya terbentur batu begitu keras!” Pada saat itu Ranni membuka mata sambil mengerang. kepalanya terasa sangat sakit. Dia berusaha bangkit — hendak duduk Tetapi, cepat teringat olehnya apa yang telah terjadi. “Atapnya makin banyak yang runtuh!” teriak Jack. Benar. Dengan terdengarnya bunyi bergemuruh yang sangat dahsyat, sebuah bongkahan batu besar sekali jatuh di dekat air terjun. Ini disusul dengan turunnya lebih banyak lagi air. Air sudah sampai ke kaki mereka. Dengan segala tenaga yang tersisa, kelima orang tawanan itu berjuang menjauhkan diri darinya. “Airnya semakin tinggi,” ucap Mike, memandang air yang berputar-putar di dalam gua. Cahaya lampu senter yang terang tampak berkilau-kilauan di air dingin dalam gua yang gelap itu. Pemandangan di sana sangat mengerikan. “Pilescu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Jack, putus asa. “Kalau kita tidak cepat bertindak sebentar lagi kita akan terendam air! Oh, mengapa tak ada orang yang mencari kita — pelayan, orang kampung, petani. Katanya Beowald akan menjemput mereka!” Tentu saja Beowald sudah menjemput penduduk desa. Mereka telah mencari anak-anak hingga ke gua air terjun. Tetapi, mereka sama sekali tidak menduga, bahwa anak-anak masuk ke dalam terowongan yang dialiri sungal. Karena itu, mereka pun meninggalkan gua air terjun, dan kembali ke desa — memberi tahu Beowald bahwa mungkin Beowald salah. Tidak ada seorang pun di gua yang terdapat di bawab gua kuil! Perampok dan tawanannya pasti bersembunyi di suatu tempat di luar gua, di lereng pegunungan! Lereng pegunungan telah pula mereka jelajahi, sambjl berteriak memanggil-manggil berjam-jam lamanya. Tetapi, ketika kabut tebal datang, mereka pun pulang. Sebab, walaupun rata-rata mereka itu pendaki gunung yang mahir — tetapi, dalam kabut seperti itu mudah sekali mereka tersesat seperti anak kecil. Hanya Beowald yang tidak berhenti mencari. Kabut tidak menjadi penghalang untuknya. Begitu pula kegelapan. Sepanjang malam dia berjalan — mencari teman-temannya, ditemani oleh kambing tuanya. Ketika matahari telah tinggi, Beowald berjalan kembali menuju gua kuil. Dia mendengarkan dari luar. Tidak ada suara. Dia menghampiri patung besar di bagian belakang gua itu. Masih terbuka. Beowald berdiri, berpikir. Haruskah dia turun sendiri, mencari teman-temannya? Orang-orang kampung mengatakan tidak seorang pun ada di sana. Gua di bawahnya kosong, dan di gua yang lain lagi cuma ada air terjun. Beowald akan tersesat di tempat yang belum dia kenal. Tetapi, sesuatu mendorongnya untuk mencoba masuk. Penggembala kambing yang buta itu meluncur turun, masuk ke dalam lubang dengan berpegang pada tali yang memang tersedia. Turun dia — makin lama makin ke bawah, sampai akhirnya sampai ke gua kecil di bawahnya. Dengan tangan terentang ke depan, diperiksanya gua itu seteliti mungkin. Dia berjalan menyusur dinding gua yang tidak beraturan. Beberapa saat kemudian dia menemukan bagian dinding yang terbuka, yang menuju ke jalan tembus sempit ke gua lain yang letaknya lebih ke dalam. Dilaluinya jalan sempit berdinding batu itu. Tangannya meraba-raba ke depan dan ke samping. Jalan itu menurun dan membelok Beowald muncul di gua air terjun. Dia berdiri di sana, telinganya pekak oleh gemuruhnya air terjun. Air berputar-putar di kakinya. Mula-mula hanya suara air terjun yang terdengar olehnya. Kemudian, dengan sangat terkejut, dia mendengar namanya dipanggil. “Beowald! Beowald buta!” “Lihat — itu Beowald! Beowald, cepat bantu kami, Beowald." Si Buta Beowald berdiri tertegun di pintu gua air terjun. Matanya yang buta tidak melihat sesuatu pun. Tetapi, telinganya mendengar suara. Ah, tidak percaya dia rasanya! Yang lebih terkejut adalah para tawanan! Beowald muncul di depan mereka, seperti tukang sihir, tepat pada saat mereka sudah hampir putus asa! 19. BEOWALD PENYELAMAT “BEOWALD! Cepat! Lepaskan kami!” teriak Ranni. Air sudah tinggi, dan yang mengalir ke dalam gua makin lama makin banyak. Dalam beberapa menit terakhir pertambahannya banyak sekali. Ranni sangat kuatir atap gua tak tahan terhadap tekanan air yang demikian besar hingga runtuh seluruhnya. Jika hal itu sampai terjadi, tak ada lagi harapan mereka bisa selamat. “Apa? Di mana kalian? Mengapa banyak air?” seru Beowald, merasa asing di dunia yang basah dan bergemuruh. “Beowald! Dengarkan aku!” teriak Ranni. “Dengarkan baik-baik. Kau sedang berdiri di mulut gua. Aku dan lain-lainnya ada di dalam gua yang kauhadapi. Tangan dan kaki kami diikat hingga kami tidak bisa berjalan atau melepaskan ikatannya. Air bagai dituang ke dalam gua ini. Kalau kau tidak cepat-cepat menolong kami, kami akan tenggelam. Melangkahlah, Beowald! Berjalanlah mendekati suaraku. Jangan takut!” “Baiklah,” sahut penggembala kambing yang buta itu. Dia melangkah masuk ke dalam air, lalu berhenti — takut. Di dunianya sendiri — di pegunungan dia tak pernah merasa takut. Setiap jengkal, setiap batu, setiap pohon dia kenali. Tetapi semuanya di situ terasa baru dan aneh untuknya. Itu membuatnya merasa takut. “Cepat, Beowald! Cepat!” seru Ranni. “Mendekatlah padaku, cepat! Ambil pisaumu. Potonglah tali yang mengikat tanganku.” Tersaruk-saruk Beowald maju. Tangannya meraba-raba mencari Ranni. Tak lama kemudian tangannya menyentuh wajah Ranni. Posisi Ranni setengah berbaring, setengah duduk. Ada benjolan besar di kepalanya — bekas benturan batu beberapa saat sebelumnya. Tangan Beowald merasakan adanya benjolan itu. Dalam hati dia bertanya-tanya apa penyebabnya. Tangannya merabai tubuh Ranni. Dia segera tahu, bahwa tangan Ranni diikat di belakang tubuhnya. Dikeluarkannya pisau, dan dengan hati-hati dipotongnya tali kulit yang mengikat tangan Ranni. Ranni merentangkan tangannya dengan gembira — dilatihnya tangannya agar kembali kuat seperti semula. Tangannya menjadi kaku dan bengkak selama diikat. Diambilnya pisau Beowald, lalu dipotongnya tali yang mengikat kakinya. Dia berdiri, tetapi keseimbangan tubuhnya belum sempurna. Kakinya diikat terlalu kuat, hingga terluka. Untuk beberapa saat kakinya tak kuat dipakai berdiri. Ranni cepat-cepat bangkit lagi, lalu menghampiri Paul. Tak lama kemudian, Paul pun bebas dan ikatan. Dia segera berdiri dan berlari ke pintu gua. “Cepat, cepat!” teriaknya. “Cepat, lepaskan tali yang lainnya, Ranni! Sebentar lagi mereka tenggelam!” Secepat kemampuannya bergerak, Ranni melepaskan tali pengikat kaki dan tangan Pilescu, Mike, dan Jack Masing-masing lalu berusaha menjauhi air yang saat itu telah berputar-putar sampai di atas lutut. Sebentar saja gua sudah penuh air. Ranni memungut lampu senter yang tergeletak di atas langkan. Lampu senter itu masih menyala. Dipegangnya lampu senter tadi tinggi-tinggi, hingga yang lain dapat melihat dengan mudah mulut gua yang berhubungan dengan jalan tembus ke gua bawah kuil. Beowald sudah lebih dulu masuk ke jalan tembus. Dia sudah tak sabar — ingin cepat-cepat sampai kembali ke lereng pegununqan di luar sana, tempat yang sudah sangat dia kenal liku-likunya. Di gua bawah tanah itu, dia merasa aneh dan tidak tahu arah sama sekali. Untuk terakhir kalinya, Ranni menyorotkan lampu senter ke sekeliling gua air terjun — sebelum dia meninggalkannya menuju jalan tembus. Terlihat olehnya sesuatu yang sejak tadi dia kuatirkan terjadi, hampir terjadi! Seluruh atap gua runtuh! Tekanan dan berat air di atasnya tidak memungkinkan dia bertahan. Air yang tidak tertampung lagi itu mencari jalan keluar. Air yang dicurahkan oleh hujan lebat kemarin perlu jalan keluar. Saluran yang ada tidak lagi cukup untuk menampungnya. Karenanya, dia menerobos semuanya yang bisa ditekan dan terlewati olehnya. Kali ini, atap gua terpaksa mengalah terhadap tekanannya yang demikian kuat. Dengan bunyi yang mengerikan sekali, atap gua itu jatuh. Bersamaan dengan jatuhnya atap tadi, suatu volume air yang teramat besar seolah dituangkan sekaligus ke dalam gua. Belum pernah Ranni melihat air sebanyak itu. Dia memekik ketakutan sambil berlari tunggang-langgang di jalan tembus yang sempit, mengejar yang lain-lain. Dia takut air akan menggenangi juqa jalan tembus itu, dan mengurung mereka sebelum sempat sampai ke gua bawah kuil! “Ada apa, Ranni, ada apa?” seru Paul ketika mendengar bunyi berdebam yang dahsyat luar biasa. “Cepat! Cepat! Atap gua runtuh! Gua seperti diguyur air!” Ranni berkata terengah-engah. “Sebentar lagi jalan ini pun akan terendam. Cepat, Paul! Cepat, Mike!” Ngeri mendengar suara Ranni yang ketakutan, kelima orang yang berjalan di depan Ranni mempercepat gerak mereka, tersaruk-saruk di jalan batu yang kasar tak beraturan. Beowald merasa ngeri luar biasa. Dia takut jatuh, takut akan tempat yang tidak dikenalnya, takut akan suara air yang bergemuruh keras di belakangnya. Air sudah sampai ke mulut gua air terjun, dan mulai naik ke jalan tembus. Terdengar benar bunyinya di belakang Ranni! Cepat Ranni mendorong yang lain supaya bergerak lebih cepat lagi. Dia berteriak dan memekik. Sementara yang lain terus berjalan dengan panik di jalan tembus yang gelap dan berliku-liku itu. “Syukurlah jalan ini menanjak terus,” pikir Ranni penuh rasa syukur ketika dia sampai di tempat yang menanjak cukup curam. “Sekarang sudah aman! Air takkan sampai ke sini. Kita sudah terlalu tinggi. Yah, takkan ada lagi orang yang bisa turun ke gua air terjun. Tempat itu akan terus terendam air sekarang, sebab sudah tidak beratap lagi.” Akhirnya, sampailah mereka di gua bawah kuil. Semuanya menjatuhkan diri ke lantainya, tubuh mereka gemetar. Hampir saja mereka celaka! “Seandainya Beowald tidak datang tadi,” ucap Paul tersendat, “kita semua pasti sudah terendam air saat ini. Oh, Beowald — bagaimana ceritanya sampai kau bisa datang pada saat yang begitu tepat?” Di kejauhan, di ujung jalan tembus, deru air masih terdengar cukup keras. Suara Beowald nyaring mengalahkannya, “Orang-orang kampung sudah ke sini, juga ke gua air terjun tadi. Tetapi, mereka tidak menemukan kalian. Mereka lalu mencari-cari kalian di lereng pegunungan. Aku sangat cemas. Ketika aku sampai kembali ke gua kuil, aku merasa harus masuk sendiri ke bawah sini, walaupun aku sebenarnya takut. Begitulah ceritanya.” “Petualangan yang kami alami sungguh-sungguh luar biasa!” Mike bercerita, merasa dirinya menjadi pablawan. “kami sudah menginjak Hutan Rahasia, Beowald!” “Bagus,” sahut si penggembala kambing yang buta itu. “Belum pernah ada orang lain yang ke situ.” “Sudah!” Paul berkata. “Kawanan perampok yang mengganggu itu tinggal di sana, Beowald! Rupanya sudah bertahun-tahun mereka tinggal di sana. Ranni, masih bisakah mereka keluar dari Hutan Rahasia sekarang ini?” “Tidak!” sahut Ranni. “Kita telah bebas dari gangguan mereka!” Sedikit demi sedikit, gemetar pada tubub anak-anak berkurang. Begitu pula debaran jantung mereka. Mereka mulai bisa berdini. Mike bangkit. Badannya terasa mulai enak. “Aku sudah kepingin pulang ke istana,” katanya. “Kangen sama Nora dan Peggy — dan sudah kepingin bercerita. Ah, mereka pasti iri mendengar petualangan kita!” “Aku kepingin makan,” Paul berkata. “Rasa laparku sudah tak tertahankan. Akan kusuruh Yamen menyiapkan makanan yang paling enak!” Teringat akan makanan, semuanya menjadi bersemangat untuk segera melanjutkan perjalanan. Ranni bangkit, dan menarik Paul hingga anak itu berdiri. “Kalau begitu, kita terus yuk,” ajaknya, “Tak lama lagi kita akan sampai” Satu per satu, mereka memanjat tali yang menghubung gua bawah kuil dengan gua kuil. Sepanjang perjalanan naik, berkali-kali mereka mengistirahatkan kaki pada benjolan yang terdapat di dinding. Tak lama kemudian, keenamnya sudah berada di gua kuil. Gelap di sana — lebih gelap dari sebelumnya. Ranni memandang pintunya. “Oh, kita tak bisa pulang!” katanya, kecewa. “Lihatlah, betapa tebal kabut di luar! Tangan sendiri pun takkan terlihat jika kita berada di luar sana. Kita bisa tersesat!” “Yah, terpaksa kita menunggu di sini sampai kabutnya berkurang,” komentar Pilescu. “Mungkin bisa berjam-jam. Kalau tebalnya begitu, biasanya kabut lama hilangnya.” “Oh, Pilescu! Kita harus pulang! Kan istana sudah dekat!” ucap Paul, menahan air mata. “Kita harus pulang! Aku sudah lapar sekali!” Jack memandang pada Beowald. Si Buta penggembala kambing itu berdiri diam, mendengarkan. “Mungkin Beowald bisa menjadi penunjuk jalan kita,” ucep Jack. “Kau tahu ke mana harus berjalan tidak peduli hari malam atau berkabut kan, Beowald?” Beowald mengangguk. “Sama saja buatku,” jawabnya. “Kalau kalian memang ingin segera pulang, aku bisa menunjukkan jalan ke Istana Killimooin. Kakiku tahu jalan mana yang harus kita ambil! Sangat tebalkah kabutnya? Aku merasa udara berkabut, tetapi seberapa tebalnya, aku tak tahu.” “Belum pernah aku melihat kabut setebal ini,” Pilescu bersuara, sambil melongok ke luar. “Rasanya aku ngeri berjalan dalam kabut setebal ini, walaupun bersamamu Beowald” “Jangan takut. Kalian aman bila kalian bersamaku di sekitar lereng pegunungan ini,” Beowald berkata. Beowald mengambil serulingnya lalu sebuah nada aneh. Kepala hewan bertanduk tiba-tiba saja terlihat di pintu gua. Semuanya terlompat, kaget. “Ah, Kambing Tua, kau di situ rupanya!” seru Beowald ketika mendengar bunyi langkah kaki binatang itu. “Dekat-dekatlah padaku, Kambing Tua. Ayo, kita antarkan teman-teman kita ini pulang ke istana!” “Saling berpegangan tangan, ya,” pesan Renni. “Jangan sampai ada yang terlepas. Jika sampai terjadi sesuatu dan kalian terpaksa melepaskan diri, berteriaklah terus keras-keras supaya kita tetap berhubungan satu sama lain. Pengalaman kita sudah cukup banyak hari ini!” Semua saling berpegangan, Beowald keluar dari gua. Memegang seruling sambil meniupnya, tangan kiri anak buta itu memegang erat tangan Ranni. Di belakang Ranni berjalan Paul. Setelah Paul, lalu Mike, Jack, dan Pilescu berjalan paling belakang. Mereka berpegang kuat-kuat satu sama lain. “Seperti mau bermain saja kita ini,” Mike tiba-tiba berkata. “Tapi, bermain di lereng gunung yang begini curam sih berbahaya.” Hati mereka lega karena akhirnya mereka akan sampai di istana lagi. Diiringi nada yang dimainkan Beowald dengan serulingnya, mereka berjalan beriring-iringan menuruni lereng gunung. Dua sampai tiga kali salah seorang di antara anak-anak jatuh, pegangan tangan mereka terlepas. Mereka saling berteriak dengan segera, dan dalam waktu singkat mereka telah bersatu kembali. Perjalanan mereka memakan waktu cukup lama akibat kabut yang tebal. Melihat orang yang berjalan tepat di depannya pun orang tidak bisa. Cuma Beowald yang berjalan dengan langkah pasti dan tenang. Dia bisa melihat jalan yang hendak dilaluinya dengan kakinya. “Jangan terlalu cepat, Beowald!” ujar Ranni, ketika dia merasa langkah pangerannya makin berat. “Jangan lupa, kami tidak bisa melihat apa-apa sama sekali. Kaki kami pun tak bisa!” “Beowald pun tidak bisa melihat,” pikir Mike. “Sungguh-sungguh luar biasa anak itu! Apa yang terjadi seandainya tidak ada Beowald?" Tersaruk-saruk mereka turun kurang lebih satu setengah jam lamanya. Lalu Ranni berteriak ."Kita hampir sampai! Kokok ayam di belakang istana sudah terdengar olehku, juga gonggong anjing! Tahan, Paul, kita sudah hampir sampai!” Akhirnya mereka sampai ke tangga depan istana. Dengan tenaga yang tersisa, mereka memaksakan diri naik ke atas. Lelah benar rasanya. Diam-diam Beowald menyelinap pergi bersama kambing tua kesayangannya. Baik anak-anak maupun Ranni atau Pilescu tak ada yang memperhatikan kepergian anak itu. Hati mereka terialu gembira tiba kembali di tempat yang aman. Ya, akhirnya mereka sampai lagi ke Istana Killimooin! Dengan perasaan tak sabar, mereka menggedor pintu gerbang besi yang berdiri kokoh di puncak tangga. 20. AKHIR SUATU PETUALANGAN PINTU dibuka — Yamen berdiri di depan pintu. Di dekatnya, Nora dan Peggy. Berteriak-teriak kegirangan dan dengan perasaan yang sangat lega, Nora dan Peggy memeluk mereka. Wajah Yamen berseri-seri. Yang hilang sudah pulang! Mereka ditarik masuk. Yamen segera berlari dan berteriak, “Permaisuri! Mereka pulang! Pangeran Paul selamat! Beliau selamat!” Seisi istana berkumpul, mendengarkan kisah pengembara yang baru pulang. Para pelayan mengintip dari pintu. Adik-adik Paul bergayut pada tangan pengasuhnya masing-masing. Mereka melotot melihat anak laki-laki yang kotor dan acak-acakan bersama Ranni dan Pilescu. Dengan tangan masih dibalut, Tooku berlari-lari dari dapur. Betapa gembira suasana di Istana Killimooin ketika itu! “Kami dan Hutan Rahasia!” Paul berkata, menyombongkan diri. Lapar dan lelahnya terlupakan. Dia kembali menjadi pangeran — pangeran yang baru saja menyelamatkan anak buahnya! “Hutan Rahasia!” ulang Yamen. Suaranya mengungkapkan perasaan takjub, sementara pelayan lainnya menarik napas dan mengangguk satu sama lain. Pangeran mereka benar-benar seorang pangeran sejati! “Tidak, Paul — tak mungkin kau dari sana!” ibu Paul berkata. Beliau melirik Ranni dan Pilescu. Mereka mengangguk sambil tersenyum. “Sungguh, Bu,” ujar Paul. “Ranni dan Pilescu ditangkap perampok dan dibawa ke bawah gua kuil. Ternyata ada sungai bawah tanah yang mengalir di sana — sungai itu merupakan satu-satunya jalan masuk ke Hutan Rahasia!” Sedikit demi sedikit, cenitanya menjadi lengkap. Semua yang hadir mendengarkan penuh perhatian. Ketika cerita Paul sampai pada saat atap gua air terjun jatuh dan mereka hampir terendam air, ibunya menarik Paul dan memeluknya dengan berurai air mata. Paul marah sekali. “Ibu! Lepaskan aku, Bu! Aku bukan bayi — tak pantas ditangisi begini!” “Kau bukan bayi, Pangeran — kau seorang pahlawan!” Yamen berkata, kagum. “Akan kusiapkan makanan buat pangeran Baronja yang paling berhati besar!” Dia pergi ke dapur, merencanakan menu yang hebat. Ah, si kecil Paul — dia benar-benar seorang pangeran sejati! Yamen sangat kagum pada pangerannya juga pada kedua anak laki-laki Inggris, teman Paul. Cepat disiapkannya kue di atas meja dapur. Dia bertekad hendak membuat makanan yang lezat sekali, yang takkan terlupakan oleh mereka! “Mana Beowald?” tanya Permaisuri, setelah beberapa kali mendengarkan kisah yang mendebarkan putra sulungnya. Beowald datang sebagai penyelamat, tepat pada waktu yang diperlukan — sebelum gua dipenuhi air. “Aku ingin mengucapkan terima kasih dan menghadiahinya.” “Dia kan ke sini bersama kita tadi?” Jack berkata. Tetapi, Beowald tidak kelihatan. Dia sudah kembali ke lereng gunung, bermain dengan kambing-kambingnya dalam udara berkabut. “Ibu, aku ingin mengajak Beowald tinggal di sini bersama kita,” ujar Paul. “Aku suka padanya. Dia pandai sekali berrnain seruling. Izinkan dia tinggal bersama kita, Bu — jadikan itu hadiah buatnya.” “Kalau dia mau, boleh saja,” janji Permaisuri, walaupun beliau tidak yakin Beowald menginginkan hadiah semacam itu. “Nah, sekarang, mandilah kalian. Setelah itu, makanan yang lezat pasti sudah tersedia. Oh, betapa penuh syukur dalam hatiku — kalian semua kembali ke sini dengan selamat!” Setengah jam kemudian, anak-anak kelihatan lain sekali, Tubuh mereka segar dan bersih, begitu pula pakaian yang mereka kenakan. Wajah mereka tampak lelah sekali, pikir Nora dan Peggy. Tetapi, mungkin itu cuma karena mereka kelaparan! Yamen telah selesai menyiapkan makanan yang luar biasa lezat. Aromanya tercium dan dalam istana, membuat anak-anak yang sudah duduk rapi di meja makan tak sabar menunggu makanan dihidangkan. Yamen menghidangkan sup yang sangat enak dan mengenyangkan. Belum pernah anak-anak makan sebanyak itu. Ranni dan Pilescu pun menyantap porsi yang luar biasa besar. Paul yang mula-mula berhenti makan. Ditaruhnya sendok dengan tarikan napas. Podingnya tersisa sedikit. “Kenyang sekali!” katanya, kelopak matanya mulai menutup. Pilescu menggendongnya lalu membawa pangeran kecil itu ke kamar. Setengah tertidur, Paul meronta-ronta minta diturunkan. “Turunkan aku, Pilescu! Aku tak mau digendong! Mengapa kauperlakukan aku seperti orang sakit?” “Kau sama sekali bukan anak sakit, Paul!” Pilescu menyahut. "Kau telah menyelamatkan Ranni dan aku dengan tenaga dan kebijaksanaanmu sendiri. Anak sakitkah begitu itu? Bukan! Kau seorang yang perkasa!” Senang hati Paul mendengar ini. “Oh, Mike dan Jack pun perkasa” ujarnya, menguap lebar. Dia sudah tertidur sebelum sampai di kamarnya — tertidur pulas sekali! Nora dan Peggy menggelayut pada Mike dan Jack, bertanya dan bertanya lagi — hingga Mike dan Jack lagi-lagi menceritakan pengalaman mereka. “Kami sangat kuatir memikirkan kalian!” Nora berkata. “Waktu orang kampung datang mengatakan kalian tak ada di mana-mana, uh — sedib benar hati kami. Belum lagi, ada badai besar sekali waktu itu! Kami berharap-harap cemas kalian tidak terjebak dalam badai itu!” “Oh, kami terjebak, memang,” sahut Jack, mengingat kejadian yang lalu. "Badai dan hujan lebat itulah yang menyebabkan air sungai meluap dan atap gua runtuh karena tak dapat menampung arus air yang terlalu besar. Apakah kawanan perampok itu sampai kembali dengan selamat di Hutan Rahasia — itu masih merupakan tanda tanya! Seandainya mereka selamat sampai di tempat rakit mereka tersimpan pun, mereka akan dibawa oleh arus yang lebih dari enam puluh mil per jam kecepatannya!” “Nah, Mike dan Jack, kalian pun sudah waktunya tidur,” Ranni mengingatkan. “Paul sudah nyenyak tidurnya. Kalian lelah sekali. Jadi kalian pun harus benistirahat. Ayo.” *** Ketika terbangun esok harinya, anak-anak hampir tidak percaya bahwa petualangan yang baru saja mereka alami itu benar-benar terjadi. Mata mereka mengerjap-ngerjap memandang langit-langit karnar mereka. Tubuh mereka terasa pegal, tetapi hati mereka riang. Mereka telah berhasil menyelamatkan Ranni dan Pilescu. Mereka telah menemukan sarang perampok. Mereka telah mengunjungi Hutan Rahasia. Betapa takkan puas dan senang hati mereka! "Bu, aku hendak mencari Beowald ke gunung,” ucap Paul pada waktu mereka sedang bersantap pagi bersama. “Dia akan kusuruh meninggalkan kambing-kambingnya dan kuajak tinggal bersama kita di sini. Kalau kita kembali ke Istana besar pun dia akan kita ajak kan, Bu? Jasanya takkan pernah terlupakan olehku.” “Ajaklah Ranni dan Pilescu,” ujar ibunya. “Ibu masih takut perampok-perampok itu datang lagi” “Ibu tak perlu kuatir,” kata Paul. “Mereka takkan pernah muncul lagi! Ranni! Ikut aku, yuk — mencari Beowald!” Ranni mengangguk. Ranni dan Pilescu sudah segar kembali. Hanya saja, benjolan di kepala Ranni belum hilang. Kabut telah lenyap sama sekali. Gunung terlihat jelas, dengan puncaknya menjulang tinggi ke langit. Dengan kuda, anak-anak bersama Ranni dan Pilescu mendaki. Mereka sampai ke gua kuil setelah kurang lebih satu jam perjalanan. Beowald tidak kelihatan di sana. Ranni menarik napas, lalu berteriak, “BEOWALD! BEOWALD BUTA!” Dari kejauhan, terdengar sahutannya — jelas dan bernada! Mereka duduk menanti Beowald datang, Paul sudah merancang pakaian resmi buatnya. Dia akan menunjukkan kepada Beowald bagaimana seorang pangeran menyatakan rasa terima kasihnya. Tak lama kemudian terdengar oleh anak-anak irama musik seruling. Tentu Beowald itu! Ke mana-mana, dia selalu membawa serulingnya. Setelah itu, dari balik tikungan, muncul sekawanan kambing melompat-lompat. Di depan sekali, melangkah kambing tua si Beowald dengan tanduknya yang melengkung tajam. "Itu dia datang,” Paul berkata. Dia pun berlari-lari menyambut Beowald. Beowald duduk bersama teman-temannya, bertanya bagaimana rasanya setelah bertualang. “Oh, Beowald — petualangan kami itu benar-benar mendebarkan,” ucap Paul. “Aku tak tahu bagaimana nasib kami seandainya kau tak datang menolong. Aku ingin membalas jasamu, Beowald. Kami semuanya sangat berterima kasih kepadamu — terlebih-lebih aku,” “Jangan membicarakan balas jasa denganku, Pangeran,” sahut Beowald sambil memainkan kembali serulingnya. “Beowald, tinggallah kau bersamaku di istana,” kata Paul pula. “Jika kami kembali ke istana besar di kota, kau pun akan kuajak. Kau akan kubuatkan pakaian resmi. Dengan begitu, kau tak perlu menggembala kambing lagi di lereng pegunungan! Kau akan kujadikan temanku, orang kepercayaanku!” Si Buta Beowald memandang Pangeran Paul dengan matanya yang hitam tanpa sinar. Dia menggeleng sambil tersenyum. “Kau ingin membuatku bahagia, Pangeran?" tanyanya. “Hatiku akan hancur di tempat yang tidak kukenal, lebih-lebih di bawah atap. Pegunungan inilah rumahku. Alam sini telah mengenalku, dan aku telah mengenal mereka. Mereka tahu apa yang dirasakan kakiku, dan aku kenal benar akan nyanyian angin dan sungai-sungainya. Di samping itu, kambingku kasihan jika kutinggalkan — khususnya si tua yang satu ini.” Kambing tua bertanduk melengkung itu berdiri diam dekat Beowald seolah mengerti semua kata-kata yang diucapkan tuannya. Dia lebih mendekat lagi sambil kaki depannya — seolah berkata, “Betul, Tuan! Di sinilah rumahmu! Jangan pergi!” “Sungguh, Beowald — aku ingin membalas jasamu!” Paul berkata kecewa. “Kau bisa membalas jasaku, Pangeran,” Beowald berkata sambil tersenyum “Sekali-sekali, jenguklah aku di sini. Akan kuhibur kau dengan nada indah serulingku. Untukku, itu sudah merupakan penghargaan yang besar sekali. Akan kubuatkan sebuah seruling untukmu, hingga kau bisa belajar bermain seruling. Bawalah seruling itu ke istana, dan senandungkan nada pegunungan yang telah kaupelajari di sana." "Oh, aku akan senang sekali, Beowald,” ujar Paul, membayangkan dirinya bermain seruling — sementara teman-temannya di sekolah menyaksikan dengan penuh kekaguman. “Ajarilah aku memainkan semua lagu yang kaukenal Beowald!” “Kita masuk ke gua, melihat-lihat lagi, yuk!” ajak Jack. Mereka masuk ke sana, tetapi Ranni dan Pilescu melarang mereka turun ke gua bawah. “Tidak,” katanya. “Petualangan kita sudah cukup! Cukup buat dikenang seumur hidup — atau, paling tidak untuk dua bulan!” “Sekarang, Hutan Rahasia takkan pernah dikunjungi lagi oleh manusia,” Mike berkata. “Satu-satunya jalan menuju ke situ sudah lenyap. Air menghalangi siapa pun yang hendak lewat perut gunung ke hutan itu.” “Dan, perampok-perampok di dalam sana takkan bisa lagi keluar, meninggalkan Hutan Rahasia!” seru Jack “Betapa aneh! Mereka terpaksa hidup di sana saja bertahun-tahun — masyarakat yang hilang dan terlupakan.” "Memang aneh. Tetapi, mungkin itulah hukuman yang paling bagus buat mereka,” ujar Nora. “Hutan Rahasia akan berfungsi sebagai penjara yang takkan pernah mereka tinggalkan! Perampok-perampok itu juga tidak akan bisa merampok lagi!” “Ya, kita pun takkan bisa melihat lagi hutan itu,” kata Mike, sedih. “Padahal, Hutan Rahasia cukup menyenangkan buat dijenguk sekali-sekali!” Mike salah. Mereka masih melihat hutan itu sekali lagi. Kapan? Ketika pada akhir liburan Kapten Arnold dan istrinya datang menjemput mereka, Ranni mengajak mereka semuanya terbang ke atas Killimooin, ke atas Hutan Rahasia! “Itu dia, Yah!” teriak Mike. “Lihat! Itu tempat keluarnya sungai dan dalam gunung. Turunkan lagi pesawat kita, Ranni. Nah, itu — di situ sungainya masuk ke hutan — dan sete!ah mengalir ke arah yang berlawanan sungai itu keluar tak jauh dari tempatnya masuk ke hutan. Oh, dan di sana itu, Yah — di situlah sungai menghilang masuk ke semacam retakan ke perut bumi!” Pesawat mereka terbang rendah sekali, hingga rasanya seperti sedang mengapung di permukaan pepohonan lebat nan hijau di bawah mereka! Perampok mendengar derunya. Sebagian di antara mereka berlarian ke luar hutan, bertanya-tanya. “ltu dia itu salah seorang perampoknya — itu lagi, dan yang di belakangnya itu juga!” seru Paul. “Selamat tinggal, Perampok! Kalian akan terkurung di situ untuk selama-lamanya” Pesawat mereka mengangkasa kembali, meninggalkan Hutan Rahasia. Dia terbang melalui puncak pegunungan. Anak-anak menarik napas panjang. “Ini benar-benar liburan yang paling mengesankan!” ucap Nora. “Petualangan apa lagi yang akan kita alami liburan yang akan datang, ya?” “Sudah! Sudah cukup!” sahut Ranni. Tetapi, anak-anak itu yakin mereka masih akan mengalami banyak lagi Petualangan. Anak-anak itu memang petualang sejati! -TAMAT- BBSC Edit & Convert: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================